Kalangan Ulama
Dakwah adalah kewajiban setiap muslim. Tetapi
kenyataan di lapangan mayoritas muslim kurang bertanggung jawab atas
tugas suci dan mulia ini. Setelah dianalisa, ditemukan beberapa alasan
dan asumsi yang keliru sebagai dampak dari bisikan setan, hawa nafsu,
dan paradigma negatif.
Kalangan Para Ulama. Terbagi dua kategori :
1. Ulama yang Ikhlas dan Konsisten
Asumsi yang keliru bagi kalangan ini hingga mereka berkelit dari dakwah :
“Saya
bukan tipe ulama yang mengamalkan ilmu. Karena bagaimana mungkin saya
mengajar dan berdakwah, bukankah hal tersebut dikecam keras.”
Respon :
Mengajar
merupakan bagian dari pengalaman ilmu. Seseorang yang mengajar dan
tidak mengamalkan ilmunya akan lebih baik ketimbang seseorang yang sama
sekali tidak beramal dan tidak pula mengajarkan ilmunya.
Mengamalkan
ilmu wajib hukumnya, sebagaimana mengajar juga wajib. Jika kedua hal ini
ditinggakjab berarti ia melalaikan dua fardhu.
“Dakwah ilallah
adalah kedudukan yang tinggi dan sangat mulia dan merupakan symbol para
imam pembawa hidayah. Sedangkan saya bukan dari golongan tersebut.”
Respon :
Rasa
tawadhunya telah menggiringnya untuk vakum dari kegiatan dakwah. Namun
tawadhu ini sangat tercela bahkan termasuk asumsi yang rancu dan tak
mendasar. Karena kebenaran tak akan menghambat kebenaran lain.
Solusi
: Hendaknya ia sungguh-sungguh aktif dalam dakwah diiringi keseriusan
dalam mengaktualisasikan sifat tawadhu dan inkisar tersebut.
“Menunaikan wirid dan ibadah secara kontinyu lebih utama daripada dakwah ilallah.”
Respon :
Dakwah yang dibarengi keikhlasan lebih afdhol dari ibadah-ibadah sunnah karena adanya unsure kemanfaatan untuk sesama.
Rasulullah
bersabda, “Keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah seperti
keutamaanku dibanding kedudukan seseorang yang paling rendah di antara
para sahabatku.”
Namun ia harus mengatur waktu-waktunya sehingga ada
waktu untuk dakwah dan mengajar, ibadah, dan wirid. Dan tak meremehkan
satu pun diantaranya.
“Dakwahku tak akan ada manfaatnya seiring dengan merebaknya perbuatan maksiat di masyarakat.”
Respon :
Tujuan
dakwah ilallah adalah menyampaikan sesuatu dari Rasulullah diiringi
sifat shiddiq dan ikhlas. Selebihnya apakah berbuah hidayah atau tidak,
kita serahkan sepenuhnya kepada Allah.
Allah bersabda, “Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah
lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
2. Ulama Formil yang Sibuk Berurusan dengan Dunia
Alasan yang menghalangi mereka untuk berdakwah diantaranya adalah :
• Kesibukan duniawi, urusan bisnis, dan pergaulan dengan pelaku-pelaku kebatilan
• Penundaan dan berlalunya waktu
•
Asumsi mereka bahwa jika mereka berdakwah maka hal tersebut akan
menjadi boomerang buat mereka sehingga terbongkar kedoknya di masyarakat
luas. Hal ini akan menurunkan kredibilitas mereka di masyarakat.
•
Terlalu sibuk mempelajari ilmu teologis, ilmu alat (nahwu, shorof, dsb)
dan lain-lain yang tak bersentuhan langsung dengan dakwah ilallah baik
dalam pemberian anjuran dan peringatan.
Kalangan Pelajar.
Alasan mereka dalam berkelit dari dakwah :
“Dakwah
hanyalah tugas para ulama. Saya sebagai pelajar harus terlebih dahulu
mendalami dan mematangkan disiplin ilmu saya sampai tingkatan yang
tinggi kemudian baru saya berperan dalam dakwah dan mengajar.”
Respon :
Alasan
ini terkadang sudah terkontaminasi oleh motivasi yang tidak murni.
Karena jika tujuan belajarnya hanya bermaksud untuk memberi manfaat,
maka kesempatan itu selalu terbuka lebar tanpa harus mengganggu waktu
belajarnya. Sebab ilmu juga akan bertambah dan mantap ketika diinfaqkan.
Seorang
pelajar yang benar-benar konsisten terhadap Allah dengan belajarnya,
acapkali bertambah ilmunya, maka bertambah pula kesadaran diri akan
kebodohannya. Tak ada peluang baginya untuk menganggap dirinya sudah
mapan dalam pengetahuan.
“Saya khawatir jika ditanya lalu tak bisa
menjawab atau saya berbuat kekeliruan di hadapan public sehingga mereka
akan melecehkanku.”
Respon :
Ini adalah penyakit hati yaitu
keinginan untuk disanjung, jadi pusat perhatian public, dan enggan
menerima kehinaan di jalan Allah. Padahal para sahabat jika ditanya
tentang sesuatu yang mereka tidak bisa menjawab, mereka tegas menjawab,
“Kami tidak tahu!”
“Jika saya berbuat keliru, Allah pasti akan memberi sanksi hukum kepada saya.”
Respon :
Kita harus bisa membedakan antara dakwah ilallah dan menyeru manusia melalui motivasi dan peringatan.
Asumsi dan Persepsi Keliru yang Mengganjal Laju Gerak Dakwah
Kalangan Pemuka Adat dan Masyarakat, Pejabat, dan Bangsawan.
Kelompok ini menghindar dari dakwah dengan alasan-alasan sbb :
“Tugasku hanyalah menegakkan simbol pimpinan suku. Ini sudahlah cukup dalam memberi pelayanan pada masyarakat."
Respon :
Sebagaimana
Allah telah memuliakannya dengan kepemimpinan ini maka ia harus
menunaikan hak Allah di dalamnya yaitu pelayanan terhadap agama dan
syariat.
“Aku hanya ingin jadi pusat perhatian dan dihormati orang –orang.”
Respon :
Takutlah
pada Allah pada tugas kepemimpinan yang Allah bebankan. Allah bisa saja
mengganti posisinya. Tugasnya adalah memanfaatkan simpati dan perhatian
mereka untuk menyeru pada kebaikan.
“Jika kami getol berdakwah dan memegang prinsip-prinsip agama, maka akan melunturkan simpati mayoritas massa.”
Respon :
Visi
kita tak hanya bertumpu pada banyaknya massa pendukung. Namun yang
terpenting adalah seberapa besar pengaruh kedudukan tersebut pada
mereka.
Ketidakpahaman atas dasar apa keberadaan jabatan dan kepemimpinan tersebut
Asumsi dan Persepsi Keliru yang Mengganjal Laju Gerak Dakwah
Kalangan Masyarakat Awam
Asumsi yang berkembang pada kalangan ini lebih banyak dibanding kalangan lain karena dominannya kebodohan mereka. Diantaranya :
“Saya
wajib terlebih dahulu memberikan pengamanan sosial terhadap masa depan
saya. Saya harus kumpulkan harta, membangun rumah, baru kemudian
berdakwah.”
Respon :
Persepsi ini adalah refleksi dari penyakit
hati yang sangat akut, yaitu attaswif (menunda-nunda). Sedangkan manusia
tak tahu kapan mati mendatanginya. Serta dakwah bukanlah penghalang
untuk berusaha dan bekerja.
“Saya tidak dibebani tugas untuk berdakwah. Ini merupakan tugas dan tanggung jawab para ulama.”
Pemahaman yang keliru tentang dakwah :
1. “Dakwah hanya terbatas di bidang pendidikan, petuah, dan ceramah agama. Sedangkan saya tak menguasai bidang tersebut.”
2. “Tujuan berdakwah hanya sebatas menyeru orang kafir untuk memeluk Islam.”
Respon :
Dakwah
sifatnya untuk semua kalangan, baik muslim maupun kafir. Sementara di
kalangan muslim sendiri masih ada yang fasik dan ahli maksiat.
“Biarkan
para makhluk ditangani oleh penciptanya. Jika Allah berkehendak, Dia
akan memberi petunjuk. Sebagaimana Firman Allah, ‘Bukanlah kewajibanmu
menjadikan mereka mendapat petunjuk. Akan tetapi Allah yang memberi
petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya.’”
Respon :
Ia keliru memahami Al Qur’an. Jika itu benar, maka untuk apa Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab suci.
Tahapan Dakwah Fardhiyah
Jika
seorang dai kurang memperhatikan tahapan-tahapan berikut ini, maka akan
membuahkan hasil yang tidak diharapkan. Ayat Qur’an dan hadits banyak
memberikan indikasi tentang tahapan-tahapan ini. Diantaranya adalah
firman Allah, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Tahapan dakwah fardhiyah tersebut adalah :
1. Fase Ta’lif : pendekatan hati
2. Fase Ta’rif : pengenalan
3. Fase Taklif : penanaman rasa tanggung jawab
Melalui
pendekatan hati akan tumbuh rasa cinta dan jika orang sudah mencintai
sesuatu kan mudah mengarahkannya dan mengenalkannya. Jika ia sudah
mengenal sesuatu dan merasa cinta maka dengan mudah ia akan mencurahkan
segala sesuatu demi hal tersebut
TAHAPAN DAKWAH FARDHIYAH
FASE PERTAMA (Pendekatan Hati)
Dasar
Pokok : perasaan dirinya akan satu kebutuhan untuk mencapai mahabbah
karena Allah dan menebarkan semangat ini kepada orang lain.
Kata Kunci : berinteraksi dengan baik, wajah ramah dan bersahabat agar ia bisa mengadakan pendekatan dengan obyek dakwah.
Sarana Pendukung :
1. Manis muka, penuh senyum, ramah, dan bersahabat
2. Menanyakan namanya lalu mengingatnya dengan baik. Kemudian menggunakan nama tersebut ketika berkomunikasi dengannya
3. Menghargai dan menghormatinya
4. Berkomunikasi dan menjadi pendengar yang baik. Walaupun apa yang dibahas tidak begitu penting
5. Mencari materi pembicaraan yang sesuai
6. Tidak memulai dengan problem agama
7.
Berusaha mengenal obyek dakwah secara detil tanpa ia sadari. Yaitu
dengan bertanya dengan orang mengenalinya atau mengorek dari hasil
pembicaraan dengannya
8. Memperhatikan hal-hal positif pada obyek
dakwah untuk diangkat ketika memujinya tanpa berlebih-lebihan. Seperti
pujian Rasulullah ketika menerima kedatangan Asyaj, “ Ada dua hal pada
dirimu yang disukai Allah yaitu sabar dan telaten.”
9. Mencari peluang agar hubungan tersebut bisa berlanjut. Misal dengan menanyakan nomor telepon
10. Mengadakan kunjungan persaudaraan
11.
Memberi hadiah atau bingkisan terutama dengan tujuan yang baik.
Rasulullah bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya
kalian akan saling mencintai.”
12. Mendahuluinya dengan mengucap salam dan berjabat tangan
13.
Menumbuhkan optimisme dan memberi kemudahan. Rasulullah bersabda,
“Mudahkanlah dan janganlah mempersulit, bangkitkan rasa optimis dan
jangan membuatnya menjauh.”
Rumus dari tahapan ini adalah :
memberikan perhatian dan kasih sayang kepada obyek dakwah tanpa
menyimpan rasa bahwa dirinya lebih baik darinya.
FASE KEDUA (Pengenalan)
Fase
ini merupkan tahapan yang sangat penting dan sensitif. Membutuhkan
kejelian dalam penerapannya dan tak perlu tergesa-gesa agar mendapat
respon positif dari obyek dakwah.
Dasar Pokok : menumbuhkan rasa
tanggung jawab terhadap permasalahan umat dan keinginan untuk
menyampaikan kebaikan kepada mereka secara keseluruhan.
Kata Kunci :
mencoba memahami keinginan dan kebutuhan obyek dakwah, semacam
kecenderungan terhadap hal-hal ruhani, logika, ilmiah, atau lain-lain.
Agar ia dengan mudah mempengaruhi mereka degan mempergunakan hal-hal
tersebut sebagai sarana mencapai tujuan.
Fase ini terbagi menjadi 2 bagian :
1. Membenahi dan meluruskan kecenderungan dan pandangan yang keliru
2. Mengajari apa yang tidak ia ketahui atau mengingatkan apa yang ia ketahui.
Sarana Pendukung :
1. Memilih waktu yang cocok dan yakin bahwa obyek dakwah siap menerima materi
2. Memilih tempat yang cocok
3. Memilih situasi yang sesuai
4. Memanfaatkan cara-cara yang halus dalam pengenalan. Seperti :
o Berusaha memancing pengetahuan yang tersimpan padanya
o Secara perlahan memancing pertanyaannya berkaitan dengan materi-materi tertentu
o Mengarahkan pertanyaan padanya sekaligus meminta penjelasan
5. Mensiasati dengan bebagai cara agar ia menjadi pendengar yang baik. Diantaranya adalah :
o Menyebutkan materi yang baru
o Berbicara sesuai situasi dan kondisi
o Cerita yang dramatis
o Metode bicara
o Memaparkan kepadanya gambaran-gambaran yang membangkitkan semangat kepeduliannya terhadap agama
6. Tak berlebihan dan bertele-tele dalam pengenalan, tetapi secara perlahan-lahan
7.
Menghadiahkan buku atau kaset berkaitan dengan topik yang ingin
disampaikan padanya dalam meluruskan pemahamannya yang keliru
8. Mengundang dan mengajaknya untuk menghadiri forum ilmiah dan majlis dzikir yang cocok untuk dirinya
9. Memperkenalkannya dengan kaum ulama dan pelajar
10. Bikin dia nyaman sehingga ia tak merasa didikte untuk tertarik pada konsep-konsep tertentu
11. Jangan langsung mengkritik kesalahan yang ia lakukan
12. Jelaskan tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu
Rumus dari tahapan ini adalah berbicaralah dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan berfikir mereka.
Fase Ketiga (Penanaman Rasa Tanggung Jawab)
Ini
adalah tahapan puncak seorang dai dalam mencetak obyek dakwahnya
menjadi kader-kader dakwah yang bergerak dalam dakwah ilallah,
berkhidmat kepada umat dengan ikhlas dan konsisten.
Dasar Pokok :
merasa akan adanya kebutuhn umat yang begitu mendesak terhadap
keberadaan dai dalam jumlah besar. Dan potensi tersebut ada pada setiap
individu mereka.
Tahapan ini dibagi menjadi dua :
1. Memotivasi dan menumbuhkan semangat dakwah pada obyek dakwah
2.
Mengembangkan segala potensinya untuk aktifitas dakwah. Dan mengarahkan
pemikiran dan kemampuannya untuk berkhidmat kepada agama.
3. Memotivasi dan Menumbuhkan Semangat dakwah pada Obyek Dakwah
Kunci
Pembuka : menanamkan keagungan terhadap nila-nilai agama dalam hatinya
dan menumbuhkan kesadaran untuk ikut bertanggung jawab.
Sarana Penunjang :
1. Memaparkan ayat Qur’an dan hadits yang memberi motivasi dakwah
2. Memberikan gambaran tentang kondisi umat yang semakin terpuruk dan terbelakang. Kemudian adanya rongrongan umat lain.
3.
Menceritakan kondisi obyektif para da’I, perjuangan dan buah yang
mereka petik dari perjuangan tersebut. Terutama figure da’I yang ia
kenal
4. Mengingatkan keagungan dakwah sebagai tugas para Nabi dan Rasul. Dan bahwa keberhasilan umat tergantung padanya.
5.
Mengembangkan segala potensinya untuk aktifitas dakwah. Dan mengarahkan
pemikiran dan kemampuannya untuk berkhidmat kepada agama.
Pemikirannya diberdayakan untuk mengetahui metode-metode yang relevan untuk menyelamatkan manusia.
Kemampuannya diarahkan untuk berkhidmat di jalan dakwah
Kata Kuncinya : membangkitkan rasa percaya diri bahwa ia bisa memberikan pelayanan yang terbaik pada umat.
Sarana Pendukung :
• Memberi motivasi agar berusaha menarik yang lain
• Memberi motivasi untuk berfikir dalam kesehariannya tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan pelayanan terhadap umat
• Membantu merealisasikan ide pemikirannya tersebut
• Membiasakannya untuk mengunjungi orang lain walaupun hanya menyertai sang da’I
• Memberi motivasi agar ia berani memberi ceramah dan nasehat di majlis-majlis intern walaupun hanya menyampaikan satu hadits
• Memberikan pengertian bahwa dakwah tak hanya terbatas pada ceramah dan nasehat
Asas pokok tahap ini adalah memperhatikan secara jeli batas-batas kemampuan mereka
Allah berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Etika Hati Seorang Da'i
Etika
hati ini ibarat ruh untuk jasad. Maka jasad yang tak ada ruhnya laksana
bangkai, walaupun indah penampilannya, pasti akan dianggap menjijikkan.
Ruh dakwah itu sendiri terdiri dari etika dan adab yang berkaitan
dengan hati seorang da’i. Yaitu :
1. Ikhlas
2. Sidq (kesungguhan) dengan memusatkan konsentrasi dhohir dan bathin demi da’wah ilallah
3. Menggabungkan semangatnya pada semangat niat Rasulullah dan para pewarisnya
4. Membayangkan kegembiraan Rasulullah terhadap dakwah yang ditujukan untuk individu-individu umatnya
5. Kasih sayang terhadap para obyek dakwah
6. Mencintai obyek dakwah karena Allah
7. Berdoa dan memohon kepada Allah untuk kebaikan obyek dakwah, terlebih di saat ia tidak ada dan di tengah malam
8. Tidak menganggap dirinya lebih baik dari mereka
9.
Meyakini bahwa hasil dakwahnya adalah taufik dan kehendak Allah.
Dirinya hanyalah perantara semata. Sebagaimana firman Allah, “dan bukan
kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar.”
10. Tidak jengkel maupun dendam terhadap orang yang
mengganggu atau mencaci maki dirinya. Bahkan mendoakan mereka agar
memperoleh hidayat
11. Tidak mudah mempercayai pujian kepadanya
12.
Menghancurkan keinginan jiwanya untuk mendapat tempat di hati
masyarakat. Ataupun merasa bahwa pernyataannya layak untuk didengar
sehingga mereka dibawah komandonya.
13. Tak merasa terhina dengan
nasihat, kritik atau mendengarkan ceramah dai lainnya. Walaupun dari
segi penampilan mereka berada di bawah tingakatannya. Karena seorang dai
sejati tak akan pernah memandang rendah orang lain.
14. Tidak
tergiur dengan kemewahan dunia orang lain. Allah berfirman, “Janganlah
sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang
telah kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka
(orang-orang kafir itu).”
15. Tak berputus asa walaupun obyek dakwah keras kepala dan membangkang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar