Sejarah Umat Islam Indonesia, Sejarah Perjuangan Syariah dan Khilafah!
Sudah menjadi rahasia umum di antara orang/pejabat Belanda bahwa banyak sultan di Indonesia memberikan baiat (sumpah kesetiaan dan kepatuhan)-nya kepada Khalifah di Istanbul. Dengan itu secara efektif membuat kaum Muslim menjadi warga negara Khilafah (Negara Islam).
Kaum Muslim di Aceh adalah yang paling menyadari akan status mereka. KoranSumatera Post menulis tentang ini pad` tahun 1922, “Sesungguhnya kaum Muslim Aceh mengakui Khalifah di Istanbul.”
Bukan
hanya itu, mereka juga mengakui fakta bahwa tanah mereka adalah bagian
dari Negara Islam. Ini adalah salah satu alasan atas perlawanan sengit
mdreka melawan Belanda. Sebagaimana yang diakui Koran Sumatra Post tahun 1922: “Pada
hari ini, serangan-serangan atas kami menjadi hal penting karena
merupakan sikap mentalitas atas ide Perang Suci (jihad fi sabilillah,
pen.)“.
Khalifah juga mengirimkan perwakilannya ke Indonesia untuk mendukung kaum Muslim. Koran Het Nieuws van den Dag,
misalnya, melaporkan tentang seorang konsul dari Khalifah di Batavia
bahwa dia mendukung gerakan mengembalikan Islam (Khilafah, pen.): “Di
Indonesia hanya ada satu konsul, yakni di Batavia, dan dia telah
menunjukkan antusiasme yang besar bagi gerakan mengembalikan Islam. Oleh
karena itu, pemerintah memintanya untuk diganti.”
Koran
yang sama menginformasikan kepada pembacanya pada tahun 1912 bahwa
Khalifah mengirimkan misi rahasia ke Indonesia untuk mendukung kaum
Muslim Indonesia, “Konsul Belanda di Konstantinopel telah memperingatkan
pemerintah bahwa utusan rahasia Muhammedan telah dikirim dari Turki ke
Indonesia yang dikuasai Belanda, dengan tugas memotivasi orang-orang
Islam (untuk memberontak kepada penjajah).”
Begitulah
suasana dan semangat perjuangan para tokoh Islam pada masa pendudukan
penjajah Belanda untuk mengembalikan syariah Islam dalam ranah politik.
Apa yang ditulis oleh koran-koran pada waktu itu, baik koran lokal
Indonesia maupun koran yang terbit di Belanda, ternyata secara gamblang
menunjukkan bahwa pada masa pendudukan penjajah Belanda telah terjalin
hubungan yang baik bangsa Nusantara dengan Khilafah Turki Utsmani. Bukan
hanya hubungan ‘pertemanan’ namun lebih dari itu yakni hubungan
‘kenegaraan’. Oleh karena itu, perjuangan formalisasi syariah Islam
dalam seluruh aspek kehidupan bukanlah perjuangan individual para
tokoh-tokoh, namun merupakan perjuangan yang di- back up langsung oleh institusi Khilafah di Turki saat itu.
Pasca
Khilafah Ustmani hancur pada tahun 1924, perjuangan untuk mengembalikan
Khilafah berlangsung di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dr.
Deliar Noer menulis bahwa penghapusan Kekhalifahan di Turki menimbulkan
kebingungan di Dunia Islam pada umumnya, yang mulai berpikir tentang
pembentukan suatu kekhilafahan baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan
saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban
memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud
mengadakan kongres tentang Khilafah pada bulan Maret 1924. Sebagai
sambutan atas maksud ini, dibuatlah Komite Khilafah yang didirikan di
Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian
dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA
Wahab Hasbullah. Guliran usul ini selanjutnya diperkuat dalam Kongres
Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924, yang antara lain
memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari
Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA
Wahab dari kalangan tradisi.1
Pada
kongres Al-Islam di Bandung yang sejatinya hanya memperkuat keputusan
rapat di Cianjur, KH Abdul Wahab Hasbullah, atas nama kalangan tradisi,
mengajukan usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun
kuburan, membaca doa seperti dalail al-khairat, ajaranmazhab,
dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk
di Makkah dan Madinah. Karena terdapat ‘friksi’ dalam masalah inilah
maka kalangan ‘pembaru’ yang lebih dominan dalam Kongres Al-Islam di
Bandung ini tidak menyambut baik usul-usul KH Abdul Wahab Hasbullah ini.
Akhirnya, beliau dan tiga orang pendukungnya keluar dari Komite
Khilafah tersebut di atas.
KH
Wahab selanjutnya mengambil inisiatif mengundang dan mengajak para
ulama-ulama yang beliau kenal seperti dari Surabaya, Semarang, Pasuruan,
Lasem, Pati dan masih banyak lagi untuk diajak rapat-rapat membahas
masalah hancurnya Khilafah. Dalam rapat-rapat tersebut dihasilkan
keputusan bahwa mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang
disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi
Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926.
Dalam Rapat itu pula diputuskan untuk tetap konsisten menempatkan
masalah Hijaz [penegakan kembali Khilafah] sebagai pokok pembicaran
utama.2
Perjuangan
mengembalikan syariah dan Khilafah ternyata bukan hanya dilakukan oleh
KH Wahab semata, tetapi hampir seluruh tokoh Islam. Spirit perjuangan
sebagian besar dari mereka adalah memperjuangkan formalisasi syariah
Islam walau ada yang tidak secara ‘tegas’ menyatakan Khilafah. Sebut
saja Hadji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto. Beliau secara gigih
memperjuangkan agar syariah Islam dijadikan sebagai sumber hukum dalam
bernegara. Tatkala HOS Cokroaminoto melihat rakyat yang tertindas oleh
penjajah kolonial Belanda secara ekonomi dan politik, beliau pun
‘mengejawantahkan’ kegundahan hatinya melalui statemen, “Negara dan
bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur,
pergaulan hidup yang aman dan tenteram selama ajaran-ajaran Islam belum
dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun
sudah merdeka.”3
Beliau
juga mengatakan bahwa saat itu telah terjadi jahiliah modern. “Kalau
alat-alat Pemerintah RI yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan,
baik pihak pejabat sampai bawahan, sudah tidak takut lagi kepada hukuman
Allah, yakinlah negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya. Sebab
segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suap dan sebagainya yang
secara terang-terangan merugikan negara dilakukan dengan aman oleh
mereka, rakyat yang menjadi korban.”4
Apa
yang disampaikan oleh Cokroaminoto tampak jelas bahwa syariah Islam
dijadikan sebagai landasan pikiran, perasaan dan hatinya.
Oemar
Said juga menyatakan, “Tidak bisa manusia menjadi utama yang
sesungguhnya, tidak bisa manusia menjadi besar dan mulia dalam arti kata
yang sebenarnya, tidak bisa ia menjadi berani dengan keberanian yang
suci dan utama, kalau ada banyak barang yang ditakuti dan disembahnya.
Keutamaan, kebesaran, kemuliaan dan keberanian yang sedemikian itu
hanyalah bisa tercipta karena ‘tauhid’ saja. Tegasnya menetapkan lahir
batin: tidak ada sesembahan melainkan Allah saja.”5
Muhammad
Natsir pun melakukan hal serupa. Berbicara tentang Muhammad Natsir
sejatinya tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan syariah Islam di
Indonesia. Natsir menganggap bahwa agama dan negara harus dipersatukan
dalam semangat untuk menegak-kan hukum Allah.6 Artinya, tidak ada
pemisa-han antara Islam dan negara. Bahkan Natsir menegaskan bahwa Islam
tidak terbatas pada aktivitas ritual Muslim yang sempit, tetapi pedoman
hidup bagi individu, masyarakat dan negara.7
Muhammad
Natsir memahami bahwa tugas seorang pemimpin adalah memastikan bahwa
hukum-hukum Allah dapat dijalankan dengan baik. Syarat utama untuk
menjadi seorang pemimpin Negara Islam adalah agamanya, sifat dan
tabiatnya serta akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang
diberikan kepadanya; bukan bangsa, keturunannya ataupun semata-mata
karena kapasitas intelektualnya. Islam tidak mengenal lembaga ‘Kepala
Agama’ seperti Paus dalam tradisi Katolik. Islam hanya mengenal satu
‘Kepala Agama’, yakni Muhammad Rasulullah saw. Rasulullah Muhammad sudah
wafat dan tidak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. Rasulullah saw.
sebagai kepala agama telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam,
yang harus dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslim. Sistem ini juga
harus dijalankan oleh ‘kepala-kepala pemerintahan’ apapun gelarnya,
seperti khalifah, amir dan lain sebagainya yang memegang kekuasaan dalam
kenegaraan kaum Muslim. Dia mengambil contoh bahwa para Sahabat Nabi
saw. yang pernah menjadi khalifah sesudah beliau seperti Abu Bakar,
Umar, Usman, Ali tidaklah merangkap jadi ‘Kepala Agama’. Mereka itu
hanyalah ‘kepala pemerintahan’ yang menjadikan pemerintahannya menurut
aturan yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Muhammad. Negara, oleh
karena itu, bukan merupakan tujuan Islam, tetapi sebagai sarana untuk
menegakkan Islam dan merealisasikan aturan-aturan Ilahi yang terdapat
dalam al-Quran dan Sunnah.8
Aturan-aturan
tersebut lengkap mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial
kemasyarakatan, pergaulan dan sistem-sistem yang mengatur seluruh aspek
kehidupan lainnya. Karena itu, negara berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan kesempurnaan berlakunya hukum ilahi, baik yang berkenaan
dengan kehidupan manusia sendiri ataupun sebagai anggota masyarakat
dalam sebuah negara.
Pergulatan
untuk menjadikan syariah Islam sebagai dasar negara tidaklah mudah.
Kekuatan-kekuatan yang tidak menginginkan tegaknya syariah Islam
berusaha menghadang setiap langkah Natsir di Parlemen. Hal ini bisa
tercermin dalam perdebatan di Konstituante pada masa itu. Dalam sidang
Konstituante tatkala membahas tentang dasar negara, Natsir secara tegas
menjelaskan perbedaan pokok sekularisme dengan Islam. Menurut Natsir,
sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan
sikap yang hanya di dalam batas keduniaan. “Seorang sekuleris tidak
mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan
pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu
ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia,
semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan
sekarang belaka,” ujar M. Natsir.9
Demikian
juga yang dilakukan oleh Ki Bagus Hadikusumo, salah satu tokoh
Muhammadiyah. Beliau cukup lantang meneriakkan syariah Islam. Beliau
memberikan antitesis atas ‘Lima Prinsip Dasar’ yang kemudian dikenal
dengan Pancasila yang diajukan oleh Sukarno-Yamin dengan mengajukan
pendapat ‘Islam Sebagai Dasar Negara’10 dalam sidang-sidang di BPUPKI.
Bahkan, seperti dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan,
Ki Bagus Hadikusumo lebih tegas lagi meminta kata-kata “bagi
pemeluk-pemeluknya” ditiadakan sehingga berbunyi: “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam.”
Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariah Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.
Tatkala perdebatan mengenai kepala negara, salah satu peserta sidang, Kiai Masykur mempdrtanyakan dengan nada retorika: “…Kalau
dalam Republik Indonesia ada kewajiban menjalankan syariat Islam untuk
pemeluk-pemeluknya, padahal Republik Indonesia dikepalai oleh orang
beragama lain daripada Islam, umpamanya, apakah keadaan itu dapat
dijalankan dengan baik? Dan apakah umumnya golongan Islam dapat
menerimanya dan apakah demikian itu tidak jahat?”
Statemen
ini membuat sidang BPUPKI menjadi tegang. Ketegangan semakin memuncak
tatkala Tuan Abdul Kahar Moezakir mengajukan pendapatnya untuk
mempertegas pendapat Kiai Masykur. Ia bahkan sampai menggebrak meja.
Selanjutnya,
apa yang disampaikan oleh Tuan Abdul Kahar Moezakir ini didukung penuh
oleh Ki Bagus Hadikusumo. Beliau menegaskan: “Saya
berlindung kepada Allah terhadap setan yang merusak. Tuan-tuan, dengan
pendek sudah kerap kali diterangkan di sini bahwa Islam itu mengandung
ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya
menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Moezakir tadi; kalau ideologi Islam
tidak diterima, (saya) tidak terima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri
di atas agama Islam dan negara akan netral.”11
Kiai
Haji Ahmad Dahlan juga melakukan hal serupa. Beliau menyerukan kepada
masyarakat dan para pemimpin bangsa untuk kembali pada syariah Islam.
Menurut murid beliau, HR Hadjid, tentang KH Ahmad Dahlan bahwa dalam
menggerakkan masyarakat untuk beramal dan berorganisasi KH Ahmad Dahlan
berpegang pada prinsip yaitu senantiasa mempertang-gungjawabkan tindakan
kepada Allah.12 Ini berarti bahwa setiap tindakan manusia hendaknya
senantiasa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh
Allah SWT dalam bentuk syariah-Nya. Seruan terikat pada syariah Allah
ini bukan hanya ditujukan kepada masyarakat awam, namun juga diserukan
kepada para pengambil keputusan (penguasa). KH Ahmad Dahlan menyerukan
perlunya setiap pemimpin menambah terus ilmu (Islam, red.) sehingga bijaksana dalam mengambil keputusan dan perlunya dilakukan perubahan untuk menuju keadaan lebih baik.13
Selain
itu, cita-cita KH Ahmad Dahlan sebenarnya adalah ingin menumbuhkan
masyarakat Islam. Maksud masyarakat Islam ini adalah masyarakat yang
berkarakter Islam dengan pola sunah Muhammad saw. Mendidik masyarakat
supaya terjadi perubahan perilaku menjadi berkarakter Islam dengan
kesadaran dan ilmu, bukan dengan paksaan atau kekerasan. Sebagaimana
yang dijalankan Muhammad saw (Sunnah).14
Walhasil,
dari paparan di atas nampak jelas bahwa sejak awal Bumi Nusantara punya
hubungan erat dengan Khilafah. Tatkala Khilafh Utsmaniyah tumbang, para
pemuka Islam di Nusantara berlomba-lomba untuk berkontri-busi dalam
mengembalikan tegaknya Khilafah, termasuk di dalamnya perjuangan untuk
menjadikan syariah Islam menjadi dasar dan sumber hukum di negeri ini
pada saat awal-awal pebentukan negara Indonesia.
Karena
itu, jika ada yang mengatakan bahwa perjuangan mengembalikan syariah
Islam disebut ahistoris maka sejatinya dialah yang ahistoris. Fakta
memperlihatkan sebaliknya. Bahkan perjuangan mereka justru dengan
kesungguhan dan penuh dengan pengorbanan. Semoga kita bisa menjadi
penerus perjuangan mereka dengan penuh ikhlas. Insya Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar