Apa yang harus kita lakukan untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an ?
Jawaban: Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an ke dalam hati Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan menuju cahaya Islam. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 1 :
الَر
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ
إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Alif, laam raa.(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. “
Allah Ta’ala juga menjadikan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai orang yang berhak menjelaskan, menerangkan dan menafsirkan isi
Al-Qur’an. Firman Allah Ta’ala di dalam surat An-Nahl ayat 44:“Alif, laam raa.(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. “
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا
نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan…”
Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi Al-Qur’an, dan
sunnah ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasulullah
tetapi semuanya dari wahyu Allah Ta’ala. Sebagaimana ditegaskan oleh
Allah dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 3 dan 4:“keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan…”
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
“Ketahuilah,
sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan sesuatu yang hampir sama dengan
Al-Qur’an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di
atas tempat duduk yang mewah dan dia berkata: “Berpeganglah kalian
kepada Al-Qur’an. Apapun yang dikatakan halal di dalam Al-Qur’an, maka
halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram di dalam Al-Qur’an,
maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah,
Allah juga mengharamkannya.”
Untuk itu cara menafsirkan Al-Qur’an adalah:Cara Pertama adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa: ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Cara Kedua adalah dengan penafsirannya para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhum. Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur’an serta cara menafsirkannya, sedangkan mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud pernah berkata: “Dia adalah penterjemah Al-Qur’an.” Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.
Cara Ketiga yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsirannya dari para tabi’in yang merupakan murid-murid para sahabat, terutama murid Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas seperti : Sa’id bin Jubair, Thawus, Mujahid dan lain-lain.
Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya ditafsirkan dengan ra’yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan hanya untuk memperkuat dan membela suatu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama tafsir.
Untuk menjelaskan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan kami kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir Al-Qur’an surat Al-Muzammil: 20 :
فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.”
Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa
yang wajib dibaca oleh seseorang yang berdiri sholat adalah ayat-ayat
Al-Qur’an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh
hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca ayat Al-Qur’an (tidak
harus membaca Al-Fatihah).“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.”
Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (Surat Al-Fatihah).”
Dan di hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa
yang shalat tidak membaca Surat Al-Fatihah, maka sholatnya kurang,
sholatnya kurang, sholatnya kurang, tidak sempurna.”
Berdasarkan tafsir di atas, berarti mereka telah menolak dua hadits
shahih tersebut, karena menurut mereka tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an
kecuali dengan hadits yang mutawatir. Dengan kata lain mereka
mengatakan, “Tidak boleh menafsirkan yang mutawatit kecuali dengan yang
mutawatir pula.” Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena
sudah terlanjur mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra’yu
(akal-akalan) dan madzhab (kelompok/golongan).Padahal semua ulama ahli tafsir, baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu) atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya berpendapat bahwa maksud “bacalah” dalam ayat di atas adalah “shalatlah”. Jadi ayat tersebut maksudnya adalah: “Maka shalatlah qiyamul lail (sholat malam) dengan bilangan raka’at yang kalian sanggupi.”
Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh ayat tersebut, yaitu:
“Sesungguhnya
Rabbmu mengetahui bahwasannya kamu berdiri (sholat) kurang dari dua
pertiga malam atau perdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula)
segolongan orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran
malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat
menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan
kepadamu, karena itu bacalah yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. Dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari bagian karunia Allah;
dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang
baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik
dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib
dibaca di dalam sholat. Ayat tersebut mengandung maksud bahwa Allah
Ta’ala telah memberi kemudahan kepada kaum muslimin untuk shalat malam
dengan jumlah rakaat kurang dari yang dilakukan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam yaitu sebelas rakaat. Inilah maksud sebenarnya dari
ayat tersebut.Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub (gaya/kaidah bahasa) dalam bahasa Arab. Dalam uslub bahasa Arab ada gaya bahasa yang sifatnya “menyebut sebagian” tetapi yang dimaksud adalah “keseluruhan.”
Sebagaimana kita tahu bahwa membaca Al-Qur’an adalah bagian dari shalat. Allah sering menyebut kata “bacaan/membaca” padahal yang dimaksud adalah shalat. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an itu merupakan bagian penting dari shalat. Contohnya adalah dalam surat Al-Isra’ ayat 78:
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah sholat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikan pada bacaan fajar. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). “
Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebut “bacaan fajar” tetapi yang
dimaksud adalah shalat fajar (shalat Shubuh). Demikianlah salah satu
uslub dalam bahasa Arab.“Dirikanlah sholat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikan pada bacaan fajar. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). “
Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama salaf maupun ulama khalaf), maka batallah pendapat sebagaian penganut madzhab yang menolak dua hadits shahih di atas yang mewajibkan membaca Al-Fatihah dalam sholat. Dan batal juga pendapat mereka yang mengatakan hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan Al-Qur’an. Kedua pendapat tersebut tertolak karena dua hal yaitu :
1.Tafsiran ayat di atas (QS. Al-Muzammil : 20) datang dari para ulama ahli tafsir yang semuanya faham dan menguasai kaidah bahasa Al-Qur’an
2. Tidak mungkin perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur’an. Justru perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam itu menafsirkan dan menjelaskan isi Al-Qur’an.
Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa yang wajib dibaca oleh seorang muslim di dalam sholatnya. Sama sekali tidak. Baik sholat fardhu ataupun shalat sunat. Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan bahwa tidak sah shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Sekarang hal ini sudah jelas bagi kita.
Oleh karena itu seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika kita menerima hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dlam kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab hadits yang sana-sanadnya shahih.
Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana mereka berkata, “Kita tidak menolak hadits-hadits ahad selama hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-hukum dan bukan tentang aqidah. Adapun masalah aqidah tidak bisa hanya mengambil berdasarkan hadits-hadits ahad saja.”
Demikianlah sangkaan mereka, padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada aqidah tauhid , padahal Mu’adz ketika itu diutus hanya seorang diri (berarti yang disampaikan oleh Mu’adz adalah hadits ahad, padahal yang disampaikannya adalah menyangkut masalah aqidah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar