Kamis, 21 Juni 2012

Tangisan adalah rahmat Allah bagi manusia


Rasulullah saaw bersada, “Tangisan adalah rahmat Allah bagi manusia.” Beliau juga bersabda,“Wahai Aba Dzar! Barangsiapa yang dapat menangis, maka hendaklah ia menangis. Dan barangsiapa yang tidak mampu melakukannya, maka hendaknya ia menyedihkan hatinya dan berlaku seperti orang yang sedang menangis; karena hati yang keras itu jauh dari Allah, namun masih banyak orang yang tidak menyadarinya.”

Tangisan merupakan suatu reaksi ungkapan atau luapan isi hati dan sebagai pesan bagi dunia luar atau sekitar. Seorang penyair Persia, Muhtasyame kasyani, berkata, “Janganlah engkau memandang hina airmataku, karena ia merupakan sari darah hatiku.”
Tangisan dan setiap tetesnya memiliki sebab, makna dan tujuan yang berbeda-beda, sehingga memiliki dampak dan kesan yang berbeda-beda pula pada diri pelaku maupun dunia sekitarnya. Demikian pula bila ditinjau dari sisi hukum maka tangisan merupakan suatu perbuatan yang mubah (boleh dilakukan ataupun ditinggalkan dan tiada pahala maupun dosa didalamnya), namun, situasi dan kondisi serta sebab dan tujuan yang berbeda-beda menjadikan tangisan dapat menjadi sesuatu yang diharamkan, makruh, sunnah maupun wajib (dalam pengartian sangat dianjurkan atau sunnah muakkad). Sebagai contoh:
Mubah, seperti tetasan airmata yang mengalir tanpa memiliki sebab dan tujuan yang bersifat ukhrawi dan tidak mengandung sebuah pelanggaran atau maksiat.  Seperti halnya ketika mengupas bawang atau ketika menahan rasa sakit.
Haram, seperti tetesan air mata yang sengaja dialirkan untuk sesuatu yang bertentangan dengan asas keimanan dan akhlakulkarimah dan atau untuk memuluskan sesuatu yang diharamkan. Seperti halnya  air mata buaya para saudara-saudara Nabi Yusuf dihadapan Ayah mereka, Nabi Ya’qub, sesaat setelah membuang Nabi Yusuf, atau ketika menangis untuk memproter dan merasa tidak rela dengan ketetapan Allah. Dikisahkan, ketika Ibrahim putra Rasulullah saaw wafat diusia 18 bulan atau 22 bulan, Beliau memangkunya seraya menagisi kepergiannya. Lalu seseorang menprotesnya dengan berkata, “Wahai Rasulillah! Engkau melarang kami menangis, tetapi sekarang aku menyaksikanmu menangis?” Beliau menjawab, “Ini bukan suatu tangisan (yang terjadi karena tidak sabar atau tidak menerima dengan ketentuan Allah), ini merupakan tangisan kasih sayang, dan barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tak akan disayangi.”
Makruh, seperti  tetesan airmata yang mengalir untuk sesuatu yang tidak dikenal atau sesuatu yang tidak diketahui kelayakannya untuk ditangisi dan atau tangisan yang bisa merusak sesuatu yang telah pasti hukumnya. Seperti halnya ketika menangisi sesuatu yang bersifat duniawi disaat shalat, karena bila tangisannya mengeluarkan suara maka batallah shalatnya; atau seperti meneteskan airmata untuk jenazah yang tidak dikenal, apakah orang baik atau zalim.
Sunnah, seperti tetesan airmata yang sengaja dialirkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam doa, renungan maupun munajah, ataupun untuk menampakkan penyesalan atas dosa. Dan tentunya menangisi sesuatu yang diperintahkan maupun yang pernah ditangisi oleh para manusia suci alaihimussalam. “Para pecinta kami (para manusia suci) adalah bersukacita disaat kami bersukacita dan berduka disaat kami berduka.” (alhadis dari Imam Hasan Al’askari as)
Dan sunnah muakkad, seperti tetesan airmata yang memang  sengaja harus dialirkan untuk sesuatu yang besar, bernilai dan memiliki keafdhilahan yang tinggi disisi Allah swt. Seperti halnya ketika tangisan itu merupakan senjata atau media untuk  berdakwah, seperti apa yang telah dilakukan oleh Imam Ali Zainal Abidin as dan sayidah Zainab putri Fatimah as guna membangkitkan semangat keislaman dan perjuangan melawan para penindas.
Sebelum meneruskan tulisan ini,selayaknya kita camkan sejelas mungkin bahwa tulisan ini tidak mengajak kita untuk menjalani hari-hari dengan airmata dan kesedihan, tetapi untuk menunjukkan besarnya peran airmata dalam menciptakan kepribadian suci pada jiwa seseorang. Prof. Jawadi Amuli berkata, “Dalam peperangan dengan musuh batin dimedan jihad akbar, senjata manusia adalah tangisan dan rintihan bukan tombak maupun pedang.” Seorang ahli hikmah, Faidh Kasyani berujar, “Bila engkau melihat cahaya di dahiku…Ketahuilah bahwa ia berasal dari cinta yang membara. Jika engkau menemukan dadaku bening dan bersih… Ketehuilah bahwa airmata telah mencucinya.”
Berikut ini beberapa kedudukan tangisan atau airmata dalam nash.
a.    Sebagai lambang penyesalan akan dosa dan penyelamat dari murka Allah swt.
Allah swt berfirman, “Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyaklah menangis, sebagai ganti atas apa yang selalu mereka kerjakan.” (Qs. Attaubah, 82)
Ayat ini turun sebagai sindiran atas apa yang telah dilakukan oleh mereka yang meninggalkan kewajiban agama secara sadar, sengaja atau meremehkan dengan menciptakan alasan yang mengada-ada, dan mengajak orang lain untuk mengikutinya, bahkan merekapun terlihat menikmati, bangga maupun mengumbar tawa merendahkan kewajiban agama. Dimana selayaknya mereka menangis menyesali tindakannya, karena siksa yang teramat pedih sedang menanti mereka.
Allah swt berfirman, “Telah dekat terjadinya hari kiamat. Tiada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah. Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” (Qs. Annajm, 57-60)
Rasulullah saaw bersabda, “Menangis lantaran takut kepada Allah adalah keselamatan dari siksa neraka.” Imam Ali as berkata, “menangis karena takut kepada Allah akan membuat hati menjadi terang dan menghindarkan seseorang dari mengulangi dosanya.” Dan, “Betapa banyak kegembiraan sesaat yang berakibat pada kesedihan abadi.”
b.    Sebagai tanda kaum arif sejati karena adanya penyesalan atas hilangnya kesempatan meraih fadhilah (keutamaan) dan pahala besar.
Allah swt berfirman, “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu membawa mereka (pergi berperang), lalu kamu berkata, ‘Aku tidak memiliki sesuatu untuk bisa membawa kalian’, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran airmata kesedihan, lantaran mereka tidak memiliki sesuatu yang akan mereka belanjakan (sebagai bekal kemedan perang).” (Qs. Attaubah, 92) Merekapun menangis lantaran tak dapat meraih keutamaan yang besar dengan pergi berjihad bersama Rasulullah saaw.
c.    Sebagai tanda mengenal hakikat kebenaran.
Allah swt berfirman, “Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan airmata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui.” (Qs. Almaidah, 83)
Rasulullah saaw bersabda, “Wahai Aba Dzar! Barangsiapa diberi ilmu, sedang ilmu itu tidak dapat membuatnya menangis, maka dapat dipastikan bahwa ilmunya adalah ilmu yang tidak bermanfaat. Karena sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla telah mensifati orang-orang berilmu dalam firman-Nya, ‘…Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Alqur’an dibacakan kepada mereka, maka mereka merobohkan dirinya sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’ Dan menyungkurkan muka mereka sambil menangis dan hal ini (bacaan Alqur’an, senantiasa) menambah kehusyuan mereka.” (Qs. Alisra’, 107-109).
d.    Sebagai karakteristik para hamba pilihan Allah swt.
Allah swt berfirman, “…Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Mahapemurah kepada mereka (para nabi, para manusia pilihan dan yang mendapat hidayah), maka mereka menyungkur sambil bersujud dan menangis.” (Qs. Maryam, 58)
Catatan sejarah banyak mengisahkan dimana Rasulullah saaw selalu menangis tersedu-sedu setiap kali Jibril turun membawakan firman Allah yang (khususnya) berkenaan dengan penciptaan dan siksaan, yang juga diikuti oleh Ahlulbait dan para sahabat setianya.
e.    Memiliki kedudukan khusus disisi Allah swt, keutamaan dan manfaat yang sedikit manusia menyadarinya.
Ketika dikatakan kepada Nabi Ya’qub as, “Demi Allah! Engkau selalu mengingat Yusuf, hingga engkau menjadikan dirimu sakit dan binasah.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahanku dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak mengetahuinya.” (Qs. Yusuf, 85-86)
Segala kesusahan dan kesedihan Nabi Ya’qub as atas Yusuf as, Beliau adukan (curhat-kan) kepada Allah swt melalui  bahasa tetesan-tetesan airmata. Nabi Ya’qub selalu menangis setiap kali mengenang Yusuf, yang telah diketahuinya kelak akan menjadi seorang utusan Allah. Sebuah tangisan perpisahan yang terasa sangat berat segaligus merupakan tangisan kerinduan atas perjumpaan dengan kekasih Allah serta tangisan penyesalan karena hilangnya keutamaan untuk menyertai perjalanan berliku penuh ujian dan derita sang kekasih Allah, Yusuf as. Beliaupun tiada henti menangis karena mengetahui adanya keutamaan yang besar yang telah diberitakan oleh Allah kepadanya yang tidak diketahui oleh selainya.
Sedemikian seringnya menangis hingga matanya menjadi buta, bahkan dalam riwayat disebutkan, Allah menyembuhkan kebutaannya, namun Nabi Ya’qub tetap menangis hingga kembali buta, dan untuk kedua kalinya Allah menyembuhkan kebutaannya, namun sekali lagi Nabi Ya’qub menjadi buta karena tetap menangisi perpisahannya dengan Yusuf, hingga akhirnya Beliau mendapatkan gamis Yusuf yang telah menjadi penguasa Mesir saat itu, menciuminya dan menguspkannya ke kedua  matanya hingga Allah swt mengembalikan penglihatannya (Qs. Yusuf, 93). Namun, yang sangat perlu di ingat disini adalah, Allah swt tetap meridhainya, karena tak ada satupun ayat yang menyalahkan (jenis) tangisannya dan atau yang melarang ummat untuk mengikutinya, bahkan Allah swt melihatnya sebagai sesuatu yang indah nan agung sehingga layak dicatat dengan tinta keagungan Alqur’an agar dikenang sepanjang zaman, “Kami (Allah) menceritakan kepadamu (Muhammad) sebaik-baiknya kisah.” Dan “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang berakal.” (Qs. Yusuf, 3 & 111)
Kedudukan tangisan dalam nash masih banyak lagi,namun kita cukupkan sampai disini, dan untuk mempermudah kita memahami bentuk tangisan surgawi, maka berikut ini :
Kisah teladan ini akan kita ambil dari riwayat Imam Ja’far Asshadiq as, yang mengatakan bahwa, Albakkaa’un (orang-orang yang dikenal paling sering menangis sepanjang sejarah) ada lima orang, yaitu: Adam as, Ya’kub as, Yusuf as, Fatimah binti Muhammad as, dan Ali bin Husain as.
Adam, sering menangis karena terusir dari surga, sebegitu lamanya beliau menangis (memohon ampun dan menyesali keteledorannya) hingga dikedua pipinya tercipta guratan-guratan yang menyerupai sungai-sungai kecil.
Ya’kub, sering menangis karena berpisah dengan Yusuf, sebegitu lamanya Beliau menangis hingga kedua matanya memutih dan tak dapat melihat lagi (buta). Sesungguhnya Allah swt membenci sesuatu yang melampaui batas, namun, Apa yang dilakukan Nabi Ya’qub bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena Allah justru bangga dan mensifatinya sebagia manusia penuh kasih sayang dalam kesabaran, “Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, ‘Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf.’ Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan, dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).” (Qs. Yusuf, 84) Allah mensifatinya dengan ucapan “Fahuwa kadzim” yaitu lebih mulia dari “shabru”
Yusuf, juga sering menangis karena perpisahan dengan kekasih Allah, Nabi Ya’kub as. Tidak henti-hentinya Beliau menangis hingga para penghuni penjara terganggu oleh suara tangisannya. Mereka berkata kepada Yusuf, “Pilihlah waktu untuk tangisanmu!? Jika engkau menangis dimalam hari, maka berhentilah disiang hari, atau jika engkau menangis disiang hari, maka berhentilah dimalam hari.” Yusuf-pun menyetujui usulan mereka.
Fatimah as, sering menangis karena berpisah dengan Rasulullah saaw. Tidak henti-hentinya Beliau menangis merindukan perjumpaan dengan ayahnya sekaligus meratapi derita rumah kenabian. Anas bin Malik mengisahkan, “Ketika kami selesai memakamkan Nabi, aku datang ketempat Fatimah, lalu ia mengatakan, ‘Bagaimana kalian sanggup menimbun tanah di wajah Rasulullah!’ Kemudian ia menangis.” Imam Ali pun mengisahkan, “Aku mencuci gamis Nabi saaw, lalu Fatimah mengatakan, ‘Tunjukkan kepadaku gamis itu.’ Dan ketika ia menciuminya, ia pingsan. Sedari itu, aku menyembunyikan gamis tersebut.
Diriwayatkan pula, bahwa setelah Nabi saaw wafat, Bilal menolak untuk melakukan azan. Ia berkata, “Aku tidak mau melakukan azan untuk siapapun setelah Rasulullah tiada.” (namun) Suatu hari Fatimah berkata, “Aku ingin sekali mendengar suara muazzin ayahku, Bilal.” Kabar itu sampai ketelinga Bilal. Maka Bilal pun melakukan azan. Ketika Bilal menyuarakan “Allahu Akbar…Allahu Akbar”, Fatimah teringat kepada ayahnya dan hari-harinya ketika Beliau masih kecil, sehingga ia tak kuasa menahan tangis. Dan ketika Bilal sampai pada kalimat, “Asyhaduanna Muhammadar Rasulullah”, Fatimah merintih, lalu jatuh dan pingsan. Orang-orang pun berkata kepada Bilal, “Hentikan, wahai Bilal! Putri Rasulullah telah wafat.” Mereka menyangka Fatimah telah meningal. Bilal pun menghentikan azannya dan tidak menyelesaikannya. Kemudian Fatimah siuman dan meminta Bilal menyelesaikan azanya. Namun Bilal tidak melakukannya. Bilal berkata, “Wahai pemimpin para wanita! Aku takut sesuatu akan menimpamu, jika engkau mendengar suara azanku.” Fatimah pun memakluminya.
Demikianlah, Fatimah selalu menangis kapanpun dan dimanapun; disiang maupun malam hari. Rintihan dan tangisannya tak pernah berhenti hingga membuat gelisah para penduduk Madinah. Merekapun berkumpul dan menemui Ali seraya memohon, “Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah telah menangis disiang dan malam, sehingga tidak seorangpun diantara kami yang dapat tidur dengan tenang diwaktu malam maupun dapat melakukan pekerjaan dan mencari nafkah di waktu siang (karena setiap mendengar rintihannya mereka ikut bersedih dan meneteskan airmata, teringat kedudukannya disisi Rasulullah saaw). Kami mohon engkau memintanya untuk menangis di malam hari saja atau di siang hari saja.”
Ali pergi dan masuk menjumpai Fatimah, “Wahai Putri Rasulillah! Sesungguhnya para pemuka Madinah memintamu untuk menangis di waktu malam atau siang hari saja.” Maka Azzahra menjawab, “Wahai Ali! Alangkah singkatnya aku tinggal ditengah-tengah mereka dan tidak lama lagi aku pun akan menghilang dari hadapan mereka.”
Ali kemudian membangun sebuah rumah (semacam gubuk keci) untuk Fatimah di pemakaman Baqi’ yang terletak jauh dari tengah kota Madinah, dan diberi nama Baitul Khuzun (rumah duka). Jika waktu pagi dan sore datang, Fatimah membawa Hasan dan Husain ke pemakaman Baqi’ dengan menangis dan ia terus menangis diantara kuburan-kuburan disana.
Suatu ketika setelah wafat Rasulullah saaw, Mahmud bin Labid melewati pekuburan syuhada’ Uhud, dan ia melihat Fatimah sedang menangis dimakan Hamzah ra. Dia menunggu dengan sabar hingga Fatimah nampak tenang, lalu dia memberi salam dan berkata kepadanya, “Wahai Putri Rasulillah! Tangisanmu talah memutuskan tali jantungku!.” Fatimah berkata, “Bagaimana aku tidak akan menangis. Aku telah kehilangan ayahku, seorang ayah terbaik dan Nabi yang paling utama. Alangkah rindunya aku kepada Rasulullah.”
Diatas pusara ayahnya, Fatimah dengan penuh kesedihan meneteskan airmata seraya merintih, “Katakan pada Manusia yang tinggal ditanah ini…Andai kau dengar seru perih hatiku…Ragam petaka telah menimpaku…Kalau saja ia menimpa siang…Ia akan berubah menjadi malam…Kujadikan duka sebagai pelipur laraku…Dan tangis untukmu sebagai perhiasanku…Patutkah bagi orang yang pernah mencium pusara Ahmad…Takkan lagi mereguk aroma semerbak wangi…?”
Dan, Ali bin Husain, sering menangis, karena selama 35 tahun sisa hidupnya, tidak seharipun beliau lewatkan untuk meneteskan airmata mengenang tragedi pembantaian dan penganiayaan terhadap ayahnya, Alhusain, diKarbala beserta keluarga dan sahabatnya. Tiada dihidangkan kepadanya makanan atau minuman, terkecuali Beliau menangis, hingga pelayannya berkata, “Kupersembahkan jiwaku untukmu wahai putra Rasulillah! Aku khawatir engkau akan binasah lantaran tangisanmu yang tiada henti!?” Beliau menjawab, “Aku keluhkan kesedihan dan dukaku hanya kepada Allah. Aku mengetahui banyak hal dari Allah yang kamu tidak tahu. Setiap saat aku mengingat pembantaian Bani Fatimah, maka secara spontan airmataku mengalir tak tertahankan.”
Selama 35 tahun sisa hidup Beliau (setelah tragedi Karbala), Beliau menjalani hidup di Madinah beserta keluarga dan pecintanya dibawah pengawasan dan control langsung para pemimpin zalim yang selalu memantau dan mengintai setiap gerak-gerik mereka serta mengekang, mengintimidasi, mengancam dan menteror mereka, sehingga Beliau tidak leluasa dalam berdakwah dengan lisan dan hanya berdakwah secara sembunyi-sembunyi terhadap beberapa orang tertentu saja. Maka, Imam Ali Zainal Abidin menjadikan tangisan sebagai senjata, media dan strategi dakwah Beliau dengan memanfaatkan setiap kesempatan (yang Beliau dapatkan dihadapan khalayak umum) untuk meneteskan airmata dalam mengenang pengorbanan Imam Husain as, guna membangkitkan semangat keislaman yang memiliki keimanan dan prinsip yang kokoh dalam menolak menjalani kehidupan dalam kehinaan, menebar kasih sayang, mengayomi kaum lemah dan membenci hingga bangkit melawan kaun zalim.
Dalam sejarah juga tercatat bahwa semenjak kelahiran Alhusain, sering kali Rasulullah saaw (sayyidulbakkaa’un) Nampak bersedih dan sesenggukan menangisi penderitan yang akan menimpa Alhusain, yang juga di ikuti oleh Fatimah, Ali dan para sahabat, walaupun peristiwa itu belum terjadi. Rasulullah saaw bersabda, “Wahai Fatimah! Semua mata akan menangis di hari kiamat, kecuali mata yang pernah menangis atas musibah yang menimpa Alhusain. Sungguh mata itu akan tersenyum gembira di hari kiamat dan mendapatkan nikmat surga.”
Dan sebelum itu, Rasulullah saaw juga sering terlihat menangisi kepergian Abu Thalib dan Khadijah (hingga dikenal dengan sebutan Aam Khuzun atau tahun kesedihan), juga terhadap Hamzah, ja’far attayyar dan lainya. Rasulullah saaw bersada, “Sesungguhnya tangisan adalah rahmat Allah yang  Ia letakkan dihati hamba-Nya.”
Niat dan tujuan tangisan yang bermanfaat
Secara keseluruhan, tangisan para manusia-manusia suci ini terbagi menjadi dua jenis tangisan :
yang pertama, yaitu tangisan dihadapan Allah swt.
Rasulullah saaw bersabda, “Tiada tetesan yang lebih dicintai oleh Allah, melebihi dua tetesan; tetesan darah dijalan Allah dan tetesan airmata dikegelapan malam karena takut kepada-Nya.”
Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Menangis karena takut kepada Allah akan membuat hati menjadi tenang dan menghindarkan seseorang dari mengulang dosa.”
Imam Husain berkata, “Menangis lantaran takut kepada Allah adalah keselamatan dari siksa neraka.”
Dalam tangisannya Imam Ali Zainal Abidin pernah berkata, “Mendapatkan rahmat seseorang yang airmatanya menetes karena takut kepada Allah.”
Imam Ja’far berkata, “Aku menemukan cahaya dalam tangisan dan sujud.” Dan, “Posisi yang paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya, adalah pada saat ia sujud dalam keadaan menangis.”
Dan yang kedua,  yaitu tangisan dihadapan para ahli surga.
Rasulullah saaw bersabda, “Orang yang meninggal tidak akan mempunyai kenangan di dunia (yang bisa diambil sebagai suritauladan), jika tidak ada orang yang mengekalkan penghormatan kepadanya.”  Salah satu penghormatan terbaik yang di ajarkan alqur’an adalah menangisi kepergiannya, “Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan, dan kebun-kebun serta tempat yang indah, dan (juga) kesenangan-kesenangan yang mereka nikmati. Demikianlah (perlakuan mereka), sehingga Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka tidak diberi tangguh.” (Qs. Addukhan, 25-29) Karena mereka merupakan orang-orang yang tidak bersyukur, tidak berguna bagi orang lain dan melakukan berbagai kerendahan nilai terhadap masyarakat, sehingga para penduduk langit dan bumi tidak memperdulikannya  apalagi menangisinya, dan sebaliknya, terhadap orang-orang baik nan mulia dan berguna bagi masyarakat maka mereka menangisi keberpisahan diantara mereka yang sesaat maupun selamanya (wafat).
Rasulullah saaw terlihat sangat marah sekali ketika mengetahui tiada seorangpun yang menangisi kesyahidan pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, di medan Uhud, terlebih lagi Beliau mengetahui para syuhada’ dari Anshar ditangisi oleh handaitolannya masing-masing. Dengan penuh kesedihan Beliau bersabda, “Akan tetapi pamanku (Hamzah) tiada yang menangisinya.” Mendengar itu, orang-orang Anshar segera mengutus tiap seorang dari kalangan mereka untuk berbelasungkawa kerumah Hamzah, kemudian Rasulullah saaw besabda, “Jika ada orang yang meninggal dunia seperti Hamzah hendaklah ada yang menangisinya.” “Keringnya airmata (terhadap suatu musibah) adalah tanda dari kerasnya hati. Itulah penyakit terparah yang menimpa anak cucu adam.”
Secara keseluruhan tangisan manusia-manusia surgawi ini merupakan jenis tangisan yang memiliki makna, bertujuan, penuh berkah  maupun rahmat dari Allah dan sebagai suritauladan bagi ummat, terlebih lagi Rasulullah sering terlihat melakukannya bahkan memerintahkannya.
Allah swt berfirman, “Dan tiadalah yang diucapkanya itu berdasarkan hawa nafsunya melainkan hanya berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Qs. Annajm, 3-4) Lalu Allah mensifatinya, “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi-pekerti yang agung.” (Qs. Alqalam, 4) Dan, “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat uswatun hasanan (suritauladan yang baik) bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah… “ (Qs. Alahzab, 21) Kemudian Allah perintahkan Manusia mengikutinya, “Dan apa-apa yang datang dari Rasul maka ambillah, dan apa-apa yang dilarangnya maka juhilah.” Maka “Katakanlah (wahai  Muhammad), ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Qs. Alimran, 31)
Imam Ja’far as berkata, “Jika tangismu tak kunjung tiba, maka berpura-puralah menangis! (berlakulah seperti orang yang sedang menangis atau berusahalah untuk mewujudkan suasana yang dapat membuatmu meneteskan airmata). Dan apabila kemudian engkau berhasil meneteskannya walau hanya sebesar kepala lalat, maka ucapkanlah selamat!” Mengapa? Rasulullah saaw bersabda, “Wahai Aba Dzar! Sesungguhnya Tuhanku telah mengabarkan kepadaku, Ia berkata, ‘Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, para penyembah-Ku belum memahami arti tangisan dan airmata (untuk meraih keridhaan-Ku), padahal sungguh Aku akan dirikan bagi mereka ditingkat surga yang paling tinggi (arrafiqul a’la) sebuah istana, yang hanya akan dihuni oleh mereka (selainnya tidak di izinkan masuk).’”
Manfaat manangis dari sisi ilmu kedokteran
Dalam berbagai penelitian ilmiah kedokteran perihan airmata menyebutkan bahwa tangisan dan tetesan memiliki pengaruh maupun manfaat yang besar dan bermacam-macam bagi kesehatan manusia dan kemajuan permedisan. Diantaranya adalah :
a.    Dapat menghindarkan manusia dari penyakit psikis dan setidaknya dapat mengurangi tekanan mental dan jiwa. Bahkan dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa wanita memiliki usia yang lebih panjang dibandingkan pria, dikarenakan wanita lebih mudah meluapkan tekanan emosinya, beban pikirannya, stress dan tekanan mentalnya dengan menangis, sehingga mereka lebih nyaman dan tentram, dan sebagai hasilnya kesehatan fisik, psiki, jiwa, dan hati mereka lebih terpelihara. Berbeda dengan pria yang lebih memilih memendamnya dalam hati.
b.    Orang yang sering menangis lebih terjaga dari berbagai keluhan kesehatan yang diakibatkan stress, seperti penyakit lambung atau maag, insomnia atau susah tidur dll.
c.    Menjaga kesehatan mata, karena setiap keluarnya airmata maka akan keluar juga suatu enzim yang berfungsi membersihkan mata dan menjaganya tetap steril dari kuman-kuman yang dapat merusak kornea mata.
d.    Tetesan airmata juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai penyakit dalam.
Akhiranya…semoga Allah swt memberi kita karunia dan taufik untuk dapat mengambil manfaat dari suritauladan mereka alaihimussalam…

Ilmu Fiqih



A.   Pengertian Ilmu Fiqih
Ilmu Fiqih : Pengetahuan tentang segala sesuatu menurut ajaran agama islam. Baik yang mengenai cara beribadah yang khusus, seperti cara mengenai cara mengerjakan sholat, cara  berpuasa dan lain sebagainya. Ataupun yang mengenai cara ber-masyarakat (pergaulan) antara sesama  makhluk, seperti cara pinjam–meminjam, cara berkeluarga dan lain sebagainya.
Bagian Pertama itu dinamakan bagian Ibadah atau Mu’amalah ma’allah
(Cara berhadapan dengan Tuhan Allah)
Bagian yang kedua itu dinamakan bagian Mu’amalaat, Mu’amalah Ma’a-l-Kholiq.
(Cara berhadapan/bergaul dengan makhluk).
Semua itu harus kita ketahui hukum-hukumnya dan juga cara-caranya, berdasar atas ajaran-ajaran Islam.

B.   Hukum Pembebanan (Al-Ahkam At-Taklifiyyah)
Segala suatu pekerjaan dan suatu benda dapat ditentukan hukumnya dengan salah satu hukum yang lima itu. Menentukan hukum sesuatu menurut ajaran agama Islam ada dalam ILMU FIQIH.
Hukum yang lima itu antara lain, sebagai berikut :
1.    Wajib dan Fardlu :
Asal arti kata Wajib atau Fardlu ialah : Mesti, Tidak boleh tidak.
Dalam ilmu Fiqih berarti : Sesuatu yang apabila kita kerjakan kita mendapat pahala  dan kita tinggalkan kita berdosa.
2.     Sunnat dan Mandub :
Asal artinya kata Sunnat atau Mandub ialah : Jalan, Sesuatu yang  dapat  dikerjakan  atau dipakai yang diseru.
Dalam ilmu Fiqih berarti : Sesuatu yang apabila kita kerjakan kita mendapat pahala, dan kita tinggalkan kita tidak berdosa.
3.    Harom :
Asal artinya Harom ialah : Sakti, Angker, Larangan atau Pantangan.
Dalam ilmu Fiqih berarti : Sesuatu yang apabila kita kerjakan kita berdosa  dan kita tinggalkan kita mendapat pahala.
4.    Makruh :
Asal artinya Makruh ialah : Hal yang tidak disukai.
Dalam ilmu Fiqih berarti : Sesuatu yang apabila kita tinggalkan kita mendapat pahala, dan apabila kita kerjakan kita tidak dipersalahkan.
5.    Mubah dan Halal :
Asal artinya Mubah atau halal ialah : Dibolehkan atau tidak ada larangan.
Dalam ilmu Fiqih berarti : Sesuatu yang boleh kita kerjakan atau kita tinggalkan.
Biasanya yang dihukumi mubah itu ialah perbuatan,sedang yang dihukumi halal ialah barang sesuatu.

C.   Pembagian Wajib dan Sunnat
Wajib dan Fardlu itu ada dua macam, yaitu :
1.    Wajib ‘Ain atau Fardlu ‘Ain
Wajib ‘Ain dan Fardlu ‘Ain, Yaitu Wajib atau Fardlu menjadi tanggung jawab bagi setiap orang tidak boleh diwakilkan oleh orang lain. Misalnya : Sholat lima waktu, Puasa dibulan Ramadhan dan sebagainya.
2.    Wajib Kifayah atau Fardlu Kifayah
Wajib Kifayah atau Fardlu Kifayah, yaitu wajib atau fardlu menjadi tanggung jawab bersama (orang banyak) artinya apabila sudah ada yang mengerjakan sampai cukup, maka semuanya tidak berkewajiban. Misalnya : memelihara mayat , memimpin ummat dan lain sebagainya.
Hal-hal yang sunnat pun ada dua macam, yaitu :
1.    Sunnat ‘Ain
Sunnat ‘Ain, yang masing-masing orang disayogyakan mengerjakan.
Misalnya : puasa sunnat, sholat sunnat dan lain sebagainya.
2.    Sunnat Kifayah
Sunnat Kifayah, yakni apabila ada yang mengerjakan sampai cukup tidak perlu lagi yang lain mengerjakan. Misalnya : mengucapkan salam dalam suatu rombongan.

D.   Hukum Peletakan (Al-Ahkam Al-Wadh'iyyah) Sah Dan Batal
Dalam mengerjakan suatu perkerjaan atau peribadatan,telah ditentukan bagian-bagian yang pokok-pokok yang wajib dikerjakan, dan telah ditentukan pula syarat-syarat  mengerjakannya. Bagian yang pokok-pokok itu Rukun namanya.
Maka perkerjaan atau peribadatan yang telah mencukupi syarat dan rukunnya disebut Sah atau Shohih.
Kebalikannya ialah  pekerjaan yang tidak mencukupi syaratnya dan tidak pula mencukupi rukunnya. Pekerjaan yang serupa itu di namakan bathil atau batal,
Dengan demikian jelaslah arti   : Sah, Batal, Syarat, dan Rukun.
Sah  (صَØ­َّ)                            : Cukup syarat dan rukunnya dan betul.
Artinya                                 : Betul, benar atau jadi.
Batal (بَØ·َÙ„َ)                           : Tidak cukup syarat dan rukunya, atau tidak sah.
Artinya                                 : Rusak dan tidak sah yakni : tidak betul.
Syarat (Ø´َرْØ·ٌ) asal artinya     : Janji.
Syarat di sini                        : Alat yang mesti mengerjakan sesuatu, dan ia bukan dari pada pekerjaan itu.
Rukun (رُÙƒْÙ†ٌ) asal artinya     : Tiang atau soko guru.
Rukun di sini                        : Apa-apa yang pokok. Seperti membaca Al-Fatihah, yang menjadi rukun sholat.

E.    Mukalaf
Orang yang harus menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama itu ialah manusia yang telah dewasa (Baligh), berakal (‘Aqil) dan telah mendengarkan seruan agama. Baligh artinya telah cukup umur, yaitu bukan anak-anak kecil. Berakal (’Aqil) artinya tidak gila atau tidak berubah otaknya. Orang-orang yang demikian itu dinamakan Mukalaf.
Arti kata Mukalaf ialah : Orang yang diberati tuntutan agama.
 

Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa:78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam
Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)
Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Sumber-Sumber Fiqh Islam
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
Dasar (dalil).
Masalah yang akan diqiyaskan.
Hukum yang terdapat pada dalil.
Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).

Ilmu Kalam dan Filsafat


Ilmu Kalam dan Filsafat
Perlukan Kita kepada Ilmu Kalam dan Filsafat  Untuk Memahami Manhaj Ahlus Sunnah wal jama`ah?
Di antara bid`ah besar yang mempurukan kaum muslimin kembali ke alam jahiliyah yang amat kelam adalah bid`ah filsafat, ilmu kalam atau ilmu mantiq Yunani dalam memahami Islam. Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. 
Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Untuk mencapai Kebahagiaan menurut mereka hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan, baik dengan mengetahui kebenaran maupun melaksanakan kebaikan.
Filsafat yang merupakan manhaj orang-orang Yunani dalam berfikir dan merenung untuk mendapatkan kebenaran dan kebaikan telah menipu sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jahil. Padahal Islam sama sekali tidak membutuhkan ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami dan menerapkannya. Logika sehat ini telah menjadi aqidah yang sangat dalam di kalangan kaum muslimin di masa sohabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in. Mengapa Islam tak membutuhkan sama sekali ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq? Jawabnya dapat kita renungkan dari poin-poin berikut ini:
1. Islam yang termaktub dalam Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw sama sekali tidak memerintahkan atau menganjurkan umatnya untuk memahami Islam melalui ilmu filsafat, ilmu kalam atau logika. Bahkan banyak sekali ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw yang membantah dan meluluhlantahkan logika-logika di luar wahyu yang telah menjadi manhaj umumnya manusia di saat itu (masa jahiliyah yang tersebar di seluruh bagian dunia seperti Persia, Romawi dan bangsa Arab).
Alloh Swt berfirman :
Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Alloh, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepada kalian dengan terperinci? orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rob kalian dengan sebenarnya. Maka janganlah kalian sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. Telah sempurnalah kalimat Rob kalian (yaitu Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu (Ya Rosululloh) menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka, dan mereka hanyalah berdusta (terhadap Alloh). Sesungguhnya Robmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al An`am [6]: 114-117)
Ibnu Katsir rhm (Wafat: 774 H) berkata tentang tafsir ayat ini :
Firman Alloh Swt (Telah sempurnalah kalimat Rob kalian/ yaitu Al Qur`an sebagai kalimat yang benar dan adil) menurut Qotadah : benar tentang janji-janjiNya dan adil tentang hukumNya. Artinya : Jujur dalam berbagai beritaNya dan adil dalam berbagai perintah laranganNya. Setiap khobar yang disampaikanNya adalah kebenaran yang tidak mengandung keraguan atau kegamangan. Setiap perintah yang diberikanNya adalah keadilan yang tidak ada lagi tandingan selainNya. Setiap yang dilaranganNya adalah kebatilan, karena Dia tidak melarang sesuatu kecuali pasti mengandung mafsadah…”
Di bagian lain beliau menjelaskan :
Alloh swt mengkhabarkan (dalam ayat ini) tentang kondisi mayoritas manusia penghuni bumi yang berada dalam kesesatan”. (Tafsir Ibnu Katsir : 3/1351)
2. Kaum salafus solih (para ulama yang hidup di 3 kurun terbaik umat Islam) sama sekali tidak mengenal ilmu kalam apalagi untuk digunakan sebagai alat memahami kebenaran atau kebaikan hakiki.
Kita telah mengetahui dengan sangat jelas bahwa Rosululloh saw telah memuji para salafus solih dengan gelar masa terbaik, terbaik dalam agamanya, akhlaknya, dalam seluruh sifat-sifat kemuliaan. Rosululloh saw bersabda:
Ø®َÙŠْرُ النَّاسِ Ù‚َرْÙ†ِÙŠ Ø«ُÙ…َّ الَّØ°ِÙ‰ ÙŠَÙ„ُÙˆْÙ†َÙ‡ُÙ…ْ Ø«ُÙ…َّ الَّØ°ِÙ‰ ÙŠَÙ„ُÙˆْÙ†َÙ‡ُÙ…ْ
Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian manusia-manusia satu masa setelah itu, kemudian manusia-manusia satu masa lagi setelah itu…”
(Hr. Bukhori: 6429)
Bahkan Alloh Swt memerintahkan manusia untuk mengikuti salafus solih (terutama para sohabat Nabi saw) dengan baik dan mengukur semua kebenaran iman dan keberagamaan mereka dengan iman dan keberagamaan para sohabat beliau saw.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Ansor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh rido kepada mereka dan merekapun rido kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Qs. At Taubah [9]: 100)
Jika mereka beriman seperti apa-apa yang kalian (hai orang-orang yang beriman bersama Rosululloh saw) telah imani, sungguh mereka telah mendapat hidayah; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan. Alloh akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al Baqoroh [2]: 137)
Alloh Swt juga telah menetapkan bahwa berpaling dari cara berpikir dan beramal para sohabat Rosululloh saw merupakan ciri kaum munafiqin.
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang itu (yaitu para sohabat Nabi saw) beriman." mereka menjawab: "Kami harus beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?" Ingatlah, Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. (Qs. Al Baqoroh [2]: 13)
Akan tetapi sepanjang sejarah kehidupan mereka, kita tidak pernah dapati mereka mengetahui ilmu kalam atau menggunakannya dalam keilmuan dan keberagamaan mereka. Mereka sudah sangat cukup cerdas dan mulya dengan apa yang mereka dapatkan dalam Al Qur`an dan Sunnah Rosululloh saw. Mari kita simak beberapa perkataan mereka yang mulia, di antaranya :
Abu Dzar rda berkata :
“Sesungguhnya Nabi saw telah meninggalkan kita.. tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di atas langit, kecuali beliau saw sebutkan ilmu tentangnya”. (Hr. Imam Ahmad dalam Musnadnya: 5/153)
Waktu seseorang bertanya kepada Salman Al Farisi rda :
“Apakah nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah beristinja?”
Beliau rda menjawab :
“Ya betul”. (Hr. Muslim: 262)
Az Zuhri rhm berkata :
Ù…ِÙ†َ اللهِ عَزَّ ÙˆَجَÙ„َّ اَلرِّسَالَØ©ُ ÙˆَعَÙ„َÙ‰ الرَّسُÙˆْÙ„ِ اَÙ„ْبَلاَغُ ÙˆَعَÙ„َÙŠْÙ†َا اَلتَّسْÙ„ِÙŠْÙ…ُ
Dari Alloh adalah risalah, kewajiban Rosululloh saw adalah menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah taslim (menerima total dan utuh)”. (Hr. Bukhori: 46)
Ilmu kalam dilahirkan oleh logika dan mantiq orang-orang musyrik yang sama sekali tidak beriman kepada Alloh Swt. Ilmu kalam, filsafat atau mantiq merupakan aturan logika yang dilahirkan oleh para filosof Yunani (plato, aristoteles dengan teori filsafatnya masing-masing). Mereka adalah masyarakat paganisme (musyrikin) yang tidak sama sekali mengenal ajaran para nabi dan rosul.
Pantaskah logika kaum musyrikin kafir dijadikan manhaj atau metode berpikir dan menerapkan Islam yang benar?
Syihristani rhm berkata :
“awal syubhat yang terjadi pada makhluk adalah syubhat Iblis (semoga Alloh melaknatnya). Sumber Iblis adalah keterlaluanyya dalam ro`yu (pandangan-pandangan logika) untuk menentang nash dan upayanya lebih memilih hawa untuk menentang perintah Alloh serta kesombongannya dengan bahan mentah asal pencptaanya, yaitu api dibandingkan bahan mentah asal penciptaan Adam, yaitu tanah”. (Al Milal wa An Nihal: 1/16)
Bencana filsafat, ilmu kalam atau logika yunani ini sebenarnya dibawa ke dalam tubuh umat Islam telah dimulai sejak  masa Dinasti Umayyah (40-132 H/661-750 M) tepatnya pada masa pemerintahan Khalid Bin Yazid Bin Muawiyah (wafat thn 85 H/704 M) sebagaimana dipertegas oleh Ibn An Nadim dan Al Jahizh. (lihat: al fihrist karya Ibn An nadim, Hal: 242 dan rasa’il jahiz karya al jahiz, Hal: 93).  Akan tetapi titik terparah pengaruh Yunani ini terjadi pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada masa al Ma’mun dimana pada tahun 830 H membangun Bayt al Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakaan, akademi, sekaligus biro penerjemah, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak berdirinya museum Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M.
Era Penerjemahan pada masa Dinasti Abbasiyah berlangsung selama satu abad yang telah dimulai sejak 750 M. Karena kebanyakan penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramik, maka berbagai karya Yunani pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah Abu Yahya ibn al Bathriq yang dikenal karena menerjemahkan karya-karya Galen dan Hippocrates untuk al Mansur, dan karya Ptolemius untuk khalifah lainnya. Penerjemah awal lainnya adalah seorang Suriah Kristen, Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh, murid Jibril in Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn Ishaq yang diriwayatkan telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk al Rasyid, terutama manuskrip tentang kedokteran yang dibawa khalifah dari Ankara dan Amorium.
Hunayn ibn Ishaq disebut-sebut sebagai “ketua para penerjemah”, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat pada masanya. Hunayn adalah penganut sekte ibadi, yaitu pemeluk Kristen Nestor dari Hirah. Dalam faktanya, Hunayn memang telah menerjemahkan naskah berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suriah, dan rekan-rekannya melakukan langkah berikutnya, yaitu menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Hermeneutica karya Ariestoteles, misalnya, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Suriah oleh ayahnya, untuk selanjutnya diterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Arab.
Seperti halnya Hunayn yang mengambil posisi terdepan dalam kelompok penerjemah dari penganut Kristen Nestor, Tsabit ibn Qurrah juga berada pada barisan pertama kelompok penerjemah lainnya yang direkrut dari orang Saba, penyembah berhala dari Harran. Prestasi besar Tsabit dilanjutkan oleh anaknya Sinan serta dua cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian anak cucunya Abu al Faraj. Seluruh orang-orang tersebut dikenal sebagai penerjemah dan ilmuan.
Dari sini tampak jelas di hadapan kita bahwa orang-orang yang andil dalam dunia filsafat pada mulanya adalah kaum nasrani yang kafir serta kaum zindiq. Tak ada satu ulama pun di kalangan para tabi`in, maupun tabi`ut tabi`in apalagi di kalangan para sohabat yang menyebut-nyebutnya apalagi menggunakannya dalam memahami dan melaksanakan Islam. Bahkan banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa para ulama di saat itu sangat menentang penggunaan filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami Islam.
5. Perlu diingat dengan sangat tegas bahwa saat seorang muslim lari dari jalan Al Qur`an, as Sunnah dan pemahaman salafus solih ternyata yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan, kegamangan dan kebingungan. Kebingungan orang-orang berotak cerdas. Al Juwainy adalah salah satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa cendekiwan satu ini sangat dikagumi kecerdasannya, sehingga di zamannya ia diberi predikat Imam al Haramain (imam dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah. Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung hayatnya, ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai sahabat-sahabatku, jangan sekali-kali kalian menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, andai saja dahulu aku mengetahui bahwa ilmu ini hanya akan membawaku pada keadaan sekarang ini, sungguh aku tak akan mempelajarinya.”
Sang cendekiawan ini kemudian meninggal dengan dada yang disesaki oleh penyesalan. Salah satu ucapannya yang sempat tercatat saat itu adalah “Sungguh aku telah tenggelam dalam laut yang mengombang-ambingkan, kutinggalkan ilmu-ilmu kaum muslimin yang sesungguhnya, lalu aku masuk mempelajari apa yang telah mereka larang. Dan sekarang, duhai, jika saja Allah tidak menolongku dengan rahmatNya, maka kebinasaanlah untuk putra Al Juwainy ini. Inilah aku, aku mati dengan meyakini agama orang-orang badui.”
Al Ghazaly –semoga Allah mengampuni kita dan beliau- adalah contoh lain dalam masalah ini. Siapa gerangan yang tak mengenal sang hujjatul Islam ini. Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia menjadi seorang ulama yang dikenal sangat cerdas (meskipun cerdas saja tak cukup). Tapi siapa yang mengira bahwa dengan karya sepopuler Ihya’ ‘Ulumuddin ternyata ia juga terjebak dalam kegelisahan dan kebingungan. Hal itu kemudian mendorongnya menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak mengikuti jejaknya mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam Al ‘Awaam ‘an ‘ilmil Kalam.
Ibnu Rusyd al-Hafiid (Muhamad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Andalusi. Wafat tahun 595 H). Dia telah mendalami dan menyibukan dirinya dengan ilmu kalam sampai dia menjadi orang yang paling piawai dalam manhaj filsafat dan pandangan-pandangan para tokohnya. Akan tetapi pada akhirnya dia menolak bahkan mendebat serta membantah manhaj ini setelah jelas kesalahan dan kerusakannya. Di antara kitab terbaiknya dalam hal itu adalah (Al-Kasyf ‘an Manahijil Adillah fii ‘Aqoidil Millah). Dia kembali meniti manhaj al-qur’an dan banyak mengkritisi madrasah-madrasah ilmu kalam. Dan dia mengatakan di dalam kitabnya (tahafutut tahafut): Apakah masih dianggap orang yang hanya pandai berbicara tentang ilahiyah?
Begitu juga Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Ar-Rozy, dia bersyair dalam kitabnya (Aqsamulladzat):
Akhir langkah logika adalah kekacauan.
dan penghujung usaha dunia adalah kesesatan.
Ruh-ruh yang berada di jasad selalu galau…
Hasil dunia hanyalah kepedihan dan bencana.
Kami tidak mendapatkan faidah dari pembahasan sepanjang usia, kecuali kumpulan katanya begini dan begitu.
Berapa banyak kami melihat seorang rijal dan sebuah negri, maka tampaklah semuanya lenyap dan sirna.
Berapa banyak gunung yang menjulang kemuliaannya, saat seorang rijal telah sirna tetapi gunung tetaplah gunung
Kemudian dia berkata: Aku telah memperhatikan manhaj kalam dan filsafat, maka kulihat hal itu tidak dapat menyembuhkan penyakit dan tidak dapat menghilangkan dahaga. Kemudian akupun melihat bahwa jalan yang paling benar adalah jalan al-Qur’an. Di dalam itsbat (penetapan sifat Alloh) aku membaca firmanNya:
Alloh yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy (Thoha:5)
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik (Fatir:10)
Dan di dalam nafyi (peniadaan sifat bagi Alloh) akupun membaca firmanNya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Assyuro:11)
Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (Thoha:110)

Kemudian dia berkata: barangsiapa yang bereksperimen seperti eksperimenku, niscaya dia akan tahu seperti yang aku ketahui sekarang (kebingungan dan penyesalan).
Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Karim As-Sihrisytani yang wafat tahun 548 H, pun telah berkata: Tidak ada seorangpun yang mendalami falsafat dan ilmu kalam kecuali datang kebingungan dan penyesalan, kemudian dia bersyair:
Aku telah mengelilingi berbagai universitas sepanjang umurku,
Akupun telah menempuh berbagai lembaga-lembaga ilmiyah, tapi aku tidak pernah melihat kecuali orang yang meletakan tangannya di bawah dagu karena bingung kemudian menyesal.
Dan dikatakan pula bahwa Imam Zamakhsyari yang wafat tahun 537 H, pada akhir hayatnya bertaubat dari pemahaman mu’tazilah. Dari sebagian syairnya yang indah tentang masalah ini adalah:
Wahai Dzat yang melihat sayap nyamuk pada gelam malam. Dan melihat urat yang menempel pada lehernya juga sum-sum yang ada pada tulang lebah. Anugrahkanlah padaku ampunan yang akan menghapuskan dosa-dosaku pada zaman dahulu.
Semua ulama salafus solih sangat mencela ilmu kalam dan banyak sekali mengingatkan besarnya bahaya akibat mempelajari dan menyebarnya ilmu kalam. Marilah kita simak beberapa perkataan mereka:
Abu Hanifah rhm pernah ditanya : “apa pendapat anda tentang hal-hal baru yang diperbincangkan orang tentang `ard dan jism?” Beliau rhm menjawab : “Semua itu adalah makalah-makalah filsafat. Berpegang teguhlah anda dengan atsar dan metode salaf. Waspadalah setiap konsep baru, karena semua itu adalah bid`ah”. (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah: 8 serta Sounul Mantiq: 32).
Abdurrohman bin Mahdi rhm bercerita : Aku pernah menemui Malik di mana saat itu ada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang Al Qur`an. Beliau rhm berkata : “Anda pengikut `Amr bin `Ubaid? Alloh melaknat `Amr, karena membuat-buat bid`ah ilmu kalam. Seandainya ilmu kalam itu ilmu, niscaya seluruh sohabat Nabi saw tabi`in menggunakannya dalam ilmu-ilmu hokum dan syari`at-syari`at mereka. Sesungguhnya ilmu kalam itu batil yang menunjukan kebatilan”. (Dzammul Kalam : 294)
Abu Yusuf (Ya`qub bin Ibrohim al Qodhi. Wafat : 183 H) berkata :
Barangsiapa mencari agama dengan ilmu kalam, pasti dia zindiq. Barangsiapa yang mencari makna-makna gorib hadits, pasti dia berdusta. Barangsiapa yang mencari harta dengan kimia (sulap), pasti dia bangkrut”. (Dzammul Kalam: 326)
Sehingga Al Imam Syafi'i mengatakan : 'Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan terjun dalam ilmu kalam.' (Hr. al-Harowi dalam kitab Dzammul Kalam: 356)
Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal : “Ulama ilmu kalam itu adalah para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan
keimanan).
" (Talbis Iblis: 83)
Imam al Barbahari (Muhammad Al Hasan bin Ali bin Kholf. Wafat : 329 H) rhm berkata :
Ketahuilah… Tidak ada kezindiqan, kekufuran, keragu-raguan, kebid`ahan, kesesatan dan kebingungan dalam agama kecuali disebabkan ilmu kalam, ahli kalam, perdebatan dan peseteruan”. (Syarh as Sunnah : 38)
  
Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Memahami Islam
1. Sumber agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh dalam bentuk Al Qur`an dan Hadits yang shohih.
Islam diturunkan dan diajarkan oleh Alloh Swt kepada Rosululloh saw, baik dalam lafadz-lafadzNya, cara memahaminya maupun cara menerapkannya. Untuk itu, sumber yang benar dalam agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh sendiri, yaitu Al Qur`an dan hadits-hadits yang shohih. Dalil-dalil prinsip ini adalah firman Alloh Swt :
48.  Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan pembatas kebenaran terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Alloh turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Alloh menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Alloh hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Alloh-lah kembali kalian semua, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu, (Qs. Al Maidah [5]:48)
Imam Asy Syafi`i rhm berkata :
" ولا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله ، أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم ، وما سواهما تبع لهما "
 “Satu pendapat bagaimanapun tidak akan menjadi keniscayaan kecuali dengan Kitabulloh atau sunnah RosulNya. Selain kedua sumber tersebut hanya mengikuti keduanya.” (Jima` al `Ilm: 11)
2. Ijma` Sohabat adalah hujjah syar`iyyah.
Walaupun satuan sohabat Nabi saw tidaklah ma`sum, akan tetapi ketika mereka bersatu pendapat dalam satu faham atau cara penerapan tertentu dalam agama ini maka kedudukannya adalah ma`sum dan sebagai hujjah syar`iyyah.
Alloh swt berfirman :
Barangsiapa yang berselisih jalan dengan Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Qs. An Nisa [4]:115)
Imam asy Syafi`I rh memberikan kesimpulan tentang ayat ini sangat jelas:
“Alloh menggabungkan ancaman kepada orang yang berselisih jalan dengan Rosul saw bersama orang yang menyelisihi jalan (kesepakatan) orang-orang yang beriman. Seandainya mengikuti selain (kesepakatan) jalan orang-orang yang beriman itu boleh, niscaya Alloh tidak menggabungkan keharamnya dengan menentang Rosul. Mengikuti selain jalan (kesepakatan) mereka berarti menyelisihib pendapat-pendapat dan amal-amal mereka”. (Anwar at Tanzil, Baidowi : 1/243)
Rosululloh saw bersabda :
“Alloh tidak menyatukan umat ini dalam kesesatan selama-lamanya”. (Hr. Al Hakim dalam Mustadroknya: 1/115)

3. Menolak semua bentuk bid`ah, baik bid`ah dalam aqidah, manhaj maupun amal.
Ahlus Sunnah wal Jama`ah berkeyakinan bahwa bid`ah dengan segala bentuknya dalam agama adalah kesesatan yang nyata. Bid`ah adalah semua aqidah atau peribadatan yang mengatasnamakan Islam tetapi tidak disyari`atkan atau diajarkan oleh Islam. Secara umum dan global bid`ah sangat berbahaya, lebih berbahaya daripada maksiat meninggalkan perintah atau melanggar larangan, karena pembuatnya telah menempatkan dirinya sebagai pemegang hak membuat hokum. Walaupun, dari segi satuan-satuannya keberbahayaan bid`ah bertingkat-tingkat.  
Alloh swt berfirman :
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menyimpangkan kalian dari jalanNya (yang lurus). yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kalian bertakwa. (Qs. Al An`am [6] : 153)

4. Semua hadits shohih diterima sebagai dalil dan dasar untuk semua masalah termasuk masalah aqidah, baik hadits itu berderajat mutawatir atau ahad.
Semua ulama salafus solih telah menjadikan hadits Nabi saw yang shohih berasal dari beliau sebagai sumber ilmu dan hokum. Mereka sama sekali tidak membeda-bedakan antara riwayat hadits yang dibawa oleh banyak orang yang berderajat mutawatir atau orang perorang yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Alloh Swt berfirman :
apa yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras hukumanNya. (Qs. Al Hasyr : 7)
Ibnu Hazm rhm berkata :
“Abu Sulaiman, Husein bin Ali al Karobisi , Harits bin Asad al Muhasibi dan ulama lainnya berkata : sesungguhnya khobar satu orang yang adil dari orang yang semisalnya sampai kepada Rosululloh saw meniscayakan keilmuan dan keharusan mengamalkannya. Inilah pendapat yang kami pegang”.
Ahmad Syakir rhm berkata :
“Kebenaran yang didukung oleh dalil-dalil yang shohih adalah pendapat Ibnu Hazm dan para ulama yang sependapat dengan beliau bahwa hadits yang shohih menyampaikan kepada ilmu qot`I, baik yang ada pada salah satu kitab bukhori muslim atau kitab hadits lainnya. Ilmu keyakinan ini adalah ilmu teoritis ilmiyah yang hanya bisa dicapai oleh seorang alim yang luas dalam ilmu hadits serta mengetahui kondisi para perawi dan cacat-cacatnya”. (al Bais al Hasis:39)
5. Wahyu dari Alloh Swt tidak ada yang bertentangan dengan akal yang bersih.
Wahyu Alloh swt adalah kalamNya Yang maha berilmu dan Maha luas ilmuNya, Yang Maha adil lagi Maha bijaksana. Wahyu ini ditujukan untuk manusia-manusia yang berakal dan akallah tempat tugas-tugas keagamaan dariNya diberikan. Jadi tak mungkin wahyu bertentangan dengan akal yang bersih dan sehat. Kalau seakan-akan terjadi secara dzohir ada pertentangan di antara kedunya, maka kemungkinan yang paling meyakinkan adalah akal yang kurang bersih atau kurang tepat dalam memahaminya.
Dan Kami mengutus rosul-rosul hanya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan. (QS. Al Kahfi [18]:56)

6. Beriman kepada semua khabar-khabar goib yang datang dari Alloh melalui Al Qur`an dan As Sunnah dan tidak mempercayai khabar gaib apapun dari selain keduanya.
Sesuatu yang goib adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera manusia. Hanya Alloh Swt Yang Maha luas ilmuNya yang mengetahui yang goib dan tak ada satu makhlukpun yang mengetahuinya kecuali yang diberitahu atau diajarkan oleh Alloh Swt sendiri, seperti para Nabi dan rosul. Siapapun yang mengaku mengetahui yang goib atau menganalisa dan melahirkan teori-teori tentang yang goib, maka orang itu pendusta dan telah melakukan kesyirikan yang amat besar.
Alloh Swt berfirman:
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Alloh ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepada kalian bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kalian tidak memikirkan(nya)?" (Qs. Al An`am [6]:50) 
Dan pada sisi Alloh-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Qs. Al An`am [6] : 59
)

Ilmu Hadis


I.      Pengertian Hadits


Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmah nya


Taqrir adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya. 

Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
“Dikala Rosulullah saw berpuasa pada hari ‘Asura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan Abu Dawud)

tetapi Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau telah wafat.
Menurut Imam Syafi’i bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.

Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.

Atsar adalah segala sesuatu yang lebih umum dari hadits dan khabar, yaitu termasuk perkataan tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para ulama salaf.

Biasanya perkataan yang disandarkan atau berasal dari selain Nabi disebut atsar.

Sunnah adalah Jalan hidup atau kebiasaan yang ditempuh dalam berbuat dan ber’itiqad (berkeyakinan). Dikatakan sunnah Nabi jika itu disyariatkan, ditempuh dan diridloi oleh Nabi.

Hadits Qudsi adalah hadits yang mengandung kalimat langsung perkataan Allah, cirinya dimulai dengan “Allah berkata…”

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an :
a.       Semua lafad ayat-ayat Al-Qur’an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang Hadits Qudsi tidak.
b.      Perlakuan terhadap Al-Qur’an -dilarang menyentuhnya bagi yang berhadas kecil, dilarang membacanya bagi yang ber hadas besar- tidak berlaku bagi Hadits Qudsi.
c.       Membaca Al-Qur’an setiap hurufnya mendatangkan pahala, sedang membaca Hadits Qudsi tidak.
d.      Al-Qur’an semua susunan kata-katanya redaksinya berasal dari Allah, sedangkan Hadits Qudsi redaksi kata-katanya terserah Rasulullah.




II.   Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam


Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur’an dan yang kedua adalah Hadits.

Sebab-sebab Al-Qur’an lebih tinggi derajadnya dari hadits :
1.      Al-Qur’an kita terima dari Nabi dengan jalan Qoth’i (pasti) karena didengar dan dihafal oleh sejumlah sahabat dan ditulis oleh para penulis wahyu. Sedangkan hadits tidak semuanya dihafal atau dituliskan dan tranmisinya berupa dzan (dugaan kuat).
2.      Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf dan mentranmisikan materinya kepada umat dalam keadaan aslinya (redaksinya) sehuruf pun tidak berubah, tidak bertambah dan tidak berkurang dan mushaf itupun terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa. Sedangkan materi hadits dapat diriwayatkan dengan maknanya saja.
3.      Semua ayat Al-Qur’an Mutawatir. Sedangkan hadits kebanyakan tidak mutawatir.
4.      Al-Qur’an merupakan pokok yang memuat prinsip dasar dan hadits adalah penjelas dari yang pokok atau hadits adalah cabang dari yang pokok. Bila hadits yang cabang mendatangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang pokok maka ditolak.
5.      Ijma Sahabat, yaitu Khalifah Abu Bakar, Umar bila akan memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada keputusan hukumnya pada masa Rasulullah maka mereka merujuk ke Al-Qur’an, bila tidak ditemukan di Al-Qur’an maka Khalifah mengumpulkan sahabat-sahabat besar untuk ditanyakan apakah ada yang pernah mendengar Hadits Rosulullah, mengenai masalah tersebut, bila ada yang menyebutkan haditsnya maka Khalifah memutuskan hukum berdasarkan hadits tersebut. Metode tersebut juga dilakukan oleh Usman dan Ali dan tidak ada yang menyelisihi mengenai hal ini.
6.      Dalam hadits sendiri menunjukkan bahwa Al-Qur’an lebih tinggi kedudukannya, yaitu hadits Muadz Bin Jabal ra yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, yang menjelaskan urut urutan sumber hukum islam yaitu : Al-Qur’an, Hadits dan “ajtahidu ro’yii – ijtihad dengan akal

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah Ijma (konsensus) ulil-amri (pemegang urusan yaitu umaro dan ulama) kemudian yang keempat adalah dalil akal.

Dalil akal ini ada sekitar 40 tools yang dibahas secara terperinci dalam ilmu ushul fikih, yang terkenal adalah :
1.      Qiyas (analogi)
2.      Ihtisan (keluar dari qiyas umum karena ada sebab yang lebih kuat)
3.      Maslahah Mursalah (keluar dari qiyas umum dengan pertimbangan kemaslahatan)
4.      Saddudz Dzari’ah (menutup jalan yang menuju kemudhorotan)
5.      Ar Raju’u ilal manfa’ati wal madharrati (mempertimbangkan kemanfaatan dan kemudhorotan)
6.      Istishab (hukum yang diyakini menetap sebelumnya tidak dapat dirubah oleh yang masih meragukan)
7.      Urf (kebiasaan yang berlaku pada suatu kaum dapat menjadi hukum).
dan lain lain sampai sekitar 40 macam.

Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an :
1.      Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
2.      Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
3.      Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
4.      Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
5.      Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
6.      Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.
Untuk memahami dengan baik tentang hal ini diperlukan penguasaan ilmu-ilmu Al-Qur’an (ulumul Qur’an) dan menguasai nahwu-sharaf bahasa Arab serta menguasai kaidah-kaidah yang mengatur kapan suatu hadits dapat mentakhsish atau me nasakh Al-Qur’an. Kemampuan ini harus dimiliki oleh seorang mujtahid. 


III.      Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits


A.     Periode Pertama (Jaman Rosul)
-         Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi.
-         Para sahabat lebih concern dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an
-         Secara umum Rasulullah saw melarang menuliskan hadits karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Qur’an karena wahyu sedang / masih diturunkan.
-         Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan hadits, mereka meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan secara lisan.
-         Sebagian kecil sahabat –yang pandai baca tulis- menuliskan hadits seperti : Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai catatan hadits dan dikenal sebagai “Shahifah Ash Shadiqah” juga Jabir Bin Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai “Shahifah Jabir
-         Pada event tertentu orang arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi meluluskan permintaannya untuk menuliskan hadits untuknya.
-         Para sahabat masih disibukkan dengan peperangan penaklukan kabilah-kabilah di seluruh jazirah Arab.
-         Para sahabat yang belum paham tentang suatu hukum bisa saling bertanya kepada yang lebih tahu dan saling mempercayai penuturannya.

B.     Periode Kedua (Masa Khulafaur Rasyidin)
-         Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia.
-         Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar mengajarkan Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka.
-         Khalifah Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan hadits kepadanya.
-         Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits
-         Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang memperbanyak periwayatan hadits.
-         Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar ke Ibukota daerah taklukkan untuk mengajarkan agama.

C.     Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
-         Para sahabat besar telah terpencar kelur dari Madinah.
-         Jabir pergi ke Syam menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary.
-         Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadits.
-         Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan hadits antara lain :
a.       Abu Hurairah (5347 hadits)
b.      Abdullah Bin Umar (2360 hadits)
c.       Anas Bin Malik (2236 hadits)
d.      Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadits)
e.       Abdullah Bin Abbas (1660 hadits)
f.        Jabir Bin Abdullah (1540 hadits)
g.       Abu Sa’id Al Kudri (1170 hadits)
h.       Ibnu Mas’ud
i.         Abdullah Bin Amr Bin Ash

 -   Pada waktu pemerintahan Khalifah Ali, terjadi pemberontakan oleh Muawiyah Bin Abu Sofyan, setelah peristiwa tahkim (arbitrase) muncul kelompok (sekte) kawarij yang memusuhi Ali dan Muawiyah. Setelah terbunuhnya Khalifah Ali, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan mendukung masing-masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadits palsu adalah Syiah Rafidah.


D.     Periode Ke-empat (Masa Pembukuan Hadits)
-         Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
a.       Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
b.      Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak beredar.
c.       Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
d.      Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan-peperangan tersebut.

-    Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin.

Khalifah Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada Ibnu Hazm :

“Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”

-         Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry)-seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam- untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.
-         Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
a.       Al-Muwaththa’, karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
b.      Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c.       Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H)
d.      Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
e.       Al Musnad, karya imam Syafi’i (204 H)

E.      Periode ke-lima (Masa Kodifikasi Hadits)
1.      Periode Penyaringan hadits dari Fatwa-fatwa sahabat (abad ke-III H)
-         Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
-         Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
-         Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan ke sahihan hadits.
-         Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam Bukhary).
-         Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadits.
-         Penyusunan kitab Sahih Bukhory
-         Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu adalah :
a.       Sahih Bukhory
b.      Sahih Muslim
c.       Sunan Abu Dawud
d.      Sunan An Nasay
e.       Sunan At-Turmudzy
f.        Sunan Ibnu Majah
2.      Periode menghafal dan meng isnadkan hadits (abad ke-IV H)
-         Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun pada kitab-kitab hadits.
-         Para ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada kitab-kitab hadits.
-         Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus shittah.
3.      Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
-         Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
-         Menguraikan dengan luas (men syarah) kitab-kitab hadits.
-         Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
-         Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
-         Menciptakan kamus hadits.
-         Mengumpulkan (jami’) hadits-hadits bukhory-Muslim
-         Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
-         Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
-         Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
-         Menyusun kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya.

F.      Periode ke-enam (dari tahun 656 H – sekarang)
-         Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H – sekarang ini.
-         Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
-         Membuat kitab-kitab jami’
-         Menyusun kitab-kitab athraf
-         Menyusun kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnbya kedalam sebuah kitab yang tertentu.

IV.       Pembagian Ilmu Hadits


Ilmu hadits dibagi menjadi dua : Hadits Riwayah dan Hadits Dirayah (mushthalahul hadits)
a.    Hadits Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan apa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya.

Yaitu bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau menuliskan dalam kitab hadits. Dalam menyampaikan dan menuliskan hadits, hanya dinukil dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber ‘illat, apakah sanadnya terputus atau bersambungan. Lebih jauh tidak dibahas hal ihawa dan sifat sifat perawinya.
Faedah mengetahui ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.

b.      Hadits Dirayah adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
      Ilmu hadits dirayah ini disebut juga ilmu Mushthalahul hadits. Kitab yang dianggap paling ‘mapan’ menerangkan ilmu Mushthalahul hadits adalah kitab “Al-Kilafah” karangan Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdady (meninggal tahun 463 H).

Faedahnya untuk menetapkan ke sahihan suatu hadits dan untuk menetapkan apakah hadits tersebut dapat diterima (maqbul) untuk diamalkan atau ditolak (mardud) untuk ditinggalkan.



V.   Ilmu Mushthalah Hadits


Dalam memperlajari mushthalah hadits atau dalam menentukan derajad (ke-sahih-an) suatu hadits akan selalu terkait dalam 3 hal pokok yaitu : Rawi, Sanad dan Matan

Unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah hadits :
a.      Rawi
Rawi adalah orang yang menyampaikan hadits, contoh dalam hadits :
Warta dari ummul Mukminin Aisyah ra, ujarnya : “Rasulullah telah bersabda : ‘barang siapa yang mengada-adakan sesuatu yang bukan termasuk urusan (agamaku), maka ia tertolak’.”
(Hadits Riwayat Bukhary – Muslim)

dalam hadits diatas Aiysah ra adalah rawi pertama dan Imam Bukhary dan Imam Muslim adalah rawi terakhir. Antara rawi pertama dan rawi terakhir tentunya ada beberapa rawi lagi yang biasanya tidak disebutkan untuk mempersingkat penulisan.

b.   Matan
Matan adalah materi atau isi dari hadits.
Dalam meriwayatkan atau mentransmisikan materi (isi) hadits ada dua jalan, yang keduanya tidak dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu :
1.      Dengan lafad yang sama persis dari Rasulullah.
2.      Dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya.


c.       Sanad
Sanad adalah jalan atau jalur transmisi yang menghubungkan materi hadits (matan) kepada Rasulullah saw.
Misalnya seperti kata Imam Bukhary :
“Telah mewartakan kepadaku Muhammad Bin al-Mutsanna, ujarnya : ‘Abdul Wahhab ats-tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, ujarnya : Telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda : ‘Tiga perkara, yang barang siapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman, yakni : 1. Allah dan Rasul-NYA hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. 2. Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan 3. Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke neraka’.”

Dalam hal ini materi hadits diterima oleh Imam Bukhary dari sanad pertama Muhammad Bin al-Mutsanna, terus bersambung sampai dari sanad terakhir yaitu sahabat Anas ra.
Dengan demikian Imam Bukhary menjadi sanad pertama bagi kita dan sebagai rawi terakhir pada hadits tersebut diatas.

Dalam ilmu hadits sanad ini merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya suatu hadits. Andaikata salah satu rawi dalam jalur transmisi (sanad) itu ada yang fasik atau tertuduh dusta maka hadits tersebut menjadi dhaif (lemah).


5.1.  Pembagian Derajad / Jenis Hadits

Pembagian hadits ahad berdasarkan derajad ke sahihan :
a.    Sahih
b.      Hasan
c.    Dhoif

A. Hadits Sahih

Hadits sahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber ‘illat dan tidak janggal (syadz)

Jadi suatu hadits dapat dikatakan sahih apabila memenuhi lima persyaratan :
1.      Semua rawinya adil.
2.      Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)
3.      Sanadnya bersambung-sambung tidak putus
4.      Tidak ber ‘iilat (cacat tersembunyi)
5.      Tidak janggal (Syadz)

Keadilan Rawi
Keadilan seorang rawi menurut Ibnu Sam’any harus memenuhi empat syarat :
1.      Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat.
2.      Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3.      Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatan penyesalan.
4.      Tidak mengikuti pendapat salah satu sekte yang bertentangan dengan syara’.

Sebab-sebab yang menggugurkan keadilan seorang rawi :
1.      Diketahui dusta.
2.      Tertuduh dusta.
3.      Fasik.
4.      Tidak dikenal (jahalah)
5.      Penganut sekte bid’ah yang terang terangan dan bersangatan membela paham bid’ahnya.
Ulama-ulama hadits menerima periwayatan tokoh-tokoh syiah yang dikenal benar dan kepercayaan.

Perawi yang tidak langsung ditolak periwayatannya :
a.       Orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
b.      Orang yang banyak kesilapan dan menyalahi imam-imam yang kenamaan/kepercayaan.
c.       Orang yang banyak lupa.
d.      Orang yanng rusak akal (pikun) di masa tuanya.
e.       Orang yang tidak baik hafalannya.
f.        Orang yang menerima hadits dari sembarang orang saja, baik dari orang kepercayaan maupun yang tidak kepercayaan.

Kalau ada pertanyaan : ‘Bagaimana mengetahui keadilan seorang rawi ?’. Jawabannya adalah dengan mempelajari ilmu Jarh wat Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan penilaian adil kepada seorang rawi. Menurut Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib Ilmu Jarh wat Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.

Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari tiga kaidah berikut :
1.      Semua sahabat nabi adalah adil, baik yang terlibat dalam masa pertikain dan peperangan antar sesama kaum muslimin ataupun yang tidak terlibat.
Sahabat nabi adalah semua orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw masih hidup dan dalam keadaan Islam lagi beriman. 
2.      Dengan kepopulerannya dikalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil, seperti Anas Bin Malik, Sufyan Ats Tsaury, Syub’ah bin Al Hajjaj, Asy Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal, dsb.
3.      Dengan pujian dari seseorang yang adil, yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh seorang yang adil, yang semula rawi itu belum dikenal atau belum populer sebagai rawi yang adil.
Penetapan tentang kecacatan (tidak adil) juga dapat ditentukan dengan kepopulerannya sebagai orang yang mempunyai cacat sifat adilnya atau berdasarkan pentarjihan dari seseorang yang adil.

Men-ta’dil-kan atau men-tajrih-kan seorang rawi itu ada kalanya tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) dan adakalanya disebutkan sebab-sebabnya (mufassar). Untuk yang tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) diperselisihkan oleh para ulama tentang diterima atau tidaknya, tapi jumhur ulama menetapkan bahwa men-ta’dil-kan tanpa menyebut sebab-sebabnya diterima, karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu mubadzir. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja.

Tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi masih diperselisihkan apakah minimal dua orang atau cukup satu orang saja.

Bila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama men-tajrih-kan, maka masih diperselisihkan tapi jumhur ulama berpendapat Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah yang men-ta’dil-kan lebih banyak daripada yang men-jarh-kan. Sebab bagi orang yang men-jarh-kan tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh orang yang men-ta’dil-kan, dan kalau orang yang men-jahr-kan dapat membenarkan orang yang men-ta’dil-kan tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang orang yang men-jahr-kan memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh orang yang men-ta’dil-kan.

Perlu diperhatikan juga penilaian jahr oleh beberapa Muhaditsin yang terkenal keterlaluan dan berlebihan dalam men tajrih seorang rawi, yaitu Abu Hatim, An Nasa’iy, Yahya Bin Ma’in, Yahya Bin Khaththan dan Ibnu Hibban.

Kitab-kitab yang membahas jahr dan ta’dil rawi-rawi hadits yang terkenal diantaranya :
-         Ad-Dlu’afa’ karya Imam Bukhary.
-         Lisanu’l Mizan karya Al-hafidz Ibnu Hajar Asqolany.


Kesempurnaan ingatan Rawi

Yang dimaksud sempurna ingatan (dlabith) adalah orang yang kuat ingatannya, artinya ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang sampai mempunyai ingatan (hafalan) yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendaki orang tersebut disebut dlabith’ush-shadri. Kalau berdasarkan buku catatan disebut dlabithu’l kitab.

Cacat-cacat yang merusakkan ke sahihan hadits :
a.       Terlalu lengah dalam penerimaan hadits.
b.      Banyak salah dalam meriwayatkan hadits.
c.       Menyalahi orang-orang kepercayaan (syadz).
d.      Banyak berperasangka.
e.       Tidak baik hafalannya.

Sanad bersambung-sambung tidak putus

Yang dimaksud sanadnya bersambung-sambung tidak putus yaitu sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberikannya.

Untuk mengetahui apakah sanad hadits itu bersambungan tidak putus atau tidak perlu mempelajari dua macam ilmu yaitu : Ilmu Rijalil Hadits, ilmu Thabaqoh Ruwah dan Ilmu Tawarihi Ruwah.

Ilmu Rijalil Hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas hal-ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.

Ilmu Thabaqoh Ruwah  adalah ilmu yang membahas pengelompokan sahabat nabi dalam kelompok (thabaqoh) yang tertentu. Thabaqoh pertama : sahabat yang pertama masuk Islam, thabaqoh kedua : sahabat yang masuk Islam sebelum musyawarah orang musyrik Mekkah di Darun Nadwah yang berencana membunuh Nabi Muhammad saw, thabaqoh ketiga : sahabat yang hijrah ke habsy, thabaqoh keempat : sahabat peserta bai’at aqabah pertama, thabaqot kelima : sahabat yang menghadiri bai’at aqobah kedua, thabaqoh keenam : Muhajirin yang menyusul Nabi di Quba sebelum memasuki Madinah, thabaqoh ketujuh : sahabat peserta perang Badar, thabaqot kedelapan : sahabat yang hijrah ke Madinah setelah perang Badar, tahbaqot kesembilan : sahabat yang menghadiri bai’at baitur ridwan, thabaqot kesepuluh : sahabat yang hijrah setelah perjanjian Hudaibiyah sebelum futuh Mekkah, thabaqot kesebelas : sahabat yang masuk Islam setelah futuh Mekkah, thabaqot kedua belas : anak-anak yang melihat Nabi Muhammad saw setelah Futuh Mekkah dan haji wada’.

Kitab terbaik yang membahas sejarah, hal-ihwal dan thabaqot sahabat adalah kitab “Al-Isabah” karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.

Ilmu Tawarihi Ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para rawi hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadits, mencakup keterangan tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, kapan tanggal mendengar dari gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya, kota dan kampung halamannya, perantauannya, tanggal kunjungannya ke negeri yang berbeda-beda, mendengarnya hadits dari sebagian guru, sebelum dan sesudah ia lanjut usia dan sebagainya yang ada hubungannya dengan masalah per haditsan.

Kitab-kitab ilmu Tawarihi Ruwah yang tekenal diantaranya :
-         At-Tarikh’ul-Khabir karya Imam Bukhary. Berisi biografi 40.000 perawi hadits.
-         Tarikh Nishabur karya Imam Muhammad Bin Abdullah Al-Hakim An-Nishabury. Kitab ini merupakan kitab tarikh terbesar yang banyak faedahnya.
-         Tarikh Baghdad karya Imam Al-Khatib Al-Baghdady. Kitab ini memuat biografi ulama-ulama sebanyak 7.831 orang.

‘illat (cacat tersembunyi)

‘Illat hadits adalah cacat tersembunyi yang dapat menodai kesahihan suatu hadits, yaitu :
a.       Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur (tidak disebutkan) sahabat yang meriwayatkannya. Hadits seperti ini disebut hadits mursal.
b.      Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur salah seorang rawinya. Hadits seperti ini disebut hadits munqathi’.
c.       Adanya sisipan yang terdapat pada matan hadits.

Kejanggalan Hadits

Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (dapat diterima) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.

Klasifikasi Hadits Sahih :

Hadits sahih dibagi menjadi dua bagian : sahih li-dzatih dan sahih li-ghairih.

Sahih li-dzatih adalah hadits sahih yang memenuhi syarat-syarat hadits sahih diatas.
Sahih li-ghairih adalah hadits sahih yang diantara perawinya ada yang kurang dlabith, tetapi mempunyai sanad lain yang lebih dlabith.

B. Hadits Hasan

Hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya (kurang dlabith), bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya.

Klasifikasi hadits hasan : hasan lidzatih dan hasan li-ghairih.

Hadits hasan li-dzatih adalah hadits hasan yang memenuhi syarat hadits hasan diatas.

Hadits hasan li-ghairih adalah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.

Hadits hasan derajadnya dibawah hadits sahih.

Menurut Imam Turmudzi dan Ibnu Taimiyah hadits hasan adalah hadits yang banyak jalan datangnya dan tidak ada dalam sanadnya yang tertuduh dusta dan tidak pula janggal (syadz).

Dibawah hadits hasan ada yang lebih rendah derajadnya yaitu hadits dhaif.

Menurut Imam Nawawi : “Hadits dhaif yang banyak jalan dan saling menguatkan bisa naik menjadi hadits hasan”. Yaitu hasan li-ghairih, tapi ke dhaifannya bukan karena ada rawi yang tertuduh dusta atau fasiq. Maka dengan demikian dapat diamalkan berdasarkan kumpulannya, bukan berdasarkan kepada satu per satunya.


C. Hadits Dhaif

Hadits dhaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih atau hadits hasan.

Berdasarkan dapat diterima atau ditolak sebagai hujjah hadits diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a.       Hadits Maqbul : yaitu hadits yang dapat diterima
b.      Hadits Mardud : yaitu hadits yang ditolak dan tidak dapat diterima.

Hadits sahih dan hasan adalah hadits yang maqbul.
Yang termasuk hadits mardud (ditolak) adalah segala macam hadits dhaif

Klasifikasi hadits dhaif :
a.    Dari jurusan sanad, dibagi dua
Pertama :  Cacat pada rawi, tentang keadilan dan kedlabitannya.
      Kedua   :  Sanadnya tidak bersambung, karena ada rawi yang digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.
          
Pertama, cacat pada keadilan dan ke dlabitan rawi ada 10 macam : 
1.      Dusta, hadits dhaif yang karena rawinya dusta, disebut Hadits maudlu’
2.      Tertuduh dusta, hadits dhaif yang rawinya tertuduh dusta disebut hadits matruk.
3.      Fasik, yaitu pelaku dosa besar, atau melakukan dosa kecil dengan terang-terangan dan sering.
4.      Banyak salah, yaitu dalam meriwayatkan haditsnya.
5.      Lengah dalam hafalan, hadits dhaif yang karena rawinya fasik, banyak salah dan lengah disebut hadits munkar.
6.      Banyak purbasangka (waham), hadits dhaif yang karena rawinya waham disebut hadits mu’allal.
7.      Menyalahi riwayat orang kepercayaan;
-         Dengan penambahan suatu sisipan, disebut hadits mudraj.
-         Dengan memutarbalikkan, disebut hadits maqlub.
-         Dengan menukar-nukar rawi, disebut hadits mudltharib.
-         Dengan perubahan syakal huruf, disebut hadits muharraf.
-         Dengan perubahan titik-titik kata, disebut hadits mushahhaf.
8.      Tidak diketahui identitasnya (jahalah), disebut hadits mubham.
9.      Penganut bid’ah (sekte sempalan), hadits dhaif yang rawinya penganut bid’ah disebut hadits mardud.
10.  Tidak baik hafalannya, disebut hadits syadz dan mukhtalith.

Kedua   :  Cacat karena sanadnya ada yang gugur :
1.      Yang digugurkan sanad pertama, disebut hadits mu’allaq.
2.      Yang digugurkan sanad terakhir (sahabat), disebut hadits mursal.
3.      Yang digugurkan dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut hadits mu’dlal.
4.      Yang digugurkan tidak berturut-turut, disebut hadits munqathi.

b.      Dari jurusan matan, dibagi dua :
1.      Hadits mauquf, yaitu hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan sahabat tidak sampai kepada Nabi, misalnya “Berkata Umar …..”
2.      Hadits maqthu’, yaitu hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan tabi’in, misalnya, “Berkata Said Ibn Musayyab ….. “


Pembagian hadits berdarkan banyaknya jalur periwayatan (sanad)
a.       Hadits Mutawatir
b.      Hadsis Masyhur
c.       Hadits Ahad
-   hadits azis
-   hadits gharib

Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin bahwa mereka itu telah sepakat untuk berdusta. Syarat hadits mutawatir :
1.      Hadits yang diriwayatkan berdasarkan pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil pemikiran, rangkuman atau dugaan.
2.      Jumlah rawi-rawinya harus mencapai bilangan yang mampu mencapai ilmu’dl-dlarury (meyakinkan).
3.      Ada keseimbangan antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya ada hadits yang diriwayatkan oleh 10 orang sahabat kemudian diriwayatkan oleh 5 orang tabiin dan seterusnya diriwayatkan oleh 3 orang tabi’it-tabi’in maka hadits tersebut tidak termasuk hadits mutawatir, karena jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara lapisan pertama dengan lapisan kedua dan ketiga.
Kitab yang menghimpun segala hadits mutawatir yang terkenal adalah kitab Al-Azharu’l Mutanatsirah fi’l Akhbari Mutawatirah, karya Imam As Suyuthi (911 H).

Hadits mutawatir memberi faedah ilmu-dlarury, yakni meyakinkan dan harus menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir karena membawa kepada keyakinan yang qoth’i (pasti). Rawi-rawi hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedlabithannya.

Hadits Masyhur adalah hadits yang terdiri lapisan perawi yang pertama atau lapisan kedua, dari orang seorang, atau beberapa orang saja. Sesudah itu barulah tersebar luas, dinukilkan oleh segolongan orang yang tak dapat disangka bahwa mereka sepakat untuk berdusta. Jumhur ulama hadits mensyaratkan minimal 3 orang perawi.

Ulama-ulama mazhab hanafi men-takhsis-kan (meng khusus kan) ayat Al-Qur’an yang umum dengan hadits masyhur ini dan menambah hukum-hukum yang belum terdapat dalam Al-Qur’an. Hadits ahad yang belum mencapai derajad hadits masyhur tidak dapat digunakan untuk fungsi ini.

Imam Malik menjadikan hadits ahad pen takh sis Al-Qur’an dengan syarat jika dikuatkan oleh amal penduduk Madinah atau oleh Qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin Hanbal menggunakan hadits ahad untuk mentakhsis ayat Al-Qur’an.

Hadits Ahad adalah segala hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat sebab-sebab yang menjadikannya masyhur.

Hadits Azis adalah hadits yang rentetan perawinya terdiri dari dua-dua orang atau pada suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang saja.

Hadits Garib adalah hadits yang dalam sanadnya ada seorang rawi yang menyendiri, di lapisan mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Berkata Imam Ahmad Bin Hanbal : “Jangan kamu mencatat hadits hadits gharib, lantaran hadits-hadits gharib itu mungkar-mungkar dan pada umumnya berasal dari orang-orang lemah”.


Pembagian Hadits yang bersambung sanadnya :
a.    Hadits Musnad, yaitu tiap-tiap hadits marfu’ yang sanadnya bersambung
b.      Hadits Muttashil/Maushul, yaitu hadits yang bersambung sanadnya, ada yang marfu’, mauquf atau maqthu’

5.2.      Berhujah dengan hadits / Mengamalkan Hadits

A.     Hadits Mutawatir
Mutlak harus diterima bulat-bulat, karena memberikan keyakinan secara ilmul-dlarury.

B.     Hadits Masyhur 
Mutlak dapat dipakai hujjah atau diamalkan, dapat dijadikan pen-takhsish (meng khususkan) ayat Al-Qur’an yang umum (‘Am)

C.     Hadits Ahad
Apabila sahih mempunyai sifat dapat diterima yang tinngi,  apabila hasan mempunyai sifat dapat diterima yang menengah / rendah, dapat diamalkan dalam urusan-urusan amal bukan dalam urusan i’tiqad.
Imam Abu Hanifah menolak hadits ahad untuk men takhsis dan menasakh ayat Al-Qur’an.
Imam Malik menjadikan hadits ahad untuk men takhsish dan menasakh Al-Qur’an jika dikuatkan oleh amalan penduduk Madinah atau oleh qiyas.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hanbal menjadikan semua hadits ahad untuk men takhsish Al-Qur’an.

D.     Hadits Dha’if
Dalam hal berhujah dengan / mengamalkan hadits dha’if, terbagi dalam 3 pendapat :
a.       Melarang secara mutlak , itu pendapat Imam Bukhary dan Abu Bakar Ibnu Araby.
b.      Membolehkan, yaitu bila dha’ifnya tidak terlalu dan khusus untuk menerangkan fadlilah amal, yang isinya mendorong berbuat baik, mencegah perbuatan buruk, cerita-cerita dan perkara-perkara mubah. Bukan untuk menetapkan masalah hukum-hukum syariat seperti halal-haram, akidah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad Bin Hanbal, Abdurrahman Bin Mahdy, Abdullah Ibn Mubarak, mereka berkata :
“Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami permudah sanadnya dan kami perlunak rawi-rawinya”

Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany membolehkan berhujah dengan hadits dha’if untuk keutamaan amal, dengan memberikan 3 syarat :
1.      Hadits Dha’if yang tidak terlalu. Dha’if yang karena rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah tidak dapat dijadikan hujjah.
2.      Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits tersebut masih selaras dengan dasar yang dibenarkan oleh hadits yang lebih sahih.
3.      Dalam mengamalkannya tidak meng ‘itiqadkan bahwa hadits tersebut benar benar dari Nabi, tetapi tujuannya mengamalkan hanya semata-mata untuk ikhtiyat (hati-hati).

E.      Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur perawi pada tingkatan sahabat. Jadi perawi tabi’in tidak menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits kepadanya.

Bila perawi yang gugur (tidak disebutkan) sebelum sahabat , baik tabi’in atau selainnya, bila satu orang yang gugur dinamakan hadits munqathi’, bila dua orang yang gugur disebut hadits mu’dlal.

Berhujah dengan hadits Mursal, terdapat perbedaan pendapat, sebagian menolak dan menganggapnya sebagai hadits dha’if, sebagian menerima dan menganggapnya sebagai hadits musnad, tetapi jumhur ulama hadits menerima hadits mursal tapi dengan syarat;

Imam Abu Hanifah menerima hadits mursal, bila yang meng irsal kan itu sahabat atau tabi’in. Irsal yang sesudah tabi’it-tabi’in ditolak.

Imam Malik menerima segala hadits mursal dari orang yang kepercayaan (tsiqoh).
Imam Syafi’ii hanya menerima hadits mursal dari periwayatan Said Bin Musayyab dan Hasan Al Basri.
Imam Ahmad Bin Hanbal lebih mengutamakan fatwa sahabat dari pada menerima hadits mursal.

5.3.   Bagan Jenis / Derajad Hadits


                                        Bagan

                            Jenis / Derajad Hadits



  I. Mutawatir                II. Masyhur                               III. Ahad
Ada yang Maqbul ada yang Mardud



                                                        Maqbul                                                                              Mardud             



                           1. Sahih                     2. Hasan   3. Dhaif *)         5. Masyhur          3. Dhaif       4. Maudlu      
                                                                                                        6. Azis
                a. sahih    b. sahih          a. hasan    b. hasan                    7. Gharib
                    lidzatih    lighairihih      lidzatih    lighairihih             8. Muttabi’
                                                                                                         9. Syahid
                                                                                                       10. Marfu’
                                                                                                       11. Musnad
                                                                                                       12. Maushul/Muttashil
    a. Mutawatir    b. Mutawatir    c. Mutawatir                              13. Mauquf
        Lafdhy            ‘amali               ma’nawy                                14. Mahfudh
15. Syadz
16. Ma’ruf
17.Munkar
18. Muhkam
19. Mutasyabih
*)   Dengan catatan :
-         Dhoif yang tidak terlalu
-         Bukan masalah hukum
-         Bukan masalah akidah / halal-haram
-         Menerangkan Fadhilah amal
-         Janji surga dan ancaman siksa neraka
-         Cerita cerita atau masalah yang mubah
20. Mukhtalif
21. Nasikh
22. Mansukh
23. Rajih
24. Marjuh
25. Maqthu
26. Mursal
27. Munqathi
28.Mu’dlal/Musykil
29. Mu’allaq
30.Mudallas
31. Mu’allal
32. Mudltharab
33. Matruk
34. Mudraj
35. Maqlub
36. Musalsal
37. Mu’an’an
38. Mushahaf
39. Muannan
40. Mudabbaj   44. Nazil.
41. Sabiq          45. Mubham
42. Lahiq          46.  Muharraf    
43. ‘Ali             47. Qudsy  

5.4.      Pertentangan Hadits


A.     Pertentangan Hadits dengan Al-Qur’an
Sebagian ulama menolak hadits yang bertentangan dengan Al-Qur’an :
   - Ada sebuah atsar menyebutkan : “Abu Bakar Shiddiq ra. mengumpulkan para sahabat dan menyuruh mereka menolak hadits yang berlawanan dengan Al-Qur’an”.
-   Umar Bin Khattab ra. pernah menolak hadits riwayat Fatimah Binty Qeys yang menerangkan, bahwa istri yang ditalaq habis, tidak berhak diberikan nafkah dan tempat lagi, karena bertentangan dengan ayat Ath Thalaq dalam Al-Qur’an, dan Umar ra berkata : “tidaklah saya mau meninggalkan kitabullah lantaran perkataan seorang wanita yang boleh jadi benar boleh jadi salah”.
-   Diriwayatkan oleh Imam Bukhory, Muslim, Turmudzy dan An Nasay dari Masruq, ujarnya : “Aku berkata kepada ‘Aisyah Ummul Mukminin, apakah Muhammad ada melihat tuhannya ? ‘Aisyah menjawab : ‘Bangun bulu romaku mendengar perkataanmu, dimana engkau dari tiga perkara, barang siapa menceritakan yang tiga itu pasti berdusta :
a.       Barang siapa menceritakan bahwa Muhammad melihat tuhannya, adalah dusta, karena firman Allah :
“Tiada dapat dilihat Dia oleh segala pandangan dan Dia melihat segala pandangan, dan Dia itu Maha lembut lagi Maha mengetahui” (QS Al An’am : 103).
b.      Barang siapa menceritakan, bahwa dia mengetahui apa yang terjadi esok hari, berdusta, Allah berfirman :
“Tak ada yang seorangpun dapat mengetahui apa yang ia kerjakan esok hari” (QS Lukman : 31).
c.       Barang siapa menceritakan, bahwa Muhammad ada menyembunyikan sesuatu wahyu, maka ia berdusta, karena Allah berfirman :
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan pada engkau dari Tuhan engkau, Jika engkau tidak menyampaikan berarti engkan tidak menyampaikan risalah Allah, dan Allah memelihara engkau dari manusia bahwasanya Allah tidak menunjuki kaum yang kafir “ (QS Al Maidah : 67).

B.     Pertentangan antar hadits.
Ulama yang pertama kali membahas tentang hadits yang saling bertentangan adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya “mukhtaliful hadits”. Apabila kita mendapati dua buah hadits makbul yang saling bertentangan (menurut lahirnya), maka :
  1. Diusahakan untuk mengumpulkannya (mengkompromikan).
  2. Kalau usaha ini gagal, hendaklah dicari mana diantara hadits yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Hadits yang datang lebih dahulu hendaklah dinasakh, disebut hadits mansukh dan yang menasakhnya disebut hadits nasikh.
Untuk mengetahui mana hadits yang nasikh dan mana hadits mansukh nya, dapat diketahui dari beberapa jalan, antara lain :
a.       Penjelasan dari syar’i sendiri, contoh :
“Konon aku pernah melarangmu menziarahi kubur. Kemudian ziarahlah. Dan konon aku pernah melarangmakandaging binatang kurban selama lebih tiga hari, kemudian makanlah sesukamu” (HR Muslim).
b.      Penjelasan dari Sahabat
Jabir berkata : “yang terakhir dari dua kejadian yang berasal dari Rasulullah saw ialah meninggalkan wudlu’ bekas tersentuh api”.
c.       Diketahui tarikh keluarnya hadits :
Hadits riwayat Syaddad :
“Batallah puasa orang yang membekam dan orang yang dibekam” (HR Abu Dawud).

Menurut Imam Syafi’ii telah di nasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas ra :
“Bahwa Rasulullah saw sedang berbekam, padahal beliau sedang ihram dan berpuasa”.(HR Muslim).
Disebabkan hadits Syaddad tersebut disabdakan oleh Nabi pada tahun 8 H, yakni saat-saat dikuasainya kembali kota Mekkah, sedang hadits Ibnu ‘Abbas disabdakan pada tahun 10 H, yakni pada haji Wada’.

Imam Syarajuddin Al-bulqiny menyusun ilmu cabang dari ilmu hadits mengenai awal atau akhirnya dikeluarkan suatu matan hadits dalam kitab yang diberi nama “Mahasinu’l-ishthilah”.

  1. Kalau usaha mencari nasikhnya tidak pula berhasil, beralih kepada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad maupun matannya, untuk ditarjihkan. Hadits yang kuat disebut hadits rajih, sedang yang ditarjihkan disebut hadits marjuh.
Contoh : hadits riwayat Ibnu Abbas ra :
“Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al Harits pada waktu beliau ihram”.

Hadits tersebut ditarjihkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Rafi’ yang mengabarkan :
“Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al-Haris pada waktu beliau tahallul”.

Hadits ‘Abi Rafi’ lebih rajih daripada hadits Ibnu ‘Abbas karena Abi Rafi’ sendiri bersama-sama pergi dengan Rasulullah saw dan Maimunah disaat itu dan kebanyakan sahabat meriwayatkan seperti hadits Abi Rafi’.

Mentarjihkan hadits itu, dapat ditinjau dari beberapa jurusan :
1.      Jurusan sanad, misalnya :
a.    Hadits yang rawinya banyak, merajikan hadits yang rawinya sedikit.
b.      Hadits yang diriwayatkan oleh rawi besar merajihkan hadits yang diriwayatkan oleh rawi kecil.
c.    Hadits yang rawinnya tsiqah merajikan hadits yang rawinya kurang tsiqah.
2.      Jurusan matan, misalnya :
a.    Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan hadits yang mempunyai arti majazi.
b.      Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi merajikan hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari satu segi.
3.      Jurusan hasil penunjukan (madlul), misalnya :
Madlul yang positip merajihkan yang negatip.
4.      Jurusan dari luar, misalnya :
Dalil yang qauliah (berdasarkan perkataan), merajikan dalil yang fi’liyah (berdasarkan perbuatan).

  1. Kalau usaha inipun gagal, kedua hadits tersebut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya. Hadits yang di tawaqquf kan ini disebut hadits mutawaqqaf-fihi . Hadits yang dibekukan ini menurut sebagian ulama dapat diamalkan salah satu, dan ada pula yang berpendapat bisa diamalkan berganti-ganti dalam waktu yang berbeda.

Hadits yang mengandung pertentangan disebut hadits mukhtalif.





5.5.      Hadits Maudlu’ (palsu)

Hadits maudlu’ adalah hadits yang diciptakan serta dibuat oleh seseorang (pendusta) yang diciptakan itu disandarkan kepada Rasulullah saw secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.

Seorang rawi yang diketahui pernah berdusta dengan menyandarkan riwayatnya kepada Rasulullah saw walaupun sekali dalam seumur hidup, riwayatnya tidak dapat diterima, walaupun telah ber taubat sekalipun.

Ciri Ciri Hadits Palsu :
1.      Dari pengakuannya sendiri, seperti pengakuan seorang guru tashawuf yang berkata : “tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi kami melihat manusia sama meninggalkan Al-Qur’an, maka kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an”.
2.      Petunjuk yang memperkuat adanya kedustaan, misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau menerima dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia dilahrikan.
3.      Petunjuk dari tingkah lakunya, seperti yang pernah dilakukan oleh Ghiyat bin Ibrahim dikala berkunjung ke istana Khalifah Al-Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati, katanya :
“Tidak syah perlombaan selain : mengadu anak panah, mengadu kuda atau mengadu burung”.
Perkataan au janahin (atau mengadu burung) adalah perkataan Ghiyats sendiri, yang spontan ia tambahkan di akhir hadits yang ia ucapkan, dengan maksud  membesarkan hati Khalifah yang sedang mengadu burung merpati.
4.      Dari segi matan, maknanya  bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits mutawatir, Ijma’ dan logika sehat
5.      Menukil kata mutiara (adagium) orang orang yang dipandang alim yang kemudian disandarkan itu adalah berasal dari Rasulullah saw. 

Motif-Motif yang Mendorong Membuat Hadits Palsu :
1.      Untuk memperkuat partainya, Syiah Rafidah dikenal paling banyak membuat hadits palsu.
2.      Untuk merusak / mengeruhkan agama Islam, seperti Hasan Bin Saba’ dan orang Persia-Majusi yang benci dan dengki terhadap hegemony Arab-Islam, tokoh-tokoh zindiq yang ber akidah sesat.
3.      Untuk nasihat dan menarik minat hati manusia, contohnya hadits yang berlebihan dalam menerangkan pahala amal.
4.      Fanatik kesukuan, kultus imam, individu, dsb
5.      Mempertahankan mazhab fikih ikhtilaf.
6.      Mencari muka dihadapan penguasa, contohnya hadits Ghiyats diatas.
7.      Kejahilan dalam ilmu agama disertai kemauan keras untuk berbuat kebaikan.


VI.      Kutubus Sittah (enam kitab induk) dan pengarangnya


Disebut kitab induk karena inilah kitab-kitab hadits yang oleh jumhur ulama dinilai paling tinggi mutunya diantara semua kitab hadits yang ada, disusun urut mulai yang paling tinggi mutunya terus kebawah :

1.      Sahih Bukhary (Al Jami’ush Sahih Al Musnadu Min Haditsi Rasul saw).
Penulisnya adalah Imam Bukhary (194 H – 252 H / 810 M – 870 M), kelahiran Bukhara di Uzbekistan, kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Sejak umur 10 tahun sudah tertarik mendalami hadits, berkelana hampir ke seluruh kota kota besar Wilayah Daulah Islam untuk mencari hadits. Mempunyai hafalan yang luar biasa, beliau hafal sampai ratusan ribu hadits beserta semua rawi-rawinya.
Kitab Sahih Bukhory disusun dalam waktu 16 tahun, terdiri dari 2.602 yang tanpa diulang-ulang. Setiap menuliskan hadits dalam kitab sahihnya, beliau melakukan sholat sunnah 2 rokaat.

Kitab Syarah (penjelasan secara panjang lebar) Sahih Bukhory yang terbaik adalah Fathul Bary karya Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.

Jumhur ulama sepakat  menilai kitab Sahih Bukhory ini paling tinggi tingkat ke sahihan dan mutunya.

2.      Sahih Muslim
Penulisnya adalah Imam Abul Husain Muslim Bin Hajaj Al Qusyairy (204 H-261 H / 820 M-875M), murid imam Bukhary. Sama seperti gurunya beliau berkelana hampir ke seluruh kota kota besar dalam mencari hadits. Walaupun tingkat kesahihan dan mutu haditsnya masih dibawah Sahih Bukhary, tetapi sistematika penulisannya lebih baik bila dibandingkan dengan kitab Sahih Bukhary, karena lebih mudah mencari hadits didalamnya. Kitab Sahih Muslim berisi sekitar 4.000 hadits yang tidak diulang-ulang.

Kitab syarah nya yang terbaik adalah Minhajul Muhadditsin, karya Imam Nawawi.

3.      Sunan An Nasay (Al Mujtaba Minas Sunan / Sunan-sunan pilihan)
Penulisnya adalah Imam Abu ‘Abdir Rahman Ahmad Bin Syu’aib bin Bahr (215 H-303 H / 839 M-915 M). Mulanya kitab sunan ini diserahkan kepada seorang Amir di Ramlah, Amir itu bertanya , “Apakah isi sunan ini sahih seluruhnya ?”, Imam An Nasay menjawab : “Isinya ada yang sahih, ada yang hasan, ada yang hampir serupa dengan keduanya.” Kemudian sang Amier berkata lagi “Pisahkanlah yang sahih saja”. Sesudah itu An Nasay pun menyaring sunannya dan menyalin yang sahih saja dalam sebuah kitab yang dinamai Al Mujtaba (pilihan).

4.      Sunan Abu Dawud
Penulisnya adalah Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats Bin Ishaq As-Sijistany (202 H-275 H / 817 M- 889 M). Beliau mengaku mendengar hadits sampai 500.000 buah, kemudian beliau seleksi dan ditulis dalam kitab sunan nya sebanyak 4.800 buah dan beliau berkata : “Saya tidak meletakkan sebuah hadits yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya dengan sahih, semi sahih, mendekati sahih, dan jikadalam kitab saya tersebut terdapat hadits yang sangat lemah maka saya jelaskan. Adapun yang tidak saya beri penjelasan sedikitpun, maka hadits tersebut bernilai sahih dan sebagian dari hadits yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang lain.”

5.      Sunan At Turmudzy
Penulisnya adalah Imam Abu ‘Isa Muhammad Bin Isa Bin Surah (200 H-279 H / 824 M- 892 M), termasuk murid Imam Bukhary. Beliau berkata : “Aku tidak memasukkan ke dalam kitab ini terkecuali hadits yang sekurang-kurangnya telah diamalkan oleh sebagian fukaha”. Beliau menulis hadits dengan menerangkan yang sahih dan yang tercacat serta sebab-sebabnya sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana yang diamalkan dan mana-mana yang ditinggalkan. Kitab Sunan Turmudzy isinya jarang yang berulang-ulang.

6.      Sunan Ibnu Majah
Penulisnya adalah Imam Abdu Abdillah Bin Yazid Ibnu Majah (207 H- 273H / 824 M- 887 M), berasal dari kota Qazwin di Iran. Dalam kitab sunan Ibnu Majah ini terdapat beberapa hadits dhaif, gharib dan ada yang munkar. Al Hafidz Al-Muzy menilai kitab Al Muwaththa karya Imam Malik lebih tinggi mutunya dari Sunan Ibnu Majah, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa kitab induk yang ke enam adalah Sunan Ad Darimy, Ahmad Muhammad Syakir berpendapat Al Muntaqa karya Ibnu Jarud lebih pantas menjadi yang ke enam.

Kitab-Kitab Hadits yang lain yang penting :
-         Sunan Ad Darimy
-         Al Muntaqa karya Ibnu Jarud
-         Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal, aslinya bernilai tinggi, tetapi setelah Imam Ahmad wafat, anaknya Abdullah dan muridnya Abu Bakr Al Qathi’y menambahkan beberapa hadits lagi, hingga didalamnya tersisip banyak hadits dhaif dan ada empat buah hadits maudlu’.
-         Al Muwaththa, karya Imam Malik. Mengandung hadits mursal dan munqathy yang dipandang sahih untuk diamalkan oleh Imam Malik.
-         Sahih Ibnu Khuzaimah, mengumpulkan hadits sahih yang tidak dimuat dalam sahih Bukhary dan Sahih Muslim.
-         Mustadrak Imam Hakim
-         Dan masih ada beberapa kitab-kitab hadis yang lainnya.


VII.        Ilmu-Ilmu Cabang Dari Ilmu Hadits 


Ilmu-ilmu pendukung lainnya yang merupakan cabang dari ilmu hadits yang perlu dipelajari juga untuk memahami hadits adalah :         

1.      Ilmu Rijalil Hadits
Ilmu untuk mengetahui sejarah dan hal-ihwal sahabat, tabiin dan tabi’it tabi’in.
2.      Ilmu Tawarikhir Ruwah
Ilmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggap kapan mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per haditsan.
Kitab Tawarikhir Ruwah yang terkenal “At-Tarikhu’l-Kabir” karya Imam Bukhary dan “Tarikh Baghdad” karya Imam Al Khatib Baghdady.
3.      Ilmu Thabaqotur Ruwah
Ilmu yang pembahasannya diarahkan kepada kelompok orang-orang (rawi) yang berserikat dalam suatu alat pengikat yang sama.
Kitab bidang  ilmu ini yang terkenal diantaranya “Thabaqatur Ruwah” karya Al Hafidz Abu ‘Amr Khalifah Bin Khayyath Asy Syaibany.
4.      Ilmu Jarh wa Ta’dil
Ilmu yang membahas hal-ihwal (keadilan, ke-tsiqoh-an) para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya “Al Jarhu wat Ta’dil” karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy.
5.      Ilmu Gharibil Hadits
Ilmu untuk mengetahui lafadh-lafadh dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipahami, karena jarang sekali digunakan.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Al-Faiqu fi Gharibi’l Hadits” karya Imam Zamakhsyary.
6.      Ilmu Asbabul Wurudi’l Hadits
Ilmu yang menerangkan sebab sebab dan latar belakang lahirnya hadits.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Al Bayan wat Ta’rif fi asbabi Wurudil Haditsisy-Syarif” karya Ibnu Hamzah Al Husainy.
7.      Ilmu Tawarikhu’l Mutun
Ilmu yang menitik beratkan kapan dan dimana atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau peebuatan itu dilakukan Rasulullah saw.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Mahasinu’l Ishthilah” karya Imam Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amar Bin Salar Al-Bulqiny.
8.      Ilmu Nasikh Mansukh Hadits
Ilmu yang membahas hadits yang menghapus (nasikh) hadits lain yang dihapus (mansukh)
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Nasikhu’l Hadits Wa Mansukhuhu” karya Al Hafidz Abu bakar Ahmad Bin Muhammad Al Atsram.
9.      Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu yang membahas hadits hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, untuk dikompromikan, sebagaimana halnya membahas hadits hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya “Musykilu’l Hadits wa Bayanuhu” karya Abu Bakr Muhammad Bin Al Hasan (Ibnu Furak) Al Anshary Al Asbihany.
10.  Ilmu ‘Ilalil Hadits.
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang samar lagi tersembunyi dari segi membuat kecacatan suatu hadits. Seperti me-muttashil-kan (menganggap bersambung) sanad hadits yang sebenarnya sanad itu munqathy (terputus), merafa’kan (mengangkat sampai kepada nabi) berita yang mauquf (yang berakhir kepada sahabat). Menyisipkan suatu hadits pada hadits yang lain, meruwetkan sanad dengan matannya dan sebagainya.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya “’Ilalu’l Hadits” karya Imam Ahmad Bin Hanbal dan “AL-‘Ilal Waridah fi’l Ahaditsin Nabawiyah  karya Al Hafidz Ali Bin Umar Ad Daraquthny.   
  

J J J

Reference :
1.      Ikhtishar Mushthalahul Hadits, author : Drs. Fatchur Rahman, published by : PT. Alma’arif Bandung.
2.      Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, author : Teungku Moh. Hasbi Ash Shiddieqy, published by : PT. Pustaka Rizki Putra  Semarang.


25 Comments »

  1. assalamu’alaikum wrwb
    af1, ana boleh copy paste artikelnya? utk ref blog ana. Insya Alloh. sukron
    wassalamu’alaikum wrwb
      ummu baihaqi — 28 April 2009 @ 14:52
  2. assalammu’alaikum wr.wb.
    terima kasih artikelnya mudah2an an jadi bertambah pengetahuannya tentang agama dari antum….
    wassalam
      Taufik — 24 Oktober 2009 @ 20:35
  3. asslam,,,,,,, thanks ya artikelnya,,,,, af1 ana copy bt referensi tugas kul,,,,, n semoga artikel in jg bermanfaat bt orang lain,,,,,,,,, wassalam,,,,,,,,
      isti fharina — 20 Nopember 2009 @ 11:19
  4. assalamualaikum wr wb…
    Mhn izin copas yah…
      eRwin wInata el shiRazy — 6 Maret 2010 @ 00:52
  5. Minta izin copy paste untuk dibaca dan disebarkan , wassalam
      Abu Farah — 5 Juni 2010 @ 19:42
  6. mohon izin copas semua artikel di blog ini untuk disebarkan
      abu — 8 Oktober 2010 @ 17:58
  7. I. Pengertian Hadits
    Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmah nya
    Taqrir adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.
    Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
    “Dikala Rosulullah saw berpuasa pada hari ‘Asura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan Abu Dawud)
    tetapi Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau telah wafat.
    Menurut Imam Syafi’i bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.
    Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.
    Atsar adalah segala sesuatu yang lebih umum dari hadits dan khabar, yaitu termasuk perkataan tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para ulama salaf.
    Biasanya perkataan yang disandarkan atau berasal dari selain Nabi disebut atsar.
    Sunnah adalah Jalan hidup atau kebiasaan yang ditempuh dalam berbuat dan ber’itiqad (berkeyakinan). Dikatakan sunnah Nabi jika itu disyariatkan, ditempuh dan diridloi oleh Nabi.
    Hadits Qudsi adalah hadits yang mengandung kalimat langsung perkataan Allah, cirinya dimulai dengan “Allah berkata…”
    Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an :
    a. Semua lafad ayat-ayat Al-Qur’an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang Hadits Qudsi tidak.
    b. Perlakuan terhadap Al-Qur’an -dilarang menyentuhnya bagi yang berhadas kecil, dilarang membacanya bagi yang ber hadas besar- tidak berlaku bagi Hadits Qudsi.
    c. Membaca Al-Qur’an setiap hurufnya mendatangkan pahala, sedang membaca Hadits Qudsi tidak.
    d. Al-Qur’an semua susunan kata-katanya redaksinya berasal dari Allah, sedangkan Hadits Qudsi redaksi kata-katanya terserah Rasulullah.
    II. Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam
    Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur’an dan yang kedua adalah Hadits.
    Sebab-sebab Al-Qur’an lebih tinggi derajadnya dari hadits :
    1. Al-Qur’an kita terima dari Nabi dengan jalan Qoth’i (pasti) karena didengar dan dihafal oleh sejumlah sahabat dan ditulis oleh para penulis wahyu. Sedangkan hadits tidak semuanya dihafal atau dituliskan dan tranmisinya berupa dzan (dugaan kuat).
    2. Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf dan mentranmisikan materinya kepada umat dalam keadaan aslinya (redaksinya) sehuruf pun tidak berubah, tidak bertambah dan tidak berkurang dan mushaf itupun terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa. Sedangkan materi hadits dapat diriwayatkan dengan maknanya saja.
    3. Semua ayat Al-Qur’an Mutawatir. Sedangkan hadits kebanyakan tidak mutawatir.
    4. Al-Qur’an merupakan pokok yang memuat prinsip dasar dan hadits adalah penjelas dari yang pokok atau hadits adalah cabang dari yang pokok. Bila hadits yang cabang mendatangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang pokok maka ditolak.
    5. Ijma Sahabat, yaitu Khalifah Abu Bakar, Umar bila akan memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada keputusan hukumnya pada masa Rasulullah maka mereka merujuk ke Al-Qur’an, bila tidak ditemukan di Al-Qur’an maka Khalifah mengumpulkan sahabat-sahabat besar untuk ditanyakan apakah ada yang pernah mendengar Hadits Rosulullah, mengenai masalah tersebut, bila ada yang menyebutkan haditsnya maka Khalifah memutuskan hukum berdasarkan hadits tersebut. Metode tersebut juga dilakukan oleh Usman dan Ali dan tidak ada yang menyelisihi mengenai hal ini.
    6. Dalam hadits sendiri menunjukkan bahwa Al-Qur’an lebih tinggi kedudukannya, yaitu hadits Muadz Bin Jabal ra yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, yang menjelaskan urut urutan sumber hukum islam yaitu : Al-Qur’an, Hadits dan “ajtahidu ro’yii” – ijtihad dengan akal
    Sumber hukum Islam yang ketiga adalah Ijma (konsensus) ulil-amri (pemegang urusan yaitu umaro dan ulama) kemudian yang keempat adalah dalil akal.
    Dalil akal ini ada sekitar 40 tools yang dibahas secara terperinci dalam ilmu ushul fikih, yang terkenal adalah :
    1. Qiyas (analogi)
    2. Ihtisan (keluar dari qiyas umum karena ada sebab yang lebih kuat)
    3. Maslahah Mursalah (keluar dari qiyas umum dengan pertimbangan kemaslahatan)
    4. Saddudz Dzari’ah (menutup jalan yang menuju kemudhorotan)
    5. Ar Raju’u ilal manfa’ati wal madharrati (mempertimbangkan kemanfaatan dan kemudhorotan)
    6. Istishab (hukum yang diyakini menetap sebelumnya tidak dapat dirubah oleh yang masih meragukan)
    7. Urf (kebiasaan yang berlaku pada suatu kaum dapat menjadi hukum).
    dan lain lain sampai sekitar 40 macam.
    Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an :
    1. Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
    2. Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
    3. Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
    4. Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
    5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
    6. Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.
    Untuk memahami dengan baik tentang hal ini diperlukan penguasaan ilmu-ilmu Al-Qur’an (ulumul Qur’an) dan menguasai nahwu-sharaf bahasa Arab serta menguasai kaidah-kaidah yang mengatur kapan suatu hadits dapat mentakhsish atau me nasakh Al-Qur’an. Kemampuan ini harus dimiliki oleh seorang mujtahid.
    III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits
    A. Periode Pertama (Jaman Rosul)
    - Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi.
    - Para sahabat lebih concern dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an
    - Secara umum Rasulullah saw melarang menuliskan hadits karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Qur’an karena wahyu sedang / masih diturunkan.
    - Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan hadits, mereka meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan secara lisan.
    - Sebagian kecil sahabat –yang pandai baca tulis- menuliskan hadits seperti : Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai catatan hadits dan dikenal sebagai “Shahifah Ash Shadiqah” juga Jabir Bin Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai “Shahifah Jabir”
    - Pada event tertentu orang arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi meluluskan permintaannya untuk menuliskan hadits untuknya.
    - Para sahabat masih disibukkan dengan peperangan penaklukan kabilah-kabilah di seluruh jazirah Arab.
    - Para sahabat yang belum paham tentang suatu hukum bisa saling bertanya kepada yang lebih tahu dan saling mempercayai penuturannya.
    B. Periode Kedua (Masa Khulafaur Rasyidin)
    - Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia.
    - Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar mengajarkan Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka.
    - Khalifah Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan hadits kepadanya.
    - Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits
    - Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang memperbanyak periwayatan hadits.
    - Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar ke Ibukota daerah taklukkan untuk mengajarkan agama.
    C. Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
    - Para sahabat besar telah terpencar kelur dari Madinah.
    - Jabir pergi ke Syam menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary.
    - Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadits.
    - Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan hadits antara lain :
    a. Abu Hurairah (5347 hadits)
    b. Abdullah Bin Umar (2360 hadits)
    c. Anas Bin Malik (2236 hadits)
    d. Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadits)
    e. Abdullah Bin Abbas (1660 hadits)
    f. Jabir Bin Abdullah (1540 hadits)
    g. Abu Sa’id Al Kudri (1170 hadits)
    h. Ibnu Mas’ud
    i. Abdullah Bin Amr Bin Ash
    - Pada waktu pemerintahan Khalifah Ali, terjadi pemberontakan oleh Muawiyah Bin Abu Sofyan, setelah peristiwa tahkim (arbitrase) muncul kelompok (sekte) kawarij yang memusuhi Ali dan Muawiyah. Setelah terbunuhnya Khalifah Ali, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan mendukung masing-masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadits palsu adalah Syiah Rafidah.
    D. Periode Ke-empat (Masa Pembukuan Hadits)
    - Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
    a. Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
    b. Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak beredar.
    c. Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
    d. Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan-peperangan tersebut.
    - Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin.
    Khalifah Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada Ibnu Hazm :
    “Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”
    - Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry)-seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam- untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.
    - Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
    a. Al-Muwaththa’, karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
    b. Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
    c. Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H)
    d. Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
    e. Al Musnad, karya imam Syafi’i (204 H)
    E. Periode ke-lima (Masa Kodifikasi Hadits)
    1. Periode Penyaringan hadits dari Fatwa-fatwa sahabat (abad ke-III H)
    - Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
    - Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
    - Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan ke sahihan hadits.
    - Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam Bukhary).
    - Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadits.
    - Penyusunan kitab Sahih Bukhory
    - Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu adalah :
    a. Sahih Bukhory
    b. Sahih Muslim
    c. Sunan Abu Dawud
    d. Sunan An Nasay
    e. Sunan At-Turmudzy
    f. Sunan Ibnu Majah
    2. Periode menghafal dan meng isnadkan hadits (abad ke-IV H)
    - Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun pada kitab-kitab hadits.
    - Para ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada kitab-kitab hadits.
    - Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus shittah.
    3. Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
    - Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
    - Menguraikan dengan luas (men syarah) kitab-kitab hadits.
    - Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
    - Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
    - Menciptakan kamus hadits.
    - Mengumpulkan (jami’) hadits-hadits bukhory-Muslim
    - Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
    - Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
    - Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
    - Menyusun kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya.
    F. Periode ke-enam (dari tahun 656 H – sekarang)
    - Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H – sekarang ini.
    - Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
    - Membuat kitab-kitab jami’
    - Menyusun kitab-kitab athraf
    - Menyusun kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnbya kedalam sebuah kitab yang tertentu.
    IV. Pembagian Ilmu Hadits
    Ilmu hadits dibagi menjadi dua : Hadits Riwayah dan Hadits Dirayah (mushthalahul hadits)
    a. Hadits Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan apa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya.
    Yaitu bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau menuliskan dalam kitab hadits. Dalam menyampaikan dan menuliskan hadits, hanya dinukil dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
    Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber ‘illat, apakah sanadnya terputus atau bersambungan. Lebih jauh tidak dibahas hal ihawa dan sifat sifat perawinya.
    Faedah mengetahui ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
    b. Hadits Dirayah adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
    Ilmu hadits dirayah ini disebut juga ilmu Mushthalahul hadits. Kitab yang dianggap paling ‘mapan’ menerangkan ilmu Mushthalahul hadits adalah kitab “Al-Kilafah” karangan Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdady (meninggal tahun 463 H).
    Faedahnya untuk menetapkan ke sahihan suatu hadits dan untuk menetapkan apakah hadits tersebut dapat diterima (maqbul) untuk diamalkan atau ditolak (mardud) untuk ditinggalkan.
    V. Ilmu Mushthalah Hadits
    Dalam memperlajari mushthalah hadits atau dalam menentukan derajad (ke-sahih-an) suatu hadits akan selalu terkait dalam 3 hal pokok yaitu : Rawi, Sanad dan Matan
    Unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah hadits :
    a. Rawi
    Rawi adalah orang yang menyampaikan hadits, contoh dalam hadits :
    Warta dari ummul Mukminin Aisyah ra, ujarnya : “Rasulullah telah bersabda : ‘barang siapa yang mengada-adakan sesuatu yang bukan termasuk urusan (agamaku), maka ia tertolak’.”
    (Hadits Riwayat Bukhary – Muslim)
    dalam hadits diatas Aiysah ra adalah rawi pertama dan Imam Bukhary dan Imam Muslim adalah rawi terakhir. Antara rawi pertama dan rawi terakhir tentunya ada beberapa rawi lagi yang biasanya tidak disebutkan untuk mempersingkat penulisan.
    b. Matan
    Matan adalah materi atau isi dari hadits.
    Dalam meriwayatkan atau mentransmisikan materi (isi) hadits ada dua jalan, yang keduanya tidak dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu :
    1. Dengan lafad yang sama persis dari Rasulullah.
    2. Dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya.
    c. Sanad
    Sanad adalah jalan atau jalur transmisi yang menghubungkan materi hadits (matan) kepada Rasulullah saw.
    Misalnya seperti kata Imam Bukhary :
    “Telah mewartakan kepadaku Muhammad Bin al-Mutsanna, ujarnya : ‘Abdul Wahhab ats-tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, ujarnya : Telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda : ‘Tiga perkara, yang barang siapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman, yakni : 1. Allah dan Rasul-NYA hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. 2. Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan 3. Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke neraka’.”
    Dalam hal ini materi hadits diterima oleh Imam Bukhary dari sanad pertama Muhammad Bin al-Mutsanna, terus bersambung sampai dari sanad terakhir yaitu sahabat Anas ra.
    Dengan demikian Imam Bukhary menjadi sanad pertama bagi kita dan sebagai rawi terakhir pada hadits tersebut diatas.
    Dalam ilmu hadits sanad ini merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya suatu hadits. Andaikata salah satu rawi dalam jalur transmisi (sanad) itu ada yang fasik atau tertuduh dusta maka hadits tersebut menjadi dhaif (lemah).
    5.1. Pembagian Derajad / Jenis Hadits
    Pembagian hadits ahad berdasarkan derajad ke sahihan :
    a. Sahih
    b. Hasan
    c. Dhoif
    A. Hadits Sahih
    Hadits sahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber ‘illat dan tidak janggal (syadz)
    Jadi suatu hadits dapat dikatakan sahih apabila memenuhi lima persyaratan :
    1. Semua rawinya adil.
    2. Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)
    3. Sanadnya bersambung-sambung tidak putus
    4. Tidak ber ‘iilat (cacat tersembunyi)
    5. Tidak janggal (Syadz)
    Keadilan Rawi
    Keadilan seorang rawi menurut Ibnu Sam’any harus memenuhi empat syarat :
    1. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat.
    2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
    3. Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatan penyesalan.
    4. Tidak mengikuti pendapat salah satu sekte yang bertentangan dengan syara’.
    Sebab-sebab yang menggugurkan keadilan seorang rawi :
    1. Diketahui dusta.
    2. Tertuduh dusta.
    3. Fasik.
    4. Tidak dikenal (jahalah)
    5. Penganut sekte bid’ah yang terang terangan dan bersangatan membela paham bid’ahnya.
    Ulama-ulama hadits menerima periwayatan tokoh-tokoh syiah yang dikenal benar dan kepercayaan.
    Perawi yang tidak langsung ditolak periwayatannya :
    a. Orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
    b. Orang yang banyak kesilapan dan menyalahi imam-imam yang kenamaan/kepercayaan.
    c. Orang yang banyak lupa.
    d. Orang yanng rusak akal (pikun) di masa tuanya.
    e. Orang yang tidak baik hafalannya.
    f. Orang yang menerima hadits dari sembarang orang saja, baik dari orang kepercayaan maupun yang tidak kepercayaan.
    Kalau ada pertanyaan : ‘Bagaimana mengetahui keadilan seorang rawi ?’. Jawabannya adalah dengan mempelajari ilmu Jarh wat Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan penilaian adil kepada seorang rawi. Menurut Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib Ilmu Jarh wat Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
    Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari tiga kaidah berikut :
    1. Semua sahabat nabi adalah adil, baik yang terlibat dalam masa pertikain dan peperangan antar sesama kaum muslimin ataupun yang tidak terlibat.
    Sahabat nabi adalah semua orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw masih hidup dan dalam keadaan Islam lagi beriman.
    2. Dengan kepopulerannya dikalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil, seperti Anas Bin Malik, Sufyan Ats Tsaury, Syub’ah bin Al Hajjaj, Asy Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal, dsb.
    3. Dengan pujian dari seseorang yang adil, yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh seorang yang adil, yang semula rawi itu belum dikenal atau belum populer sebagai rawi yang adil.
    Penetapan tentang kecacatan (tidak adil) juga dapat ditentukan dengan kepopulerannya sebagai orang yang mempunyai cacat sifat adilnya atau berdasarkan pentarjihan dari seseorang yang adil.
    Men-ta’dil-kan atau men-tajrih-kan seorang rawi itu ada kalanya tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) dan adakalanya disebutkan sebab-sebabnya (mufassar). Untuk yang tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) diperselisihkan oleh para ulama tentang diterima atau tidaknya, tapi jumhur ulama menetapkan bahwa men-ta’dil-kan tanpa menyebut sebab-sebabnya diterima, karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu mubadzir. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja.
    Tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi masih diperselisihkan apakah minimal dua orang atau cukup satu orang saja.
    Bila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama men-tajrih-kan, maka masih diperselisihkan tapi jumhur ulama berpendapat Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah yang men-ta’dil-kan lebih banyak daripada yang men-jarh-kan. Sebab bagi orang yang men-jarh-kan tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh orang yang men-ta’dil-kan, dan kalau orang yang men-jahr-kan dapat membenarkan orang yang men-ta’dil-kan tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang orang yang men-jahr-kan memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh orang yang men-ta’dil-kan.
    Perlu diperhatikan juga penilaian jahr oleh beberapa Muhaditsin yang terkenal keterlaluan dan berlebihan dalam men tajrih seorang rawi, yaitu Abu Hatim, An Nasa’iy, Yahya Bin Ma’in, Yahya Bin Khaththan dan Ibnu Hibban.
    Kitab-kitab yang membahas jahr dan ta’dil rawi-rawi hadits yang terkenal diantaranya :
    - Ad-Dlu’afa’ karya Imam Bukhary.
    - Lisanu’l Mizan karya Al-hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
    Kesempurnaan ingatan Rawi
    Yang dimaksud sempurna ingatan (dlabith) adalah orang yang kuat ingatannya, artinya ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang sampai mempunyai ingatan (hafalan) yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendaki orang tersebut disebut dlabith’ush-shadri. Kalau berdasarkan buku catatan disebut dlabithu’l kitab.
    Cacat-cacat yang merusakkan ke sahihan hadits :
    a. Terlalu lengah dalam penerimaan hadits.
    b. Banyak salah dalam meriwayatkan hadits.
    c. Menyalahi orang-orang kepercayaan (syadz).
    d. Banyak berperasangka.
    e. Tidak baik hafalannya.
    Sanad bersambung-sambung tidak putus
    Yang dimaksud sanadnya bersambung-sambung tidak putus yaitu sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberikannya.
    Untuk mengetahui apakah sanad hadits itu bersambungan tidak putus atau tidak perlu mempelajari dua macam ilmu yaitu : Ilmu Rijalil Hadits, ilmu Thabaqoh Ruwah dan Ilmu Tawarihi Ruwah.
    Ilmu Rijalil Hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas hal-ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.
    Ilmu Thabaqoh Ruwah adalah ilmu yang membahas pengelompokan sahabat nabi dalam kelompok (thabaqoh) yang tertentu. Thabaqoh pertama : sahabat yang pertama masuk Islam, thabaqoh kedua : sahabat yang masuk Islam sebelum musyawarah orang musyrik Mekkah di Darun Nadwah yang berencana membunuh Nabi Muhammad saw, thabaqoh ketiga : sahabat yang hijrah ke habsy, thabaqoh keempat : sahabat peserta bai’at aqabah pertama, thabaqot kelima : sahabat yang menghadiri bai’at aqobah kedua, thabaqoh keenam : Muhajirin yang menyusul Nabi di Quba sebelum memasuki Madinah, thabaqoh ketujuh : sahabat peserta perang Badar, thabaqot kedelapan : sahabat yang hijrah ke Madinah setelah perang Badar, tahbaqot kesembilan : sahabat yang menghadiri bai’at baitur ridwan, thabaqot kesepuluh : sahabat yang hijrah setelah perjanjian Hudaibiyah sebelum futuh Mekkah, thabaqot kesebelas : sahabat yang masuk Islam setelah futuh Mekkah, thabaqot kedua belas : anak-anak yang melihat Nabi Muhammad saw setelah Futuh Mekkah dan haji wada’.
    Kitab terbaik yang membahas sejarah, hal-ihwal dan thabaqot sahabat adalah kitab “Al-Isabah” karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
    Ilmu Tawarihi Ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para rawi hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadits, mencakup keterangan tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, kapan tanggal mendengar dari gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya, kota dan kampung halamannya, perantauannya, tanggal kunjungannya ke negeri yang berbeda-beda, mendengarnya hadits dari sebagian guru, sebelum dan sesudah ia lanjut usia dan sebagainya yang ada hubungannya dengan masalah per haditsan.
    Kitab-kitab ilmu Tawarihi Ruwah yang tekenal diantaranya :
    - At-Tarikh’ul-Khabir karya Imam Bukhary. Berisi biografi 40.000 perawi hadits.
    - Tarikh Nishabur karya Imam Muhammad Bin Abdullah Al-Hakim An-Nishabury. Kitab ini merupakan kitab tarikh terbesar yang banyak faedahnya.
    - Tarikh Baghdad karya Imam Al-Khatib Al-Baghdady. Kitab ini memuat biografi ulama-ulama sebanyak 7.831 orang.
    ‘illat (cacat tersembunyi)
    ‘Illat hadits adalah cacat tersembunyi yang dapat menodai kesahihan suatu hadits, yaitu :
    a. Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur (tidak disebutkan) sahabat yang meriwayatkannya. Hadits seperti ini disebut hadits mursal.
    b. Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur salah seorang rawinya. Hadits seperti ini disebut hadits munqathi’.
    c. Adanya sisipan yang terdapat pada matan hadits.
    Kejanggalan Hadits
    Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (dapat diterima) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
    Klasifikasi Hadits Sahih :
    Hadits sahih dibagi menjadi dua bagian : sahih li-dzatih dan sahih li-ghairih.
    Sahih li-dzatih adalah hadits sahih yang memenuhi syarat-syarat hadits sahih diatas.
    Sahih li-ghairih adalah hadits sahih yang diantara perawinya ada yang kurang dlabith, tetapi mempunyai sanad lain yang lebih dlabith.
    B. Hadits Hasan
    Hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya (kurang dlabith), bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya.
    Klasifikasi hadits hasan : hasan lidzatih dan hasan li-ghairih.
    Hadits hasan li-dzatih adalah hadits hasan yang memenuhi syarat hadits hasan diatas.
    Hadits hasan li-ghairih adalah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
    Hadits hasan derajadnya dibawah hadits sahih.
    Menurut Imam Turmudzi dan Ibnu Taimiyah hadits hasan adalah hadits yang banyak jalan datangnya dan tidak ada dalam sanadnya yang tertuduh dusta dan tidak pula janggal (syadz).
    Dibawah hadits hasan ada yang lebih rendah derajadnya yaitu hadits dhaif.
    Menurut Imam Nawawi : “Hadits dhaif yang banyak jalan dan saling menguatkan bisa naik menjadi hadits hasan”. Yaitu hasan li-ghairih, tapi ke dhaifannya bukan karena ada rawi yang tertuduh dusta atau fasiq. Maka dengan demikian dapat diamalkan berdasarkan kumpulannya, bukan berdasarkan kepada satu per satunya.
    C. Hadits Dhaif
    Hadits dhaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih atau hadits hasan.
    Berdasarkan dapat diterima atau ditolak sebagai hujjah hadits diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
    a. Hadits Maqbul : yaitu hadits yang dapat diterima
    b. Hadits Mardud : yaitu hadits yang ditolak dan tidak dapat diterima.
    Hadits sahih dan hasan adalah hadits yang maqbul.
    Yang termasuk hadits mardud (ditolak) adalah segala macam hadits dhaif
    Klasifikasi hadits dhaif :
    a. Dari jurusan sanad, dibagi dua
    Pertama : Cacat pada rawi, tentang keadilan dan kedlabitannya.
    Kedua : Sanadnya tidak bersambung, karena ada rawi yang digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.
    Pertama, cacat pada keadilan dan ke dlabitan rawi ada 10 macam :
    1. Dusta, hadits dhaif yang karena rawinya dusta, disebut Hadits maudlu’
    2. Tertuduh dusta, hadits dhaif yang rawinya tertuduh dusta disebut hadits matruk.
    3. Fasik, yaitu pelaku dosa besar, atau melakukan dosa kecil dengan terang-terangan dan sering.
    4. Banyak salah, yaitu dalam meriwayatkan haditsnya.
    5. Lengah dalam hafalan, hadits dhaif yang karena rawinya fasik, banyak salah dan lengah disebut hadits munkar.
    6. Banyak purbasangka (waham), hadits dhaif yang karena rawinya waham disebut hadits mu’allal.
    7. Menyalahi riwayat orang kepercayaan;
    - Dengan penambahan suatu sisipan, disebut hadits mudraj.
    - Dengan memutarbalikkan, disebut hadits maqlub.
    - Dengan menukar-nukar rawi, disebut hadits mudltharib.
    - Dengan perubahan syakal huruf, disebut hadits muharraf.
    - Dengan perubahan titik-titik kata, disebut hadits mushahhaf.
    8. Tidak diketahui identitasnya (jahalah), disebut hadits mubham.
    9. Penganut bid’ah (sekte sempalan), hadits dhaif yang rawinya penganut bid’ah disebut hadits mardud.
    10. Tidak baik hafalannya, disebut hadits syadz dan mukhtalith.
    Kedua : Cacat karena sanadnya ada yang gugur :
    1. Yang digugurkan sanad pertama, disebut hadits mu’allaq.
    2. Yang digugurkan sanad terakhir (sahabat), disebut hadits mursal.
    3. Yang digugurkan dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut hadits mu’dlal.
    4. Yang digugurkan tidak berturut-turut, disebut hadits munqathi.
    b. Dari jurusan matan, dibagi dua :
    1. Hadits mauquf, yaitu hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan sahabat tidak sampai kepada Nabi, misalnya “Berkata Umar …..”
    2. Hadits maqthu’, yaitu hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan tabi’in, misalnya, “Berkata Said Ibn Musayyab ….. “
    Pembagian hadits berdarkan banyaknya jalur periwayatan (sanad)
    a. Hadits Mutawatir
    b. Hadsis Masyhur
    c. Hadits Ahad
    - hadits azis
    - hadits gharib
    Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin bahwa mereka itu telah sepakat untuk berdusta. Syarat hadits mutawatir :
    1. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil pemikiran, rangkuman atau dugaan.
    2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai bilangan yang mampu mencapai ilmu’dl-dlarury (meyakinkan).
    3. Ada keseimbangan antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya ada hadits yang diriwayatkan oleh 10 orang sahabat kemudian diriwayatkan oleh 5 orang tabiin dan seterusnya diriwayatkan oleh 3 orang tabi’it-tabi’in maka hadits tersebut tidak termasuk hadits mutawatir, karena jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara lapisan pertama dengan lapisan kedua dan ketiga.
    Kitab yang menghimpun segala hadits mutawatir yang terkenal adalah kitab Al-Azharu’l Mutanatsirah fi’l Akhbari Mutawatirah, karya Imam As Suyuthi (911 H).
    Hadits mutawatir memberi faedah ilmu-dlarury, yakni meyakinkan dan harus menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir karena membawa kepada keyakinan yang qoth’i (pasti). Rawi-rawi hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedlabithannya.
    Hadits Masyhur adalah hadits yang terdiri lapisan perawi yang pertama atau lapisan kedua, dari orang seorang, atau beberapa orang saja. Sesudah itu barulah tersebar luas, dinukilkan oleh segolongan orang yang tak dapat disangka bahwa mereka sepakat untuk berdusta. Jumhur ulama hadits mensyaratkan minimal 3 orang perawi.
    Ulama-ulama mazhab hanafi men-takhsis-kan (meng khusus kan) ayat Al-Qur’an yang umum dengan hadits masyhur ini dan menambah hukum-hukum yang belum terdapat dalam Al-Qur’an. Hadits ahad yang belum mencapai derajad hadits masyhur tidak dapat digunakan untuk fungsi ini.
    Imam Malik menjadikan hadits ahad pen takh sis Al-Qur’an dengan syarat jika dikuatkan oleh amal penduduk Madinah atau oleh Qiyas.
    Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin Hanbal menggunakan hadits ahad untuk mentakhsis ayat Al-Qur’an.
    Hadits Ahad adalah segala hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat sebab-sebab yang menjadikannya masyhur.
    Hadits Azis adalah hadits yang rentetan perawinya terdiri dari dua-dua orang atau pada suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang saja.
    Hadits Garib adalah hadits yang dalam sanadnya ada seorang rawi yang menyendiri, di lapisan mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
    Berkata Imam Ahmad Bin Hanbal : “Jangan kamu mencatat hadits hadits gharib, lantaran hadits-hadits gharib itu mungkar-mungkar dan pada umumnya berasal dari orang-orang lemah”.
    Pembagian Hadits yang bersambung sanadnya :
    a. Hadits Musnad, yaitu tiap-tiap hadits marfu’ yang sanadnya bersambung
    b. Hadits Muttashil/Maushul, yaitu hadits yang bersambung sanadnya, ada yang marfu’, mauquf atau maqthu’
    5.2. Berhujah dengan hadits / Mengamalkan Hadits
    A. Hadits Mutawatir
    Mutlak harus diterima bulat-bulat, karena memberikan keyakinan secara ilmul-dlarury.
    B. Hadits Masyhur
    Mutlak dapat dipakai hujjah atau diamalkan, dapat dijadikan pen-takhsish (meng khususkan) ayat Al-Qur’an yang umum (‘Am)
    C. Hadits Ahad
    Apabila sahih mempunyai sifat dapat diterima yang tinngi, apabila hasan mempunyai sifat dapat diterima yang menengah / rendah, dapat diamalkan dalam urusan-urusan amal bukan dalam urusan i’tiqad.
    Imam Abu Hanifah menolak hadits ahad untuk men takhsis dan menasakh ayat Al-Qur’an.
    Imam Malik menjadikan hadits ahad untuk men takhsish dan menasakh Al-Qur’an jika dikuatkan oleh amalan penduduk Madinah atau oleh qiyas.
    Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hanbal menjadikan semua hadits ahad untuk men takhsish Al-Qur’an.
    D. Hadits Dha’if
    Dalam hal berhujah dengan / mengamalkan hadits dha’if, terbagi dalam 3 pendapat :
    a. Melarang secara mutlak , itu pendapat Imam Bukhary dan Abu Bakar Ibnu Araby.
    b. Membolehkan, yaitu bila dha’ifnya tidak terlalu dan khusus untuk menerangkan fadlilah amal, yang isinya mendorong berbuat baik, mencegah perbuatan buruk, cerita-cerita dan perkara-perkara mubah. Bukan untuk menetapkan masalah hukum-hukum syariat seperti halal-haram, akidah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad Bin Hanbal, Abdurrahman Bin Mahdy, Abdullah Ibn Mubarak, mereka berkata :
    “Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami permudah sanadnya dan kami perlunak rawi-rawinya”
    Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany membolehkan berhujah dengan hadits dha’if untuk keutamaan amal, dengan memberikan 3 syarat :
    1. Hadits Dha’if yang tidak terlalu. Dha’if yang karena rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah tidak dapat dijadikan hujjah.
    2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits tersebut masih selaras dengan dasar yang dibenarkan oleh hadits yang lebih sahih.
    3. Dalam mengamalkannya tidak meng ‘itiqadkan bahwa hadits tersebut benar benar dari Nabi, tetapi tujuannya mengamalkan hanya semata-mata untuk ikhtiyat (hati-hati).
    E. Hadits Mursal
    Hadits mursal adalah hadits yang gugur perawi pada tingkatan sahabat. Jadi perawi tabi’in tidak menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits kepadanya.
    Bila perawi yang gugur (tidak disebutkan) sebelum sahabat , baik tabi’in atau selainnya, bila satu orang yang gugur dinamakan hadits munqathi’, bila dua orang yang gugur disebut hadits mu’dlal.
    Berhujah dengan hadits Mursal, terdapat perbedaan pendapat, sebagian menolak dan menganggapnya sebagai hadits dha’if, sebagian menerima dan menganggapnya sebagai hadits musnad, tetapi jumhur ulama hadits menerima hadits mursal tapi dengan syarat;
    Imam Abu Hanifah menerima hadits mursal, bila yang meng irsal kan itu sahabat atau tabi’in. Irsal yang sesudah tabi’it-tabi’in ditolak.
    Imam Malik menerima segala hadits mursal dari orang yang kepercayaan (tsiqoh).
    Imam Syafi’ii hanya menerima hadits mursal dari periwayatan Said Bin Musayyab dan Hasan Al Basri.
    Imam Ahmad Bin Hanbal lebih mengutamakan fatwa sahabat dari pada menerima hadits mursal.
    5.3. Bagan Jenis / Derajad Hadits
    Bagan
    Jenis / Derajad Hadits
    I. Mutawatir II. Masyhur III. Ahad
    Ada yang Maqbul ada yang Mardud
    Maqbul Mardud
    1. Sahih 2. Hasan 3. Dhaif *) 5. Masyhur 3. Dhaif 4. Maudlu
    6. Azis
    a. sahih b. sahih a. hasan b. hasan 7. Gharib
    lidzatih lighairihih lidzatih lighairihih 8. Muttabi’
    9. Syahid
    10. Marfu’
    11. Musnad
    12. Maushul/Muttashil
    a. Mutawatir b. Mutawatir c. Mutawatir 13. Mauquf
    Lafdhy ‘amali ma’nawy 14. Mahfudh
    15. Syadz
    16. Ma’ruf
    17.Munkar
    18. Muhkam
    19. Mutasyabih
    *) Dengan catatan :
    - Dhoif yang tidak terlalu
    - Bukan masalah hukum
    - Bukan masalah akidah / halal-haram
    - Menerangkan Fadhilah amal
    - Janji surga dan ancaman siksa neraka
    - Cerita cerita atau masalah yang mubah
    20. Mukhtalif
    21. Nasikh
    22. Mansukh
    23. Rajih
    24. Marjuh
    25. Maqthu
    26. Mursal
    27. Munqathi
    28.Mu’dlal/Musykil
    29. Mu’allaq
    30.Mudallas
    31. Mu’allal
    32. Mudltharab
    33. Matruk
    34. Mudraj
    35. Maqlub
    36. Musalsal
    37. Mu’an’an
    38. Mushahaf
    39. Muannan
    40. Mudabbaj 44. Nazil.
    41. Sabiq 45. Mubham
    42. Lahiq 46. Muharraf
    43. ‘Ali 47. Qudsy
    5.4. Pertentangan Hadits
    A. Pertentangan Hadits dengan Al-Qur’an
    Sebagian ulama menolak hadits yang bertentangan dengan Al-Qur’an :
    - Ada sebuah atsar menyebutkan : “Abu Bakar Shiddiq ra. mengumpulkan para sahabat dan menyuruh mereka menolak hadits yang berlawanan dengan Al-Qur’an”.
    - Umar Bin Khattab ra. pernah menolak hadits riwayat Fatimah Binty Qeys yang menerangkan, bahwa istri yang ditalaq habis, tidak berhak diberikan nafkah dan tempat lagi, karena bertentangan dengan ayat Ath Thalaq dalam Al-Qur’an, dan Umar ra berkata : “tidaklah saya mau meninggalkan kitabullah lantaran perkataan seorang wanita yang boleh jadi benar boleh jadi salah”.
    - Diriwayatkan oleh Imam Bukhory, Muslim, Turmudzy dan An Nasay dari Masruq, ujarnya : “Aku berkata kepada ‘Aisyah Ummul Mukminin, apakah Muhammad ada melihat tuhannya ? ‘Aisyah menjawab : ‘Bangun bulu romaku mendengar perkataanmu, dimana engkau dari tiga perkara, barang siapa menceritakan yang tiga itu pasti berdusta :
    a. Barang siapa menceritakan bahwa Muhammad melihat tuhannya, adalah dusta, karena firman Allah :
    “Tiada dapat dilihat Dia oleh segala pandangan dan Dia melihat segala pandangan, dan Dia itu Maha lembut lagi Maha mengetahui” (QS Al An’am : 103).
    b. Barang siapa menceritakan, bahwa dia mengetahui apa yang terjadi esok hari, berdusta, Allah berfirman :
    “Tak ada yang seorangpun dapat mengetahui apa yang ia kerjakan esok hari” (QS Lukman : 31).
    c. Barang siapa menceritakan, bahwa Muhammad ada menyembunyikan sesuatu wahyu, maka ia berdusta, karena Allah berfirman :
    “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan pada engkau dari Tuhan engkau, Jika engkau tidak menyampaikan berarti engkan tidak menyampaikan risalah Allah, dan Allah memelihara engkau dari manusia bahwasanya Allah tidak menunjuki kaum yang kafir “ (QS Al Maidah : 67).
    B. Pertentangan antar hadits.
    Ulama yang pertama kali membahas tentang hadits yang saling bertentangan adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya “mukhtaliful hadits”. Apabila kita mendapati dua buah hadits makbul yang saling bertentangan (menurut lahirnya), maka :
    1. Diusahakan untuk mengumpulkannya (mengkompromikan).
    2. Kalau usaha ini gagal, hendaklah dicari mana diantara hadits yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Hadits yang datang lebih dahulu hendaklah dinasakh, disebut hadits mansukh dan yang menasakhnya disebut hadits nasikh.
    Untuk mengetahui mana hadits yang nasikh dan mana hadits mansukh nya, dapat diketahui dari beberapa jalan, antara lain :
    a. Penjelasan dari syar’i sendiri, contoh :
    “Konon aku pernah melarangmu menziarahi kubur. Kemudian ziarahlah. Dan konon aku pernah melarangmakandaging binatang kurban selama lebih tiga hari, kemudian makanlah sesukamu” (HR Muslim).
    b. Penjelasan dari Sahabat
    Jabir berkata : “yang terakhir dari dua kejadian yang berasal dari Rasulullah saw ialah meninggalkan wudlu’ bekas tersentuh api”.
    c. Diketahui tarikh keluarnya hadits :
    Hadits riwayat Syaddad :
    “Batallah puasa orang yang membekam dan orang yang dibekam” (HR Abu Dawud).
    Menurut Imam Syafi’ii telah di nasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas ra :
    “Bahwa Rasulullah saw sedang berbekam, padahal beliau sedang ihram dan berpuasa”.(HR Muslim).
    Disebabkan hadits Syaddad tersebut disabdakan oleh Nabi pada tahun 8 H, yakni saat-saat dikuasainya kembali kota Mekkah, sedang hadits Ibnu ‘Abbas disabdakan pada tahun 10 H, yakni pada haji Wada’.
    Imam Syarajuddin Al-bulqiny menyusun ilmu cabang dari ilmu hadits mengenai awal atau akhirnya dikeluarkan suatu matan hadits dalam kitab yang diberi nama “Mahasinu’l-ishthilah”.
    1. Kalau usaha mencari nasikhnya tidak pula berhasil, beralih kepada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad maupun matannya, untuk ditarjihkan. Hadits yang kuat disebut hadits rajih, sedang yang ditarjihkan disebut hadits marjuh.
    Contoh : hadits riwayat Ibnu Abbas ra :
    “Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al Harits pada waktu beliau ihram”.
    Hadits tersebut ditarjihkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Rafi’ yang mengabarkan :
    “Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al-Haris pada waktu beliau tahallul”.
    Hadits ‘Abi Rafi’ lebih rajih daripada hadits Ibnu ‘Abbas karena Abi Rafi’ sendiri bersama-sama pergi dengan Rasulullah saw dan Maimunah disaat itu dan kebanyakan sahabat meriwayatkan seperti hadits Abi Rafi’.
    Mentarjihkan hadits itu, dapat ditinjau dari beberapa jurusan :
    1. Jurusan sanad, misalnya :
    a. Hadits yang rawinya banyak, merajikan hadits yang rawinya sedikit.
    b. Hadits yang diriwayatkan oleh rawi besar merajihkan hadits yang diriwayatkan oleh rawi kecil.
    c. Hadits yang rawinnya tsiqah merajikan hadits yang rawinya kurang tsiqah.
    2. Jurusan matan, misalnya :
    a. Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan hadits yang mempunyai arti majazi.
    b. Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi merajikan hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari satu segi.
    3. Jurusan hasil penunjukan (madlul), misalnya :
    Madlul yang positip merajihkan yang negatip.
    4. Jurusan dari luar, misalnya :
    Dalil yang qauliah (berdasarkan perkataan), merajikan dalil yang fi’liyah (berdasarkan perbuatan).
    1. Kalau usaha inipun gagal, kedua hadits tersebut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya. Hadits yang di tawaqquf kan ini disebut hadits mutawaqqaf-fihi . Hadits yang dibekukan ini menurut sebagian ulama dapat diamalkan salah satu, dan ada pula yang berpendapat bisa diamalkan berganti-ganti dalam waktu yang berbeda.
    Hadits yang mengandung pertentangan disebut hadits mukhtalif.
    5.5. Hadits Maudlu’ (palsu)
    Hadits maudlu’ adalah hadits yang diciptakan serta dibuat oleh seseorang (pendusta) yang diciptakan itu disandarkan kepada Rasulullah saw secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
    Seorang rawi yang diketahui pernah berdusta dengan menyandarkan riwayatnya kepada Rasulullah saw walaupun sekali dalam seumur hidup, riwayatnya tidak dapat diterima, walaupun telah ber taubat sekalipun.
    Ciri Ciri Hadits Palsu :
    1. Dari pengakuannya sendiri, seperti pengakuan seorang guru tashawuf yang berkata : “tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi kami melihat manusia sama meninggalkan Al-Qur’an, maka kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an”.
    2. Petunjuk yang memperkuat adanya kedustaan, misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau menerima dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia dilahrikan.
    3. Petunjuk dari tingkah lakunya, seperti yang pernah dilakukan oleh Ghiyat bin Ibrahim dikala berkunjung ke istana Khalifah Al-Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati, katanya :
    “Tidak syah perlombaan selain : mengadu anak panah, mengadu kuda atau mengadu burung”.
    Perkataan au janahin (atau mengadu burung) adalah perkataan Ghiyats sendiri, yang spontan ia tambahkan di akhir hadits yang ia ucapkan, dengan maksud membesarkan hati Khalifah yang sedang mengadu burung merpati.
    4. Dari segi matan, maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits mutawatir, Ijma’ dan logika sehat
    5. Menukil kata mutiara (adagium) orang orang yang dipandang alim yang kemudian disandarkan itu adalah berasal dari Rasulullah saw.
    Motif-Motif yang Mendorong Membuat Hadits Palsu :
    1. Untuk memperkuat partainya, Syiah Rafidah dikenal paling banyak membuat hadits palsu.
    2. Untuk merusak / mengeruhkan agama Islam, seperti Hasan Bin Saba’ dan orang Persia-Majusi yang benci dan dengki terhadap hegemony Arab-Islam, tokoh-tokoh zindiq yang ber akidah sesat.
    3. Untuk nasihat dan menarik minat hati manusia, contohnya hadits yang berlebihan dalam menerangkan pahala amal.
    4. Fanatik kesukuan, kultus imam, individu, dsb
    5. Mempertahankan mazhab fikih ikhtilaf.
    6. Mencari muka dihadapan penguasa, contohnya hadits Ghiyats diatas.
    7. Kejahilan dalam ilmu agama disertai kemauan keras untuk berbuat kebaikan.
    VI. Kutubus Sittah (enam kitab induk) dan pengarangnya
    Disebut kitab induk karena inilah kitab-kitab hadits yang oleh jumhur ulama dinilai paling tinggi mutunya diantara semua kitab hadits yang ada, disusun urut mulai yang paling tinggi mutunya terus kebawah :
    1. Sahih Bukhary (Al Jami’ush Sahih Al Musnadu Min Haditsi Rasul saw).
    Penulisnya adalah Imam Bukhary (194 H – 252 H / 810 M – 870 M), kelahiran Bukhara di Uzbekistan, kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Sejak umur 10 tahun sudah tertarik mendalami hadits, berkelana hampir ke seluruh kota kota besar Wilayah Daulah Islam untuk mencari hadits. Mempunyai hafalan yang luar biasa, beliau hafal sampai ratusan ribu hadits beserta semua rawi-rawinya.
    Kitab Sahih Bukhory disusun dalam waktu 16 tahun, terdiri dari 2.602 yang tanpa diulang-ulang. Setiap menuliskan hadits dalam kitab sahihnya, beliau melakukan sholat sunnah 2 rokaat.
    Kitab Syarah (penjelasan secara panjang lebar) Sahih Bukhory yang terbaik adalah Fathul Bary karya Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
    Jumhur ulama sepakat menilai kitab Sahih Bukhory ini paling tinggi tingkat ke sahihan dan mutunya.
    2. Sahih Muslim
    Penulisnya adalah Imam Abul Husain Muslim Bin Hajaj Al Qusyairy (204 H-261 H / 820 M-875M), murid imam Bukhary. Sama seperti gurunya beliau berkelana hampir ke seluruh kota kota besar dalam mencari hadits. Walaupun tingkat kesahihan dan mutu haditsnya masih dibawah Sahih Bukhary, tetapi sistematika penulisannya lebih baik bila dibandingkan dengan kitab Sahih Bukhary, karena lebih mudah mencari hadits didalamnya. Kitab Sahih Muslim berisi sekitar 4.000 hadits yang tidak diulang-ulang.
    Kitab syarah nya yang terbaik adalah Minhajul Muhadditsin, karya Imam Nawawi.
    3. Sunan An Nasay (Al Mujtaba Minas Sunan / Sunan-sunan pilihan)
    Penulisnya adalah Imam Abu ‘Abdir Rahman Ahmad Bin Syu’aib bin Bahr (215 H-303 H / 839 M-915 M). Mulanya kitab sunan ini diserahkan kepada seorang Amir di Ramlah, Amir itu bertanya , “Apakah isi sunan ini sahih seluruhnya ?”, Imam An Nasay menjawab : “Isinya ada yang sahih, ada yang hasan, ada yang hampir serupa dengan keduanya.” Kemudian sang Amier berkata lagi “Pisahkanlah yang sahih saja”. Sesudah itu An Nasay pun menyaring sunannya dan menyalin yang sahih saja dalam sebuah kitab yang dinamai Al Mujtaba (pilihan).
    4. Sunan Abu Dawud
    Penulisnya adalah Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats Bin Ishaq As-Sijistany (202 H-275 H / 817 M- 889 M). Beliau mengaku mendengar hadits sampai 500.000 buah, kemudian beliau seleksi dan ditulis dalam kitab sunan nya sebanyak 4.800 buah dan beliau berkata : “Saya tidak meletakkan sebuah hadits yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya dengan sahih, semi sahih, mendekati sahih, dan jikadalam kitab saya tersebut terdapat hadits yang sangat lemah maka saya jelaskan. Adapun yang tidak saya beri penjelasan sedikitpun, maka hadits tersebut bernilai sahih dan sebagian dari hadits yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang lain.”
    5. Sunan At Turmudzy
    Penulisnya adalah Imam Abu ‘Isa Muhammad Bin Isa Bin Surah (200 H-279 H / 824 M- 892 M), termasuk murid Imam Bukhary. Beliau berkata : “Aku tidak memasukkan ke dalam kitab ini terkecuali hadits yang sekurang-kurangnya telah diamalkan oleh sebagian fukaha”. Beliau menulis hadits dengan menerangkan yang sahih dan yang tercacat serta sebab-sebabnya sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana yang diamalkan dan mana-mana yang ditinggalkan. Kitab Sunan Turmudzy isinya jarang yang berulang-ulang.
    6. Sunan Ibnu Majah
    Penulisnya adalah Imam Abdu Abdillah Bin Yazid Ibnu Majah (207 H- 273H / 824 M- 887 M), berasal dari kota Qazwin di Iran. Dalam kitab sunan Ibnu Majah ini terdapat beberapa hadits dhaif, gharib dan ada yang munkar. Al Hafidz Al-Muzy menilai kitab Al Muwaththa karya Imam Malik lebih tinggi mutunya dari Sunan Ibnu Majah, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa kitab induk yang ke enam adalah Sunan Ad Darimy, Ahmad Muhammad Syakir berpendapat Al Muntaqa karya Ibnu Jarud lebih pantas menjadi yang ke enam.
    Kitab-Kitab Hadits yang lain yang penting :
    - Sunan Ad Darimy
    - Al Muntaqa karya Ibnu Jarud
    - Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal, aslinya bernilai tinggi, tetapi setelah Imam Ahmad wafat, anaknya Abdullah dan muridnya Abu Bakr Al Qathi’y menambahkan beberapa hadits lagi, hingga didalamnya tersisip banyak hadits dhaif dan ada empat buah hadits maudlu’.
    - Al Muwaththa, karya Imam Malik. Mengandung hadits mursal dan munqathy yang dipandang sahih untuk diamalkan oleh Imam Malik.
    - Sahih Ibnu Khuzaimah, mengumpulkan hadits sahih yang tidak dimuat dalam sahih Bukhary dan Sahih Muslim.
    - Mustadrak Imam Hakim
    - Dan masih ada beberapa kitab-kitab hadis yang lainnya.
    VII. Ilmu-Ilmu Cabang Dari Ilmu Hadits
    Ilmu-ilmu pendukung lainnya yang merupakan cabang dari ilmu hadits yang perlu dipelajari juga untuk memahami hadits adalah :
    1. Ilmu Rijalil Hadits
    Ilmu untuk mengetahui sejarah dan hal-ihwal sahabat, tabiin dan tabi’it tabi’in.
    2. Ilmu Tawarikhir Ruwah
    Ilmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggap kapan mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per haditsan.
    Kitab Tawarikhir Ruwah yang terkenal “At-Tarikhu’l-Kabir” karya Imam Bukhary dan “Tarikh Baghdad” karya Imam Al Khatib Baghdady.
    3. Ilmu Thabaqotur Ruwah
    Ilmu yang pembahasannya diarahkan kepada kelompok orang-orang (rawi) yang berserikat dalam suatu alat pengikat yang sama.
    Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya “Thabaqatur Ruwah” karya Al Hafidz Abu ‘Amr Khalifah Bin Khayyath Asy Syaibany.
    4. Ilmu Jarh wa Ta’dil
    Ilmu yang membahas hal-ihwal (keadilan, ke-tsiqoh-an) para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
    Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya “Al Jarhu wat Ta’dil” karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy.
    5. Ilmu Gharibil Hadits
    Ilmu untuk mengetahui lafadh-lafadh dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipahami, karena jarang sekali digunakan.
    Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Al-Faiqu fi Gharibi’l Hadits” karya Imam Zamakhsyary.
    6. Ilmu Asbabul Wurudi’l Hadits
    Ilmu yang menerangkan sebab sebab dan latar belakang lahirnya hadits.
    Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Al Bayan wat Ta’rif fi asbabi Wurudil Haditsisy-Syarif” karya Ibnu Hamzah Al Husainy.
    7. Ilmu Tawarikhu’l Mutun
    Ilmu yang menitik beratkan kapan dan dimana atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau peebuatan itu dilakukan Rasulullah saw.
    Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Mahasinu’l Ishthilah” karya Imam Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amar Bin Salar Al-Bulqiny.
    8. Ilmu Nasikh Mansukh Hadits
    Ilmu yang membahas hadits yang menghapus (nasikh) hadits lain yang dihapus (mansukh)
    Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Nasikhu’l Hadits Wa Mansukhuhu” karya Al Hafidz Abu bakar Ahmad Bin Muhammad Al Atsram.
    9. Ilmu Mukhtaliful Hadits
    Ilmu yang membahas hadits hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, untuk dikompromikan, sebagaimana halnya membahas hadits hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.
    Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya “Musykilu’l Hadits wa Bayanuhu” karya Abu Bakr Muhammad Bin Al Hasan (Ibnu Furak) Al Anshary Al Asbihany.
    10. Ilmu ‘Ilalil Hadits.
    Ilmu yang membahas sebab-sebab yang samar lagi tersembunyi dari segi membuat kecacatan suatu hadits. Seperti me-muttashil-kan (menganggap bersambung) sanad hadits yang sebenarnya sanad itu munqathy (terputus), merafa’kan (mengangkat sampai kepada nabi) berita yang mauquf (yang berakhir kepada sahabat). Menyisipkan suatu hadits pada hadits yang lain, meruwetkan sanad dengan matannya dan sebagainya.
    Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya “’Ilalu’l Hadits” karya Imam Ahmad Bin Hanbal dan “AL-‘Ilal Waridah fi’l Ahaditsin Nabawiyah karya Al Hafidz Ali Bin Umar Ad Daraquthny..