Sejarah kejayaan Islam tak lepas dari amalan jihad yang diperani oleh
para pendahulu umat ini. Jihad memiliki kedudukan mulia di dalam
Islam. Tentunya, di atas ketentuan yang telah digariskan Alloh dan
Rasul-Nya. Bukan aksi teror yang muncul dari semangat tanpa ilmu.
Tulisan berikut ini adalah memaparkan gambaran jihad fii sabilillah di
masa Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq.
Seusai memulihkan kondisi jazirah ‘Arab, dengan memerangi kaum murtad dan orang-orang yang menolak membayar zakat, Abu Bakr berusaha keras memobilisasi pasukan Islam dalam upaya menaklukkan negeri Syam yang termasuk daerah teritorial kerajaan Romawi.
Keadaan Romawi sebelum Peperangan
Ketika pasukan Islam bergerak menuju Syam, tentara Romawi merasa terkejut dan sangat takut. Dengan serta-merta mereka mengirimkan surat yang memberitahukan akan hal tersebut kepada Heraklius, raja Romawi yang berada di Himsh (sekarang dikenal dengan Homs). Dia pun melayangkan surat balasan yang berbunyi, “Celaka kalian! Sesungguhnya mereka adalah pemeluk agama baru. Tidak ada yang bisa mengalahkan mereka. Patuhilah aku, dan berdamailah dengan menyerahkan setengah penghasilan bumi Syam! Bukankah kalian masih memiliki pegunungan Romawi?! Jika kalian tidak mematuhi perintahku, niscaya mereka akan merampas negeri Syam dan akan memojokkan kalian hingga terjepit di pegunungan Romawi.”
Tatkala telah mendapatkan surat balasan seperti ini, mereka (tentara Romawi) tidak mau menerima saran tersebut. Akhirnya, mau tidak mau Raja Heraklius mengirim pasukan dalam jumlah yang besar. Pasukan Romawi mulai bergerak, dan berhenti di lembah Al-Waqusah, di samping sungai Yarmuk yang berdataran rendah dan memiliki banyak jurang.
Kedatangan Khalid bin Al-Walid dari ‘Iraq
Pasukan Islam yang berada di Syam segera meminta bantuan. Maka Abu Bakr Ash-Shiddiq memerintahkan Khalid bin Al-Walid agar menarik diri dari ‘Iraq untuk kemudian menuju Syam bersama bala tentaranya. Dengan segera Khalid menunjuk Al-Mutsanna bin Haritsah sebagai penggantinya di ‘Iraq. Kemudian beliau bergerak cepat dengan membawa 9.500 personel pasukan menuju Syam. Mereka melalui jalan-jalan yang tidak pernah dilalui seorang pun sebelumnya, dengan menyeberangi padang pasir, mendaki gunung, serta melewati lembah-lembah yang sangat gersang.
Persiapan Pasukan Islam
Abu Sufyan mengusulkan, layaknya ahli strategi perang, agar pasukan dibagi menjadi tiga formasi. Sepertiga bersiap-siap di depan pasukan Romawi, sepertiga lainnya yang terdiri dari bagian perbekalan dan para wanita agar berjalan, dan sepertiga yang tersisa dipimpin oleh Khalid di posisi belakang. Jika musuh telah mencapai perkemahan wanita dan perbekalan, Khalid akan berpindah ke depan kaum wanita, sehingga mereka dapat menyelamatkan diri di belakang pasukan Khalid bin Al-Walid.
Maka mereka pun segera merealisasikan usulan itu. Pasukan Islam mulai berkumpul dan berhadapan dengan musuh pada awal bulan Jumadil Akhir tahun 13 H.
Strategi Pasukan Islam
Pasukan Islam kala itu jumlahnya berkisar antara 36 ribu sampai dengan 40 ribu personel tentara. Didalamnya terdapat seribu orang shahabat Nabi. Seratus orang dari mereka adalah para veteran perang Badar. Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah (namanya Hanzholah bin Ath-Thufail) memimpin posisi tengah pasukan. ‘Amru bin Al-’Ash dan Syarahbil bin Hasanah memimpin sayap kanan pasukan. Sedangkan pemimpin sayap kiri pasukan adalah Yazid bin Abi Sufyan (dia dikenal dengan sebutan Yazid Al-Khoir).
Khalid membawa kudanya ke arah Abu ‘Ubaidah dan berkata, “Aku akan memberikan usul.” Abu ‘Ubaidah menjawab, “Katakanlah, aku akan mendengar dan mematuhinya.” Khalid kembali berkata, “Musuh pasti menyiapkan pasukan besar untuk membobol pertahanan pasukan kita. Aku khawatir pertahanan sayap kiri dan kanan akan kebobolan. Menurutku, pasukan berkuda harus dibagi menjadi dua kelompok. Satu pasukan ditempatkan di belakang sayap kanan, dan yang lain ditempatkan di belakang sayap kiri. Apabila musuh berhasil menembus pertahanan sayap kiri atau kanan, para pasukan berkuda berperan membantu mereka. Lalu kita datang menyerbu dari belakang.” Abu ‘Ubaidah berkomentar, “Alangkah jitu usulmu itu!”
Khalid bin Al-Walid pun memerintahkan agar Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah pindah ke posisi belakang. Hal ini agar jika ada tentara Islam berlari mundur, ia akan malu saat melihatnya kemudian kembali ke kancah pertempuran. Kemudian Khalid menginstruksikan agar para wanita bersiap-siap dengan pedang, pisau belati, dan tongkat. Khalid berkata, “Siapa saja yang kalian jumpai melarikan diri dari medan pertempuran, bunuh dia!”
Strategi Pasukan Romawi
Setelah menerima bantuan personel dari pusat, pasukan Romawi maju dengan kesombongan membawa 240 ribu personel. 80 ribu pasukan pejalan kaki, 80 ribu pasukan berkuda, dan 80 ribu pasukan yang diikat dengan rantai besi (setiap sepuluh tentara diikat menjadi satu agar tidak lari dari peperangan).
Mereka bergerak hingga menutupi seluruh tempat yang ada seakan-akan mereka adalah awan hitam. Mereka berteriak-teriak, mengangkat suara tinggi-tinggi, sementara para pendeta, uskup, maupun pihak gereja mengelilingi pasukan membacakan Injil sambil memotivasi mereka agar gigih dalam berperang.
Pasukan lini depan dipimpin oleh Jarajah (George), sayap kiri dan kanan dipimpin oleh Mahan dan Ad-Daraqus. Pasukan penyerang dipimpin oleh Al-Qolqolan, menantu Heraklius. Adapun pimpinan tertinggi pasukan ini adalah saudara kandung Heraklius yang bernama Tadzariq.
Perundingan sebelum meletusnya Pertempuran
Abu ‘Ubaidah dan Yazid bin Abi Sufyan maju ke arah pasukan Romawi dengan membawa Dhirar bin Al-Azur, Al-Harits bin Hisyam dan Abu Jandal bin Suhail untuk bertemu dengan Tadzariq yang tengah duduk di dalam tenda yang terbuat dari sutera.
Para shahabat berkata, “Kami tidak dihalalkan memasuki tenda ini.” Maka dibentangkanlah karpet dari sutera dan mereka dipersilahkan untuk duduk di atasnya. Para shahabat berkata, “Kami tidak diperbolehkan duduk di atasnya.” Akhirnya Tadzariq duduk di tempat yang mereka inginkan. Para shahabat mendakwahinya agar masuk Islam, namun perundingan ini berakhir tanpa hasil. Akhirnya mereka pun kembali ke barisan pasukan. Pemimpin sayap kiri Romawi yang bernama Mahan ingin bertemu dengan Khalid bin Al-Walid di antara dua pasukan yang saling berhadapan. Mahan berkata, “Kami mengetahui bahwa kemiskinan dan kelaparanlah yang mengeluarkan kalian dari negeri kalian. Maukah kalian jika aku beri sepuluh dinar untuk setiap tentara beserta makanan dan pakaian, lalu kalian pulang ke negeri kalian? Dan pada tahun depan aku akan memberikan jatah yang serupa?”
Khalid bin Al-Walid menjawab, “Sesungguhnya, bukanlah yang mengeluarkan kami dari negeri kami apa yang engkau sebutkan tadi. Tetapi sebenarnya kami adalah sekelompok manusia peminum darah. Dan telah sampai berita kepada kami bahwa tidak ada darah yang lebih segar daripada darah kalian, bangsa Romawi. Untuk itulah kami datang kesini!” Mendengar jawaban itu para sahabat Mahan berucap, “Demi Alloh, ucapan tersebut baru pertama kali kita dengar dari bangsa ‘Arab.”
Jalannya Pertempuran
Pasukan Romawi pada perang ini keluar dalam jumlah besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Khalid juga membawa pasukan besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah ‘Arab. Tatkala persiapan sudah matang, Khalid memerintahkan untuk memulai dengan perang tanding. Mulailah para jagoan Islam di tiap pasukan maju hingga membuat suasana memanas. Sementara Khalid berdiri menyaksikan laga tersebut.
Ditengah suasana yang sudah memanas, pemimpin pasukan lini depan Romawi yang bernama Jarajah ingin bertemu dengan Khalid di tengah dua pasukan. Ia bertanya mengenai agama Islam, maka Khalid memberitahukan dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Akhirnya, Jarajah masuk Islam, membalikkan sisi perisainya dan masuk ke dalam barisan pasukan Islam.
Melihat pembelotan Jarajah, pasukan Romawi menyerbu ke barisan kaum muslimin. Mahan memerintahkan pasukan sayap kanan menyerang menerobos pertahanan sayap kanan pasukan Islam. Kaum muslimin tetap tegar berjuang di bawah panji-panji mereka, hingga berhasil membendung serangan musuh.
Setelah itu, pasukan besar Romawi datang lagi bak gunung besar yang berhasil memporak-porandakan pasukan sayap kanan, hingga pasukan Islam beralih ke tengah. Tak lama kemudian, mereka saling memanggil agar kembali ke medan laga hingga berhasil memukul mundur kembali. Adapun para wanita, tatkala melihat ada tentara Islam yang lari mundur, mereka segera memukulinya dengan kayu, atau melemparinya dengan batu sehingga tentara tersebut kembali ke kancah peperangan.
Kemudian Khalid beserta pasukannya yang berada di sayap kiri menerobos ke sayap kanan yang kebobolan diserang musuh, hingga berhasil membunuh enam ribu tentara Romawi. Lalu Khalid membawa seratus pasukan berkuda menghadapi seratus ribu tentara Romawi hingga berhasil meluluhlantakkan pasukan musuh.
Pada hari itu, begitu terlihat kegigihan, kesabaran, dan kepahlawanan tentara-tentara Islam hingga pasukan Romawi berputar-putar seperti penumbuk gandum. Mereka tidak melihat, pada perang itu, melainkan kepala-kepala yang berterbangan, tangan-tangan maupun jari-jari yang terpotong, serta semburan darah yang membasahi medan laga.
Ketika itulah, seluruh pasukan Islam menyerbu dengan serentak, untuk kemudian dengan leluasa menghabisi musuh tanpa ada perlawanan sedikit pun. Jarajah pun akhirnya terluka parah dan meninggal dunia. Padahal beliau belum pernah shalat sekalipun, kecuali dua raka’at yang dikerjakan (diajarkan) oleh Khalid ketika baru/awal masuk Islam.
Peperangan ini berawal dari siang hingga malam, sampai kemenangan diraih oleh Islam dan kaum muslimin. Malam itu, pasukan Romawi berlari dalam kegelapan. Adapun pasukan Romawi yang diikat rantai besi, jika salah seorang dari mereka terjatuh, maka terjatuhlah seluruhnya. Malam itu, Khalid bermalam di kemah Tadzariq, pimpinan tertinggi pasukan Romawi.
Pasukan berkuda berkumpul di sekitar kemah Khalid menunggu tentara Romawi yang lewat untuk dibunuh hingga waktu pagi tiba. Tadzariq pun terbunuh. Telah terbunuh pada hari itu 120.000 lebih pasukan Romawi. Adapun tentara Islam yang gugur di medan perang sebanyak tiga ribu pasukan. Kaum muslimin mendapat harta pampasan yang begitu banyak pada perang ini.
Demikianlah, kejayaan yang diraih oleh umat Islam tatkala mereka kokoh diatas kemurnian ibadah kepada Alloh dan berpegang teguh kepada sunnah (ajaran) Rasul-Nya. Sebagaimana firman Alloh (yang artinya):
“Dan Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal sholih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Wallohu a’lam bish showab.
Dengan demikian maka Islam mesti bergerak di bumi ini untuk menghapuskan realita yang bertentangan dengan proklamasi umum itu, menyampaikan dakwah dan menjalankan gerakan sekaligus. Islam juga harus memberikan pukulan sekaligus terhadap segala macam pukulan pihak penguasa politik yang memaksa umat manusia mengabdikan diri kepada yang lain selain ALLAH., Tuhan Yang Ahad.
Seusai memulihkan kondisi jazirah ‘Arab, dengan memerangi kaum murtad dan orang-orang yang menolak membayar zakat, Abu Bakr berusaha keras memobilisasi pasukan Islam dalam upaya menaklukkan negeri Syam yang termasuk daerah teritorial kerajaan Romawi.
Keadaan Romawi sebelum Peperangan
Ketika pasukan Islam bergerak menuju Syam, tentara Romawi merasa terkejut dan sangat takut. Dengan serta-merta mereka mengirimkan surat yang memberitahukan akan hal tersebut kepada Heraklius, raja Romawi yang berada di Himsh (sekarang dikenal dengan Homs). Dia pun melayangkan surat balasan yang berbunyi, “Celaka kalian! Sesungguhnya mereka adalah pemeluk agama baru. Tidak ada yang bisa mengalahkan mereka. Patuhilah aku, dan berdamailah dengan menyerahkan setengah penghasilan bumi Syam! Bukankah kalian masih memiliki pegunungan Romawi?! Jika kalian tidak mematuhi perintahku, niscaya mereka akan merampas negeri Syam dan akan memojokkan kalian hingga terjepit di pegunungan Romawi.”
Tatkala telah mendapatkan surat balasan seperti ini, mereka (tentara Romawi) tidak mau menerima saran tersebut. Akhirnya, mau tidak mau Raja Heraklius mengirim pasukan dalam jumlah yang besar. Pasukan Romawi mulai bergerak, dan berhenti di lembah Al-Waqusah, di samping sungai Yarmuk yang berdataran rendah dan memiliki banyak jurang.
Kedatangan Khalid bin Al-Walid dari ‘Iraq
Pasukan Islam yang berada di Syam segera meminta bantuan. Maka Abu Bakr Ash-Shiddiq memerintahkan Khalid bin Al-Walid agar menarik diri dari ‘Iraq untuk kemudian menuju Syam bersama bala tentaranya. Dengan segera Khalid menunjuk Al-Mutsanna bin Haritsah sebagai penggantinya di ‘Iraq. Kemudian beliau bergerak cepat dengan membawa 9.500 personel pasukan menuju Syam. Mereka melalui jalan-jalan yang tidak pernah dilalui seorang pun sebelumnya, dengan menyeberangi padang pasir, mendaki gunung, serta melewati lembah-lembah yang sangat gersang.
Persiapan Pasukan Islam
Abu Sufyan mengusulkan, layaknya ahli strategi perang, agar pasukan dibagi menjadi tiga formasi. Sepertiga bersiap-siap di depan pasukan Romawi, sepertiga lainnya yang terdiri dari bagian perbekalan dan para wanita agar berjalan, dan sepertiga yang tersisa dipimpin oleh Khalid di posisi belakang. Jika musuh telah mencapai perkemahan wanita dan perbekalan, Khalid akan berpindah ke depan kaum wanita, sehingga mereka dapat menyelamatkan diri di belakang pasukan Khalid bin Al-Walid.
Maka mereka pun segera merealisasikan usulan itu. Pasukan Islam mulai berkumpul dan berhadapan dengan musuh pada awal bulan Jumadil Akhir tahun 13 H.
Strategi Pasukan Islam
Pasukan Islam kala itu jumlahnya berkisar antara 36 ribu sampai dengan 40 ribu personel tentara. Didalamnya terdapat seribu orang shahabat Nabi. Seratus orang dari mereka adalah para veteran perang Badar. Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah (namanya Hanzholah bin Ath-Thufail) memimpin posisi tengah pasukan. ‘Amru bin Al-’Ash dan Syarahbil bin Hasanah memimpin sayap kanan pasukan. Sedangkan pemimpin sayap kiri pasukan adalah Yazid bin Abi Sufyan (dia dikenal dengan sebutan Yazid Al-Khoir).
Khalid membawa kudanya ke arah Abu ‘Ubaidah dan berkata, “Aku akan memberikan usul.” Abu ‘Ubaidah menjawab, “Katakanlah, aku akan mendengar dan mematuhinya.” Khalid kembali berkata, “Musuh pasti menyiapkan pasukan besar untuk membobol pertahanan pasukan kita. Aku khawatir pertahanan sayap kiri dan kanan akan kebobolan. Menurutku, pasukan berkuda harus dibagi menjadi dua kelompok. Satu pasukan ditempatkan di belakang sayap kanan, dan yang lain ditempatkan di belakang sayap kiri. Apabila musuh berhasil menembus pertahanan sayap kiri atau kanan, para pasukan berkuda berperan membantu mereka. Lalu kita datang menyerbu dari belakang.” Abu ‘Ubaidah berkomentar, “Alangkah jitu usulmu itu!”
Khalid bin Al-Walid pun memerintahkan agar Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah pindah ke posisi belakang. Hal ini agar jika ada tentara Islam berlari mundur, ia akan malu saat melihatnya kemudian kembali ke kancah pertempuran. Kemudian Khalid menginstruksikan agar para wanita bersiap-siap dengan pedang, pisau belati, dan tongkat. Khalid berkata, “Siapa saja yang kalian jumpai melarikan diri dari medan pertempuran, bunuh dia!”
Strategi Pasukan Romawi
Setelah menerima bantuan personel dari pusat, pasukan Romawi maju dengan kesombongan membawa 240 ribu personel. 80 ribu pasukan pejalan kaki, 80 ribu pasukan berkuda, dan 80 ribu pasukan yang diikat dengan rantai besi (setiap sepuluh tentara diikat menjadi satu agar tidak lari dari peperangan).
Mereka bergerak hingga menutupi seluruh tempat yang ada seakan-akan mereka adalah awan hitam. Mereka berteriak-teriak, mengangkat suara tinggi-tinggi, sementara para pendeta, uskup, maupun pihak gereja mengelilingi pasukan membacakan Injil sambil memotivasi mereka agar gigih dalam berperang.
Pasukan lini depan dipimpin oleh Jarajah (George), sayap kiri dan kanan dipimpin oleh Mahan dan Ad-Daraqus. Pasukan penyerang dipimpin oleh Al-Qolqolan, menantu Heraklius. Adapun pimpinan tertinggi pasukan ini adalah saudara kandung Heraklius yang bernama Tadzariq.
Perundingan sebelum meletusnya Pertempuran
Abu ‘Ubaidah dan Yazid bin Abi Sufyan maju ke arah pasukan Romawi dengan membawa Dhirar bin Al-Azur, Al-Harits bin Hisyam dan Abu Jandal bin Suhail untuk bertemu dengan Tadzariq yang tengah duduk di dalam tenda yang terbuat dari sutera.
Para shahabat berkata, “Kami tidak dihalalkan memasuki tenda ini.” Maka dibentangkanlah karpet dari sutera dan mereka dipersilahkan untuk duduk di atasnya. Para shahabat berkata, “Kami tidak diperbolehkan duduk di atasnya.” Akhirnya Tadzariq duduk di tempat yang mereka inginkan. Para shahabat mendakwahinya agar masuk Islam, namun perundingan ini berakhir tanpa hasil. Akhirnya mereka pun kembali ke barisan pasukan. Pemimpin sayap kiri Romawi yang bernama Mahan ingin bertemu dengan Khalid bin Al-Walid di antara dua pasukan yang saling berhadapan. Mahan berkata, “Kami mengetahui bahwa kemiskinan dan kelaparanlah yang mengeluarkan kalian dari negeri kalian. Maukah kalian jika aku beri sepuluh dinar untuk setiap tentara beserta makanan dan pakaian, lalu kalian pulang ke negeri kalian? Dan pada tahun depan aku akan memberikan jatah yang serupa?”
Khalid bin Al-Walid menjawab, “Sesungguhnya, bukanlah yang mengeluarkan kami dari negeri kami apa yang engkau sebutkan tadi. Tetapi sebenarnya kami adalah sekelompok manusia peminum darah. Dan telah sampai berita kepada kami bahwa tidak ada darah yang lebih segar daripada darah kalian, bangsa Romawi. Untuk itulah kami datang kesini!” Mendengar jawaban itu para sahabat Mahan berucap, “Demi Alloh, ucapan tersebut baru pertama kali kita dengar dari bangsa ‘Arab.”
Jalannya Pertempuran
Pasukan Romawi pada perang ini keluar dalam jumlah besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Khalid juga membawa pasukan besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah ‘Arab. Tatkala persiapan sudah matang, Khalid memerintahkan untuk memulai dengan perang tanding. Mulailah para jagoan Islam di tiap pasukan maju hingga membuat suasana memanas. Sementara Khalid berdiri menyaksikan laga tersebut.
Ditengah suasana yang sudah memanas, pemimpin pasukan lini depan Romawi yang bernama Jarajah ingin bertemu dengan Khalid di tengah dua pasukan. Ia bertanya mengenai agama Islam, maka Khalid memberitahukan dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Akhirnya, Jarajah masuk Islam, membalikkan sisi perisainya dan masuk ke dalam barisan pasukan Islam.
Melihat pembelotan Jarajah, pasukan Romawi menyerbu ke barisan kaum muslimin. Mahan memerintahkan pasukan sayap kanan menyerang menerobos pertahanan sayap kanan pasukan Islam. Kaum muslimin tetap tegar berjuang di bawah panji-panji mereka, hingga berhasil membendung serangan musuh.
Setelah itu, pasukan besar Romawi datang lagi bak gunung besar yang berhasil memporak-porandakan pasukan sayap kanan, hingga pasukan Islam beralih ke tengah. Tak lama kemudian, mereka saling memanggil agar kembali ke medan laga hingga berhasil memukul mundur kembali. Adapun para wanita, tatkala melihat ada tentara Islam yang lari mundur, mereka segera memukulinya dengan kayu, atau melemparinya dengan batu sehingga tentara tersebut kembali ke kancah peperangan.
Kemudian Khalid beserta pasukannya yang berada di sayap kiri menerobos ke sayap kanan yang kebobolan diserang musuh, hingga berhasil membunuh enam ribu tentara Romawi. Lalu Khalid membawa seratus pasukan berkuda menghadapi seratus ribu tentara Romawi hingga berhasil meluluhlantakkan pasukan musuh.
Pada hari itu, begitu terlihat kegigihan, kesabaran, dan kepahlawanan tentara-tentara Islam hingga pasukan Romawi berputar-putar seperti penumbuk gandum. Mereka tidak melihat, pada perang itu, melainkan kepala-kepala yang berterbangan, tangan-tangan maupun jari-jari yang terpotong, serta semburan darah yang membasahi medan laga.
Ketika itulah, seluruh pasukan Islam menyerbu dengan serentak, untuk kemudian dengan leluasa menghabisi musuh tanpa ada perlawanan sedikit pun. Jarajah pun akhirnya terluka parah dan meninggal dunia. Padahal beliau belum pernah shalat sekalipun, kecuali dua raka’at yang dikerjakan (diajarkan) oleh Khalid ketika baru/awal masuk Islam.
Peperangan ini berawal dari siang hingga malam, sampai kemenangan diraih oleh Islam dan kaum muslimin. Malam itu, pasukan Romawi berlari dalam kegelapan. Adapun pasukan Romawi yang diikat rantai besi, jika salah seorang dari mereka terjatuh, maka terjatuhlah seluruhnya. Malam itu, Khalid bermalam di kemah Tadzariq, pimpinan tertinggi pasukan Romawi.
Pasukan berkuda berkumpul di sekitar kemah Khalid menunggu tentara Romawi yang lewat untuk dibunuh hingga waktu pagi tiba. Tadzariq pun terbunuh. Telah terbunuh pada hari itu 120.000 lebih pasukan Romawi. Adapun tentara Islam yang gugur di medan perang sebanyak tiga ribu pasukan. Kaum muslimin mendapat harta pampasan yang begitu banyak pada perang ini.
Demikianlah, kejayaan yang diraih oleh umat Islam tatkala mereka kokoh diatas kemurnian ibadah kepada Alloh dan berpegang teguh kepada sunnah (ajaran) Rasul-Nya. Sebagaimana firman Alloh (yang artinya):
“Dan Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal sholih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Wallohu a’lam bish showab.
Dengan demikian maka Islam mesti bergerak di bumi ini untuk menghapuskan realita yang bertentangan dengan proklamasi umum itu, menyampaikan dakwah dan menjalankan gerakan sekaligus. Islam juga harus memberikan pukulan sekaligus terhadap segala macam pukulan pihak penguasa politik yang memaksa umat manusia mengabdikan diri kepada yang lain selain ALLAH., Tuhan Yang Ahad.
Yaitu,
yang memerintah mereka dengan memakai undang-undang dan syariat yang
lain selain undang-undang dan syariat Allah, dan yang menutup umat
manusia dari mendengar dakwah dan menganut akidah dengan aman dan bebas,
tanpa dihalangi oleh kekuasaan apa pun.
Islam
harus tegak dengan sistem sosial, ekonomi dan politik yang menjadikan
gerakan pembebasan itu berjalan lancar dan teratur, setelah hapus
kekuasaan yang menghalanginya, apakah kekuasaan itu berbentuk kekuasaan
politik atau disertai dengan dasar-dasar perkauman, pertentangan kelas
atau lain-lain.
Islam
sama sekali tidak memaksa umat manusia menganut akidah atau
kepercayaannya, tapi perlu diingat bahwa Islam bukan hanya suatu akidah.
Seperti telah kita utarakan sebelumnya, Islam juga suatu proklamasi
umum bagi pembebasan umat manusia dari mengabdikan diri kepada sesama
umat manusia.
Islam
juga mempunyai suatu tujuan pokok untuk menghapus dan mengikis sistem
dan pemerintahan yang berdasarkan penindasan dan pengabdian oleh umat
manusia atas sesama umat manusia. Setelah setiap individu diberi
kebebasan yang sejati untuk memilih sendiri akidah dan pegangan hidup
masing-masing, berdasarkan kehendak dan pilihan sendiri dalam keadaan
kebebasan sepenuhnya, setelah tiada lagi tekanan politik dan ancaman
pihak berkuasa ke mereka, setelah ruh dan jiwa mereka mendapat sinar
penerangan yang secukupnya mengenai Islam dan lain-lain agama dan
pegangan hidup.
Kebebasan
itu tidak pula berarti bahwa mereka bebas untuk bertuhankan hawa nafsu
dan mereka merelakan diri untuk mengabdikan diri kepada sesama umat
manusia, atau untuk menjadikan sesama umat manusia sebagai Tuhan yang
dipatuhi segala suruhan dan larangannya, atau juga untuk mengabdikan
diri kepada Tuhan yang lain daripada Allah saja.
Sesungguhnya
sistem yang memerintah umat manusia di muka bumi ini hendaklah
berdasarkan pengabdian diri umat manusia kepada Allah SWT. Yaitu dengan
cara menerima undang-undang dan syariat Allah saja, di mana setiap
individu mesti menerima arahan dan perintah Allah. Sesudah itu, bolehlah
setiap individu menganut akidah apa pun yang mereka suka.
Dengan
demikian, barulah agama itu menjadi kepunyaan Allah saja, sebab
perkataan agama atau “addin” itu sendiri sebenarnya mengandung
pengertian yang lebih luas daripada perkataan akidah. Addin ialah
peraturan hidup dan undang-undang yang menguasai sendi-sendi kehidupan
dan ia mesti berdasarkan akidah.
Di dalam Islam perkataan “ad-diin” mencakup pengertian yang lebih luas daripada “akidah”. Dalam Islam, sebuah organisasi atau masyarakat bisa tunduk kepada program dan panduan umum Islam yang berasaskan pengabdian diri kepada Allah saja, walaupun ada unit-unit tertentu di dalam masyarakat itu yang tidak menganut akidah Islam.
Orang-orang
yang mengerti akan tabiat agama ini (Islam) - mengikut cara yang telah
diuraikan tadi - akan mengerti dan faham tentang betapa penting dan
perlunya sebuah organisasi yang aktif dan dinamis yang dibawa oleh Islam
dalam bentuk perjuangan dengan menggunakan kekuatan senjata di medan
perang, di samping perjuangan di medan penerangan (dakwah).
Mereka
juga tentu mengerti dan faham bahwa perjuangan Islam itu bukanlah suatu
perjuangan untuk mempertahankan diri saja, menurut pengertian yang
sempit, seperti yang dimaksudkan oleh orang-orang yang frustasi
berhadapan dengan tekanan yang kononnya realita, atau dengan serangan
dan kecaman kaum orientalis yang bermaksud hendak menggambarkan bahwa
gerakan jihad di dalam Islam semata-mata suatu gerakan mempertahankan
diri saja.
Seandainya
gerakan jihad Islam itu terpaksa dinamakan sebagai “gerakan
mempertahankan diri” maka kita perlu mengubah pengertian perkataan
“bertahan” atau “pertahanan”. Kita mesti menganggapnya sebagai “pertahanan terhadap manusia”
itu terdiri dari segala sebab yang menghalangi kebebasannya, baik yang
berbentuk konsep atau cara berfikir, atau yang berbentuk susunan ekonomi
atau pertentangan kelas yang telah kokoh. Islam datang dan terus wujud
dalam beraneka bentuknya di zaman jahiliyah modern ini.
Dengan meluaskan pengertian kata “pertahanan”,
kita bisa memahami hakikat gerakan Islam di BUMI ini dengan cara
berjihad dan kita bisa mengerti hakikat Islam itu sendiri sebagai suatu
proklamasi umum yang terbuka ke arah pembebasan umat manusia dari
mengabdikan diri kepada sesama manusia dan dari mempertuhankan sesama
umat manusia kepada pengakuan ketuhanan serta kekuasaan Allah untuk
seluruh alam ini, menghancurkan kekuasaan hawa nafsu manusia di muka
bumi ini.
Adapun usaha untuk menyempitkan pengertian jihad Islam dan menyebutnya sebagai gerakan “bertahan” mengikuti
pengertian zaman modern ini, juga usaha untuk mencari alasan untuk
memperkecil peristiwa-peristiwa jihad di dalam Islam. Bahwa, jihad
semata-mata untuk menentang ancaman kekuatan luar terhadap negeri Islam,
yang oleh sebagian orang dipandang bahwa negeri Islam ialah Semenanjung
Arab saja, maka usaha itu adalah merupakan suatu usaha yang berawal
dari kurang pengertian mengenai tabiat agama ini dan tabiat peranannya
dalam seluruh masalah di muka bumi ini, seperti juga usaha itu menekan
sikap menyerah berhadapan dengan realita zaman modern dan kecaman pada
orientalis terhadap pengertian jihad Islam.
Cobalah
anda lihat dan fikir, seandainya Abu Bakar, Umar dan Usman r.a. merasa
bahwa Semenanjung Arab itu selamat dari ancaman permusuhan dari kerajaan
Romawi dan Parsi, adakah mereka berdiam diri saja tanpa menjalankan
gerakan meluaskan pengaruh agama ini ke seluruh pelosok dunia?
Lihatlah
lagi bagaimana mereka telah menyebarkan agama ini, sedangkan halangan
dan rintangan begitu hebat menghalangi mereka, baik yang berbentuk
sistem pemerintahan, sosial dan ekonomi, dengan dilindungi dan dikawal
oleh negara-negara raksasa.
Adalah
suatu kebodohan bahwa dakwah yang memproklamirkan kebebasan manusia
untuk semua manusia di muka “bumi” dan negeri di dunia ini, kemudian
hanya berdiri tegak menghadapi rintangan dan halangan dengan hanya
bersenjatakan lidah dan pena saja!
Sesungguhnya
dakwah ini berjuang melalui penerangan secara lisan dan pena saja
ketika ia bebas berbicara dan berdialog dengan setiap orang dalam
suasana penuh kebebasan dan kemerdekaan, tanpa dihalangi oleh apa pun.
Ketika itulah baru dianggap berlakunya perintah dan dasar “tiada paksaan dalam beragama" ( لااكراه في الدبن ). Tapi,
bila ada halangan, maka hendaklah terlebih dahulu halangan itu
dihapuskan dengan kekerasan dan paksaan, supaya dakwah bisa mengetuk
pintu hati dan fikiran umat manusia dengan bebas, tanpa gangguan.
Jihad adalah syarat utama bagi perjalanan dakwah ini, karena tujuannya memproklamirkan kebebasan umum umat manusia hingga ia mampu menghadapi realita dari segenap segi. Ia tidak cukup dengan hanya memberi penerangan dan penjelasan seputar filsafat saja, sementara tanah air Islam, atau mengikuti istilah Islam yang sebenarnya “Negara Islam” (Darul-Islam) itu terancam oleh kekuatan negara asing.
Ketika
Islam mencari perdamaian, maka yang dicarinya bukan sejenis perdamaian
yang rendah mutu dan nilainya, yaitu semata-mata hendak mengamankan
secuil tanah, yang didiami oleh kaum muslimin. Yang dikehendaki Islam
ialah perdamaian yang menjamin bahwa kepatuhan umat manusia itu tertumpu
sepenuhnya kepada Allah saja, dengan pengertian bahwa ketundukan dan
kepatuhan umat manusia itu tertumpu dan tertumpah kepada Allah saja,
baik soal ibadat maupun urusan hidup di dunia, tidak boleh sedikit pun
tersisa pengabdian oleh manusia terhadap sesama manusia.
Penentuan
sukses atau gagalnya jihad Islam itu tidak boleh dilihat dari putaran
pertama, putaran pertengahan atau putaran akhir dari sesuatu perjuangan.
Melainkan, dilihat dari sejauh mana dampak jihad terhadap kedudukan
orang-orang kafir di dalam sesuatu negara; apakah dapat dijadikan
seperti kedudukan mereka sebagaimana yang digambarkan oleh Imam Ibnul-Qayyim di dalam kitabnya "Zaadul-Maad" dengan arti bahwa akhirnya manusia itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu golongan orang Islam, golongan dzimmi dan golongan harbi yang
senantiasa bimbang dan takut kepada orang Islam dan pemerintah Islam.
Itulah indakator jika Jihad Islam berjalan di atas landasan yang
sebenarnya. Tapi sekiranya kedudukan orang-orang kafir terus menerus
dengan kufurnya, tanpa keraguan apa pun; maka nyatalah jihad Islam itu
gagal.
Inilah
dia sikap penuh nalar dari agama ini. Bukan seperti yang difahamkan
oleh orang yang keliru dan frustasi dalam menghadapi realita zaman
sekarang dan dalam menghadapi para orientalis yang penuh kelicikan itu.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah menghindarkan orang-orang Mekah dan di zaman permulaan hijrah ke
Madinah dari kewajiban berjihad. Umat Islam diperintah supaya “genggam
tangan kamu dan dirikanlah sembahyang”". Setelah itu baru mereka
diizinkan berperang, dengan perintah wahyu:
- “Diizinkan kepada orang-orang Islam yang dimusuhi itu untuk berperang karena mereka telah dizalimi, dan sesungguhnya Allah Maha Berkuasa untuk menolong dan memberi kemenangan kepada mereka. [Yaitu] orang-orang yang telah diusir keluar dari negeri dan kampung halaman mereka dengan cara yang tidak benar, melainkan [semata-mata] disebabkan mereka berkata [menegaskan pendirian mereka “Allah Tuhan Kami”. Dan kalaulah bukan karena Allah membuat perimbangan di antara manusia niscaya runtuhlah tempat-tempat pertapaan gereja, tempat-tempat sembahyang [Yahudi] dan juga masjid-masjid tempat nama Allah disebut orang di dalamnya; dan Allah pasti akan menolong siapa saja [individu dan umat] yang menolong menegakkan agamanya, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuat [Berkuasa] dan Maha Mulia, yaitu orang-orang [individu dan umat Islam] yang bila Kami beri keteguhan kepada mereka [beri kekuasaan dan kedudukan yang baik] niscaya mereka menegakkan sembahyang dan membayar zakat, juga mereka memerintah dengan maaruf [dengan berpandu kepada ajaran Allah] dan mereka mencegah kemungkaran [sesuatu yang berlawan dengan perintah Allah] dan kepunyaan Allah jualah kesudahan segala masalah.” (Al-Haj: 39-41)
Kemudian
mereka diperintah memerangi orang-orang dan atau golongan yang
memerangi mereka terlebih dahulu dan dilarang memerangi orang atau
golongan yang tidak memerangi mereka.
Firman Allah:
- “Dan hendaklah kamu sekalian berperang di jalan Allah [melawan] golongan dan orang yang memerangi kamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 19)
Kemudian baru mereka diperintah memerangi seluruh orang musyrik, melalui Firman:
- “Maka hendaklah kamu sekalian memerangi kaum musyrikin seluruhnya seperti mereka memerangi kamu seluruhnya.” (QS At-taubah: 36)
Mereka juga telah diberi peringatan:
- “Hendaklah
kamu sekalian memerangi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
hari akhirat, dan orang-orang yang tidak mengharamkan apa yang Allah
dan Rasul-Nya telah haramkan, dan tidak beragama dengan agama yang
benar, yaitu dari golongan ahli kitab [Yahudi dan Kristen], sehingga
mereka membayar jizyah dengan keadaan taat dan merendah diri.” (QS At-Taubah: 29)
Jadi,
berperang itu menurut pendapat Imam Ibnul-Qayyim pada awalnya dilarang,
kemudian dibenarkan, kemudian disuruh lakukan terhadap individu dan
golongan yang memulai peperangan itu, kemudian diperintah supaya perang
itu dilakukan ke atas seluruh orang musyrikin.
Ketegasan nash-nash Al-Quran yang diturunkan mengenai masalah jihad dan perjuangan, dan ketegasan hadis Nabi yang penuh berisi rangsangan untuk berperang dan juga ketegasan peristiwa-peristiwa dan bukti sejarah dari kejadian dan keadaan di zaman kebangkitan Islam dahulu sesungguhnya nas dan bukti yang begitu terang dan nyata itu mestinya menyekat otak dan fikiran kita dari menerima penafsiran ala orang yang frustasi dalam menghadapi tekanan realita zaman kini dan juga dalam menghadapi kecaman para orientalis mengenai pengertian jihad di dalam Islam.
Siapakah
gerangan di kalangan orang yang mengenal Allah dan Rasul-Nya dan
mendengar perintah-Nya mengenai hal ini, dan orang yang mengikuti jejak
perjuangan Islam di dalam masalah jihad di dalam Islam yang sampai hati
menganggap bahwa perintah jihad di dalam Islam merupakan perkara
sampingan saja, yang hanya berlaku dalam suasana tertentu saja untuk
sekadar menjaga keselamatan negeri saja?
Sesungguhnya
Allah SWT telah menerangkan kepada orang-orang beriman melalui ayat
yang sudah jelas untuk memberi lampu hijau bagi melakukan perang, bahwa
perkara yang selalu berlaku di dalam hidup di dunia ini ialah bahwa
Allah senantiasa menjaga perimbangan antara sesama golongan umat manusia
itu sendiri supaya terhindarlah kerusakan di bumi ini (Al-Haj: 39-40)
yang telah diuraikan tadi.
Sebenarnya larangan berperang di zaman Mekah itu tidak lain dari suatu tahapan zaman dalam perjuangan yang panjang. Demikian juga dengan larangan berperang di zaman permulaan hijrah. Motif yang mendorong masyarakat Islam di Madinah selepas itu untuk bertindak dengan tujuan untuk mengamankan Madinah saja.
Memanglah
itu menjadi tujuan utama yang tak dapat dihindarkan lagi; tetapi
tindakan itu mempunyai tujuan dasar bagi menjamin lancarnya tindakan itu
yang akan mengamankan markas pergerakan; pergerakan untuk pembebasan
umat manusia dan menghapuskan “halangan” yang menyekat manusia dari
bergerak bebas dan bertindak mengikuti panduan yang telah digariskan
oleh Islam. Larangan berperang yang dikenakan ke atas orang-orang Islam
di zaman Mekah adalah merupakan suatu perkara yang mudah difahami.
Di Mekah terdapat kebebasan berdakwah. Ditambah pula oleh fakta bahwa sebagai pemimpin
perjuangan ini Rasulullah SAW telah mendapat perlindungan di bawah
kawalan senjata Bani Hasyim. Beliau mendapat perlindungan untuk
berdakwah dan mengetuk pintu hati dan fikiran setiap orang, juga untuk
menghadapi ancaman orang-orang tertentu; juga karena di Mekah tiada
sebarang kuasa politik yang teratur untuk menyekat beliau dari
menjalankan kegiatan dakwah dan menyekat orang dari menutup telinga dan
fikiran ke arah dakwah beliau. Dengan demikian tidak ada sebab, pada
tahapan ini, untuk menggunakan kekuatan, di samping terdapat juga
beberapa faktor lain di peringkat ini.
Boleh
jadi tahapan periode Mekah waktu itu merupakan tahapan periode
pendidikan dan membuat persediaan atau persiapan, di dalam keadaan
masyarakat tertentu, untuk golongan kaum tertentu dan di tengah
lingkungan keadaan yang tertentu pula.
Di
antara tujuan utama pendidikan dan persiapan dalam suasana yang seperti
itu ialah mendidik dan melatih jiwa dan semangat orang Arab supaya
tabah dan sabar menanggung kesusahan serta tahan menderita, supaya
setiap orang terlepas dari kungkungan rasa cinta diri, supaya hati
mereka tidak lagi terikat dengan kebiasaan mencari sesuatu untuk
kepentingan diri sendiri saja.
Untuk
mendidik mereka, diawali dari mengontrol saraf dan perasaan dari terus
melakukan tindakan balas dendam, supaya tingkah laku dan tindak
tanduknya dibuat dengan penuh teliti dan matang. Juga untuk mendidiknya
hidup dalam masyarakat yang teratur yang tidak akan bertindak kecuali
mengikuti garis yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya, walaupun garis
itu bertentangan dengan kepentingan dirinya, dan kebiasaan dan adat
hidupnya. Ini merupakan dasar dalam menyediakan kepribadian masyarakat
Islam yang tunduk di bawah satu pimpinan yang beradab.
Boleh
jadi juga karena dakwah secara aman damai itu lebih berkesan seperti di
dalam masyarakat Quraisy yang terkenal sebagai sebuah masyarakat yang
punya kebanggaan sendiri. Dalam tahapan ini, peperangan akan menyebabkan
timbulnya kekerasan dan kekacauan seperti yang telah mencetuskan perang
DAHIS dan AL GHABRA', pertempuran AL SABUS, bertahun-tahun lamanya, di
mana beberapa suku dan qabilah menjadi musnah hancur. Kekacauan tersebut
masih hangat dan kuat pengaruhnya di dalam ingatan mereka di zaman
permulaan Islam.
Peperangan
di awal dakwah pun akan menjadikan Islam terselewengkan dari suatu
bentuk dakwah dan sebuah agama menjadi suatu pangkal permusuhan dan
perpecahan; sedangkan ia (Islam) itu masih merupakan suatu hal baru.
Boleh
jadi juga yang demikian karena hendak mengelakkan pertumpahan darah
dalam setiap rumahtangga, karena masih belum tampak suatu kekuasaan yang
teratur dan dipatuhi orang, kekuasaan yang benar-benar berkerja
menyiksa dan menganiaya serta menabur fitnah kepada orang-orang Islam.
Kalau pun ada, pelakunya sebenarnya adalah perseorangan saja, pekerjaan
individu yang punya banyak budak dan pengikut.
Dalam
masyarakat seperti ini, peperangan berarti mencetuskan pertumpahan
darah dalam setiap rumahtangga, yang menyebabkan orang bisa salah sangka
dan salah tanggap terhadap Islam, lalu mereka katakan: itulah dia
Islam! Memang tuduhan seperti itu telah dinyatakan orang walaupun
sebenarnya Islam telah mencegah dan melarang perang dalam suasana
seperti itu. Tuduhan seperti itulah yang menjadi modal utama kaum
Quraisy dalam gerakan propaganda mereka menentang Islam di setiap musim
haji. Mereka katakan Muhammad telah memecah belah kaumnya sendiri.
Bayangkan
apa yang terjadi seandainya beliau sendiri pula yang menganjurkan
peperangan total di kalangan masyarakat kecil seperti itu!
Boleh
jadi juga karena Allah Maha Mengetahui bahwa banyak orang yang jahat,
keras hati dan suka mengganggu orang Islam di generasi pertama, yaitu
orang yang mula-mula menganut agama Islam di hari-hari pertama
pelantikan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah, dengan tujuan memaksa
mereka keluar murtad dari agama Islam dan kembali kepada agama syirik.
Gangguan
ini dilakukan dengan bermacam cara, dengan teror dan siksaan, tapi
ternyata kemudiannya, orang-orang itu sendiri pula menjadi tokoh penting
dalam perjuangan agama Islam, malah ada pula yang menjadi pemimpin
agung agama Islam. Bukankah Sayidina Umar bin AI Khattab salah seorang
dari golongan ini?
Mungkin
juga hal ini disebabkan oleh pengaruh sentimen kesukuan Arab dalam
sebuah masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh adat bersuku dan
berkabilah. Dalam masyarakat seperti ini perbuatan menolong dan membantu
orang teraniaya dan dalam kesusahan, adalah suatu perbuatan yang
lumrah; apalagi kalau penganiayaan itu terjadi pada orang yang dihormati
dan disegani.
Banyak peristiwa yang membuktikan kebenaran pandangan ini. Sebagai contoh: Ibnu Daghnah tidak rela membiarkan Sayidina Abu Bakar,
seorang hartawan yang disegani, keluar berhijrah ke Madinah dan
meninggalkan kota Mekah. Dalam anggapan beliau, berhijrahnya orang
seperti Sayidina Abu Bakar adalah berarti aib besar bagi orang Arab
seluruhnya. Oleh karena itulah beliau telah datang meminta kesudian
Sayidina Abu Bakar menjadi tetangganya, dengan janji bahwa beliau akan
memberikan perlindungan kepadanya.
Di
antara peristiwa terakhir yang membenarkan pendapat ini ialah usaha
memecahkan kepungan (blokade) terhadap Bani Hasyim dan dikoyaknya surat
pernyataan boikot ke Bani Hasyim dari
golongan Abu Talib setelah sekian lama mereka menderita lapar dan
susah; sedangkan di dalam sebagian masyarakat “beradab” zaman dahulu
yang biasa menentang penindasan, selalu saja bersikap masa bodoh
terhadap kesusahan seperti itu. Sikap seperti ini bisa dianggap sebagai
suatu sikap yang tercela dan berarti menghormati orang-orang zalim.
Boleh
jadi juga karena sangat kecilnya jumlah orang-orang Islam ketika itu,
sebab mereka hidup terkepung dalam kawasan di sekitar Mekah saja, karena
dakwah Islamiyah belum sampai ke pelosok lain dan masih belum begitu
didengar orang. Suku-suku lain tidak mau campur tangan di dalam urusan
yang mereka pandang sebagai pertikaian dalam kalangan internal keluarga
suku Quraisy, sehingga pertikaian itu selesai.
Seandainya
peperangan diizinkan dalam suasana seperti ini, maka ia akan
berkesudahan dengan tragedi penyembelihan massal terhadap orang-orang
Islam yang terlalu kecil bilangannya itu; walaupun mereka akan melawan
serangan itu. Ini akan mengakibatkan musnahnya umat Islam dan
menyebabkan ia sukar untuk berkembang, sedangkan Islam itu sendiri
adalah suatu panduan hidup untuk seluruh umat manusia.
Demikianlah seterusnya .....
Adapun
di Madinah - zaman permulaan hijrah - maka sesungguhnya perjanjian yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan orang Yahudi dan kaum musyrik
Madinah dan kawasan-kawasan sekitarnya (terkenal dalam sejarah Islam
sebagai PIAGAM MADINAH, sebagai tanda terbentangnya sebuah negara modern
di Madinah, (negara yang memenuhi syarat-syarat bernegara mengikut
istilah ilmu kenegaraan di zaman modern ini), adalah merupakan suatu hal
yang sangat sesuai dengan situasi dan kondisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar