Senin, 11 Juni 2012

Perbahasan Bila Al Quran Dikumpulkan

 

Perbahasan Bila Al Quran Dikumpulkan


Beragam Versi  Sunni   TENTANG  Pengumpulan AL QURAN :
Tentang siapa yang mempunyai ide pengumpulan pertama ini dan pelaksananya juga ada beberapa laporan yang berbeda-beda.
1). Versi Pertama :
Ide pengumpulan berasal dari Umar
Versi ini yang paling umum diterima dimana menyebutkan bahwa ide pengumpulan adalah berasal dari Umar yang dia sampaikan kepada Abu Bakar.
Dikutip dari :
Bukhari, Volume 006, Buku 061, Hadis nomor 509
Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata : Abu Bakar memberitahukan kepadaku tentang orang yang gugur dalam pertempuran Yamamah, sementara Umar berada disisinya. Abu Bakar berkata : “Umar telah datang kepadaku menceritakan bahwa peperangan Yamamah telah mengakibatkan gugurnya banyak penghafal Al-Qur’an, dan Umar khawatir akan berguguran pula para penghafal lainnya dalam peperangan-peperangan lain sehingga mungkin banyak bagian Al-Qur’an akan hilang. Umar minta agar aku memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Lalu aku katakan kepada Umar : Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah
2). Versi Kedua
Ide berasal dari Abu Bakar.Khawatir jika sebagian besar qur’an lenyap bersamaan dengan meninggalnya penghafal, Abu Bakar, khalifah pertama memerintahkan pengumpulan qur’an. Sahabat-sahabat nabi dan penghafal qur’an diminta untuk datang dan menginformasikan apa yang mereka ketahui baik bahan tertulis maupun hafalan. Abu Bakar memerintahkan Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit untuk duduk dimuka pintu masuk masjid di Medina dan menuliskan setiap ayat atau bagian qur’an dimana setidaknya dikuatkan oleh kesaksikan 2 orang. Dalam satu kasus khusus, kesaksian 1 orang dianggap cukup yaitu dalam kasus 2 ayat terakhir dari surah 9 dimana hanya ditemukan pada Abu Khuzaima.
Sumber :
  • Bukhari, Sahih, vol 3 p 392-93
  • Tirmidhi, Sunan, vol 4 p 346-47
  • Abu Bakr al Marwazi, Musnad Abi Bakr al Siddiq, p 97-99, 102-4
  • Ibn Abu Dawud, Kitab al Masahif, p 6-7, 9, 20
  • Ibn al Nadim, Fihrist, p 27
  • al Khatib al Baghdadi, Mudih awham al jam wa l tafrig, vol 1 p 276
  • Bayhaqi, Dalail al Nubuwwa, vol 7 p 149-50
3) Versi Ketiga :
Pengumpulan dilakukan oleh Ali
Ada juga banyak laporan bahwa setelah nabi SAW meninggal, Ali bersumpah untuk tidak keluar dari rumah hingga berhasil mengumpulkan seluruh qur’an dalam satu mushaf. Ali bahkan tidak hadir saat pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti kepemimpinan nabi SAW.
Ikrima melaporkan bahwa Ali bin Abi Thalib tinggal di rumahnya hingga setelah selesai pelantikan Abu Bakar. Dikabarkan bahwa Ali tidak senang dengan terpilihnya Abu Bakar. Maka Abu Bakar kemudian menemui Ali dan berkata, “Apakah engkau tidak senang dengan pelantikanku?” Ali menjawab, Tidak, demi Tuhan!” Abu Bakar bertanya kembali, “Kalau begitu apa yang menyebabkan engkau tidak hadir dalam pelantikanku?” Ali menjawab, “Aku melihat bahwa Al-qur’an telah ditambahkan, sehingga aku bernasar : “Aku tidak akan menggunakan jubahku kecuali untuk sembahyang, hingga aku bisa mengumpulkan Al-Qur’an.” Abu Bakar berkata, “Itu adalah hal yang sangat mulia.”
Sumber :
  • Ibn Sa’d, Kitab al Tabaqat al Kabir, vol 2 p 338
  • Ibn Abi Shayba, vol 6 p 148
  • Yaqubi, Kitab al Tarikh, vol 2 p 135
  • Ibn Abu Dawud, Kitab al Masahif, p 10
  • Ibn al Nadim, Fihrist, p 30
  • Abu Hilal al Askari, vol 1 p 219-20
  • Abu Buaym, vol 1 p 67
  • Ibn Abd al Barr, al Istiab, p 333-34
  • Ibn Juzay, vol 1 p 4
  • Ibn Abi al Hadid, vol 1 p 27
  • Suyuthi, al Itqan fi ulum al Quran, vol 1 p 204, 248
Setelah berhasil menyusun mushafnya, Ali menunjukkannya kepada sahabat-sahabat nabi, namun mereka menolaknya sehingga Ali harus membawanya pulang kembali. Sumber :
  • Sulaym b. Qays al Hilali, Kitab Sulaymn b. Qays, p 72, 108
  • Basair al Darajat, p 193
  • Abu Mansur al Tabrisi, vol 1 p 107, 255-28
  • Ibn Shahrashub, Manaqib Al Abi Talib, vol 2 p 42
  • Yaqubi, Kitab al Tarikh, vol 2 p 135-6
4. Versi Keempat :
Pengumpul pertama adalah Salim
Laporan lainnya menyatakan bahwa orang pertama yang mengumpulkan Qur’an adalah Salim, salah satu pelanggan Abu Hudayfa. Dilaporkan bahwa setelah nabi SAW meninggal, Salim bersumpah untuk tidak menggunakan jubahnya hingga berhasil mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf. Kisah ini sangat mirip dengan kisah Ali diatas, hanya beda subyeknya saja. Salim kemudian meninggal di pertempuran Yamama.
Sumber: Suyuthi, al Itqan fi ulum al Quran, vol 1 p 205,
mengutip dari Ibn Ashta Kitab al Masahif
5) Versi Kelima :
Murni oleh Umar – diselesaikan oleh Umar Laporan bersumber dari Noeldeke, Geschichte, halaman 17 yang mengutip dari Yaqubi, Kitab al Tarikh. Laporan menyatakan bahwa Karena Abu Bakar menolak mengumpulkan Al-Qur’an dengan alasan nabi tidak pernah melakukannya, maka Umar mengambil inisiatif sendiri untuk mengumpulkan Al-Qur’an dan menuliskannya sendiri. Kemudian Umar memerintahkan 25 orang Quraish dan 50 orang Anshar untuk menyalinnya dan mengajukannya kepada Said ibn al Ash. Jadi disini tidak ada peran Usman dan Zaid bin Tsabit sama sekali.
6) Versi Keenam:
Ide oleh Umar – Penyelesaian oleh Usman
Akibatnya muncullah laporan lain untuk menyelaraskan pertentangan ini dengan menyebutkan bahwa pengumpulan dilakukan oleh khalifah Umar, namun beliau meninggal sebelum pengumpulan selesai. Tugas ini kemudian dilanjutkan oleh Usman yang berhasil mengumpulkan quran yang resmi dalam satu mushaf.
Dikutip dari:
Abu Hilal al Askari, vol 1 p 219Umar ibn Khattab memutuskan mengumpulkan Al-Qur’an. Ia berdiri ditengah manusia dan berkata : “Barang siapa yang menerima bagian Al-Qur’an apapun langsung dari Rasulullah, bawalah kepada kami.” Mereka telah menulis yang mereka dengar (dari Rasulullah) di atas lembaran-lembaran, luh-luh dan pelepah-pelepah kurma. Umar tidak menerima sesuatupun dari seseorang hingga dua orang menyaksikan (kebenarannya). Tetapi ia terbunuh ketika tengah melakukan pengumpulannya. Usman bin Affan bangkit (melanjutkannya) dan berkata : “Barang siapa memiliki sesuatu dari Kitab Allah, bawalah kepada kami ……….
7). Versi Ketujuh:
Ide pengumpulan oleh Usman
Namun, beberapa laporan menolak pendapat bahwa telah ada perintah resmi pengumpulan quran sebelum masa khalifah Usman. Pengumpulan dilakukan oleh khalifah Usman. Jadi dalam hal ini sama sekali tidak ada peran dari Abu Bakar dan Umar dalam proses pengumpulan Al-qur’an
Sumber :
  • Ibn Asakir, Biography of Uthman, p 170
  • Zarkashi, al Burhan fi ulum al Quran, vol 1 p 241
Laporan ini diperkuat dengan beberapa kesaksian dari komunitas muslim awal.
Sumber :
  • Zarkashi, al Burhan fi ulum al Quran, vol 1 p 235
  • Suyuthi, al Itqan fi ulum al Quran, vol1 p 211
  • Ibn Asakir, Biography of Uthman, p 243-46
Jadi setidaknya ada 7 versi pengumpulan pertama Al-Qur’an dan ke 4 khalifah pertama (Abu Bakar, Umar bin Khathab, Usman bin Affan dan Ali) semuanya mendapat bagian untuk diceritakan sebagai pengumpul Al-Qur’an yang pertama.
===================================================================================
JAWABAN  PiHAK  SYi’AH  :

QUR’AN Saat Nabi Muhammad Meninggal   Sudah Dikumpulkan
Namun laporan SUNNi  ternyata berseberangan dengan beberapa laporan yang mengindikasikan bahwa nabi SAW telah mengumpulkan satu quran selama hidupnya. Kemungkinan terbesar adalah saat tahun-tahun awalnya di Madinah
Sumber :
  • Zarkashi, al Burhan fi ulum al Quran, vol 1 p 235, 237-38, 256, 258
  • Suyuti, al Itqan fi ulum al Quran, vol 1 p 212-13, 216
Bahkan disebutkan nabi SAW sendiri yang memberitahukan tempat penyimpanan qur’an kepada Ali. Dikutip dari :
Az-Sanjani, Tarikh, p 66
Diriwayatkan bahwa nabi SAW pernah berkata kepada Ali : “Hai Ali, al-Qur’an ada dibelakang tempat tidurku, (tertulis) di atas suhuf, sutera dan kertas. Ambil dan kumpulkanlah. ……… Ali menuju ketempat itu dan membungkus bahan-bahan tersebut dengan kain berwarna kuning
Pencatatan AL-QUR’AN
Dikisahkan pencatat-pencatat wahyu biasa mencatat dengan cepat ayat-ayat segera setelah nabi SAW menerima wahyu dan mendiktekannya. Yang lain biasa menghafalkannya, dan ada juga yang mencatat di bahan-bahan yang seadanya yang tersedia. Pakar-pakar yang mendukung pandangan bahwa qur’an belum dikumpulkan beralasan karena saat itu nabi SAW masih hidup sehingga selalu ada kemungkinan ayat-ayat tambahan, ayat-ayat yang dihapuskan, penempatan ayat-ayat yang dirubah.
Alasan ini terasa sangat janggal. Al-Qur’an diturunkan dalam unit-unit wahyu yang jumlahnya hanya beberapa ayat setiap turun (ada yang berpendapat setiap turun 5 ayat, 10 ayat dll) dan isinya tentang satu permasalahan tertentu, sehingga :
  • Kalau ada penambahan ayat tidaklah mungkin akan ditambahkan diantara satu unit wahyu karena itu akan sangat mengacak kontinuitas pesan dalam 1 unit wahyu tersebut.
  • Kalau toh ada ayat yang dibatalkan / dihapuskan tidaklah mungkin akan menghapus misalkan 2 ayat saja dari 1 unit wahyu / pesan yang terdiri dari misalkan 5 ayat karena akan sangat merusak pesan yang akan disampaikan. Namun kalau toh ini terjadi, sebetulnya juga tidak ada masalah karena nabi SAW cukup menyuruh mencoret saja ayat –ayat yang dihapuskan tersebut.
  • Kalau toh ada ayat yang dipindah tempat tidaklah mungkin memindah 1 atau 2 ayat saja dari 1 unit wahyu yang berisi pesan tertentu. Tidak masuk akal jika orang membaca 1 kesatuan ayat yang misalkan terdiri dari 5 ayat harus melompat sana melompat sini.
Lagipula penulisan Qur’an kan tidak langsung dijilid rapi seperti buku melainkan 1 unit wahyu ditulis dalam gulungan sendiri-sendiri sehingga jika terjadi revisi dapat dilakukan :
  • Jika ada penambahan ayat-ayat, cukup dituliskan dalam gulungan terpisah dan kemudian disisipkan diantara gulungan yang ada ditempat yang ditentukan oleh Allah SWT
  • Jika ada 1 unit wahyu ayat yang dibatalkan cukup diambil saja 1 gulungan unit wahyu tersebut dan dimusnahkan
  • Jika ada ayat-ayat tertentu saja dalam 1 unit wahyu dibatalkan cukup dicoret saja ayat-ayat yang dibatalkan tersebut, Gulungan tetap diposisikan ditempat semula
  • Jika ada 1 unit wahyu yang dipindah tempat tinggal pindahkan saja gulungan yang berisi unit wahyu tersebut ke tempat barunya.
Jadi, sebetulnya Al-Qur’an bisa dibukukan pada saat nabi SAW hidup!
Semua tulisan-tulisan yang ada belum dapat dikatakan mushaf yang lengkap. Banyak orang yang telah menghafalkan sebagian besar qur’an, yang mereka ulang-ulang saat berdoa dan mereka diktekan kepada sahabat-sahabat mereka. Selama nabi masih hidup, tidak diperlukan keberadaan satu kitab.
Sumber :
  • Bayhaqi, Dalail al Nubuwwa, vol 7 p 154
  • Zarkashi, al Burhan fi ulum al Quran, vol 1 p 235, 262
  • Suyutim Al Itqan fi ulum al Quran, vol 1 p 202
  • Ahmad al Naraqi, Manahij al ahkam, p 152
semua bahan-bahan yang diperoleh oleh  PENCATAT  AL QURAN   MASA   NABi   yaitu  Zaid bin Tsabit kemudian dituliskan dalam lembaran kertas atau perkamen namun belum dikumpulkan dalam satu mushaf dan disimpan oleh Abu Bakar.
Sumber :
  • Yaqubi, Kitab al Tarikh, vol 2 p 135
  • Suyuthi, al Itqan fi Ulum al Quran, vol 1 p 185, 207, 208
Kemudian, lembaran-lembaran qur’an ini tidak dipublikasikan kepada umum. Sebagian muslim tetap memiliki qur’an dalam bentuk yang tercerai-berai. Lembaran-lembaran ini tetap dalam pemilikan Abu Bakar dan kemudian Umar. Setelah Umar meninggal suhuf kemudian disimpan oleh Hafsa (putri Umar).
Dikutip dari :
Muqadimah Al-Qur’an, halaman 24
Dengan demikian Al-Qur’an dan seluruhnya telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran dan diikatnya dengan benang, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar. Mushaf ini tetap ditangan Abu Bakar sampai ia meninggal, kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab dan tetap ada di sana selama masa pemerintahannya
.
Kisah pengumpulan kedua ini umumnya diterima secara mayoritas. Kisahnya adalah sebagai berikut.
Dikutip dari :
Sahih Bukhari Volume 6, Buku 61, Nomor 510 :
Dikisahkan oleh Anas bin Malik:
Hudhaifa bin Al-Yaman menghadap Usman. Ia tengah memimpin penduduk Siria dan Irak dalam suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Hudhaifa merasa cemas oleh pertengkaran mereka (penduduk Siria dan Irak) tentang bacaan Al-qur’an. Maka berkatalah Hudhaifa kepada Usman : “Wahai Amir Al-Mu’minin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertikai tentang Kitab (Allah), sebagaimana yang telah terjadi pada umat Yahudi dan Nasrani pada masa lalu.” Kemudian Usman mengirim utusan kepada Hafsa dengan pesan : “Kirimkanlah kepada kami shuhuf yang ada ditanganmu, sehingga bisa diperbanyak serta disalin ke dalam mushaf-mushaf, dan setelah itu akan dikembalikan kepadamu.” Hafsah mengirim shuhufnya kepada Usman. Usman kemudian memerintahkan Zaid bin Thabit, ‘Abdullah bin AzZubair, Said bin Al-As dan ‘AbdurRahman bin Harith bin Hisham untuk menulis ulang manuskrip dengan sempurna. Usman berkata kepada ketiga orang Quraish, “Jika kamu berbeda pendapat dengan Zaid bin Thabit, maka tulislah dalam dialek Quraish karena Qur’an diturunkan dalam dialek tersebut. Mereka melakukannya dan kemudian membuat beberapa copy. Usman mengembalikan mushaf asli kepada Hafsah. Mushaf-mushaf salinan yang ada kemudian dikirim Usman ke setiap provinsi dengan perintah agar seluruh rekaman tertulis al Qur’an yang ada – baik dalam bentuk fragmen atau kodeks – dibakar habis. Zaid bin Thabit berkata, “Satu ayat dari sura Ahzab hilang olehku saat kami mengcopy Qur’an dan aku biasa mendengar Rasulullah membacanya. Maka kami mencari ayat tersebut dan menemukannya pada Khuzaimah bin Thabit Al ansari. Ayat tersebut adalah : “Diantara orang-orang mumin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (33 : 23)
Jadi Usman saat menjabat khalifah meminjam suhuf dari Hafsa dan kemudian menyalinnya dan menjilid dalam satu buku qur’an. Usman membuat beberapa copy dan dikirim ke beberapa daerah Islam dan kemudian memerintahkan pembakaran semua salinan qur’an yang lainnya dimanapun ditemukan.
Sumber :
  • Bukhari, vol 3 p 393-94,
  • Tirmidhi, Sunan, vol 4 p 347-8
  • Abu Bakr al Marwazi, Musnad Abu Bakr al Siddiq, p 99-101
  • Ibn Abi Dawud, Kitab al Masahif, p 18-21
  • Bayhaqi, Dalail al Nubuwwa, vol 7 p 15051
  • Abu Hilal Askari, Kitab al Awail, vol 1 p 218
Sebagian hadits2 shahih assittah, menunjukkan kegiatan pengumpulan al-quran/ telah dikumpulkannya al-quran semasa Nabi saw masih hidup, DAN Atas perintah Nabi saw,… di antaranya:
1) Telah menceritakan kepada kami [Ya'qub bin Ibrahim] Telah menceritakan kepada kami [Husyaim] Telah mengabarkan kepada kami [Abu Bisyr] dari [Sa'id bin Jubair] dari [Ibnu Abbas] radliallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah mengumpulkan Al Muhkam pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aku pun bertanya kepadanya, “Apakah Al Muhkam itu?” ia menjawab, “Yaitu, Al Mufashshal (surat-surat pendek).”
(Shahih Bukhari, Kitab keutamaan quran, hadits no.4648)
2) Telah menceritakan kepada kami [Husyaim] telah mengkabarkan kepada kami [Abu Bisyr] dari [Sa'id bin Jubair] dari [Ibnu Abbas] ia berkata; Aku telah menghimpun al muhkam pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, saat itu aku berumur sepuluh tahun. Lalu aku tanyakan kepadanya. Kata (Sa’id bin Jubair, aku tanyakan; Apa maksud al muhkam? Ibnu Abbas menjawab; Yaitu al mufashshal, yaitu kumpulan surat dari Al Hujurat atau surat Qaf hingga akhir Alquran.
(Musnad Ahmad, Kitab Musnad Bani Hasyim, hadits no.2959)
3) Telah menceritakan kepada kami [Mu'alla bin Asad] Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Al Mutsanna] ia berkata; Telah menceritakan kepadaku [Tsabit Al Bunani] dan [Tsumamah] dari [Anas bin Malik] ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, sementara beliau belum mengumpulkan Al Qur`an kecuali oleh empat orang, yaitu Abu Darda`, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. Ia berkata; Dan kami akan mewarisinya.
(Shahih Bukhari, bab keutamaan quran, hadits no.4620)
4) Telah menceritakan kepada kami [Hafsh bin Umar] Telah menceritakan kepada kami [Hammam] Telah menceritakan kepada kami [Qatadah] ia berkata; Aku bertanya kepada [Anas bin Malik] radliallahu ‘anhu, “Siapakah yang mengumpulkan Al Qur`an pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?” ia menjawab, “Ada empat orang dan semuanya dari kaum Anshar. Yaitu, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” Hadits ini diperkuat oleh [Al Fadllu] dari [Husain bin Waqid] dari [Tsumamah] dari [Anas].
(Shahih Bukhari, Kitab keutamaan quran, hadits no.4619)
5) Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna]; Telah menceritakan kepada kami [Abu Dawud]; Telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dari [Qatadah] dia berkata; “Aku mendengar [Anas] berkata; “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada empat orang sahabat yang bertugas menghimpun Al Qur’an, semuanya dari kalangan Anshar. Yaitu; Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” Qatadah berkata; saya pernah bertanya kepada Anas; ‘Siapakah Abu Zaid itu? Anas menjawab; ‘Ia adalah salah seorang kerabat dari pihak ayah saya.’
(Shahih Muslim. bab. Keutamaan shahabat, hadits no.4507, 4508)
6) Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basyar] telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa'id] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dari [Qatadah] dari [Anas bin Malik] dia berkata; “Al Qur`an telah dikumpulkan oleh empat orang, mereka semua berasal dari Anshar, yaitu; Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” Qatadah berkata; aku bertanya kepada Anas; “Siapakah Abu Zaid?” Anas bin Malik menjawab; “Dia adalah salah satu dari pamanku.” Abu Isa berkata; “Hadits ini adalah hadits hasan shahih.”
(Sunan Tirmidzi, Kitab budi pekerti yg terpuji, hadits no.3727)
7) Telah menceritakan kepada kami [Abdul Wahhab] dari [Sa'id] dari [Qatadah] dari [Anas] berkata; Al Quran dihimpun oleh empat orang, semua dari Ansor: Ubay bin Ka’ab Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.
(Musnad Ahmad, Kitab sisa musnad shahabat yg banyak meriwayatkan hadits hadits no.12959)
8) Telah bercerita kepada kami [Yahya bin Sa'id] dari [Syu'bah] telah bercerita kepada kami [Qatadah] dan telah bercerita kepada kami [Hajjaj] berkata; saya telah mendengar [Syu'bah] menceritakan dari [Anas] berkata; empat orang pengumpul Al qur’an pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semuanya dari Anshar: Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. (Syu’bah Radliyallahu’anhu) bertanya, siapakah Abu Zaid? (Anas bin Malik radliyallahu’anhu) berkata; dia salah satu pamanku.
(Musnad Ahmad, Kitab sisa musnad shahabat yg banyak meriwayatkan hadits, hadits no.13432)
9) Telah bercerita kepadaku [Muhammad bin Basysyar] telah bercerita kepada kami [Yahya] telah bercerita kepada kami [Syu'bah] dari [Qatadah] dari [Anas radliallahu 'anhu]; Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam al-Qur’an dihimpun pula oleh empat orang yang semuanya dari kalangan Anshar. Mereka adalah Ubay, Mu’adz bin Jabal, Abu Zaid dan Zaid bin Tsabit”. Aku bertanya kepada Anas; Siapakah Abu Zaid itu?”. Dia menjawab; “Salah seorang dari paman-pamanku”.
(Shohih Bukhari hadits, Kitab Perilaku budi pekerti yg terpuji, hadits no. 3526)
10) Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ishaq] telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Ayyub] telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Abu Habib] bahwa [Abdurrahman bin Syimamah] ia mengabarkan kepadanya, bahwa [Zaid bin Tsabit] berkata, “Sewaktu kami mengumpulkan Al-Qur’an dari kulit dan kertas bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: ‘Kabar gembira buat Syam, kabar gembira buat Syam.’ Lalu ada yang bertanya, ‘Ada apa dengan Syam? ‘ Beliau bersabda: ‘Para malaikat merentangkan sayap-sayapnya di atasnya.’”
(Musnad Ahmad, Kitab musnad shahabat Anshar, hadits no.20622)
===============================================
Hadits2 di atas ini bertentangan sekali isinya (matannya) dengan hadits2 di bawah yg diriwayatkan Zaid bin Tsabit yg menceritakan bahwa menurut Abu Bakar ra. dan Umar ra, bahwa Nabi saw tidak pernah mengumpulkan al-quran semasa hidupnya.
A) Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Isa'il] dari [Ibrahim bin Sa'd] Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Syihab] …dari [Ubaid bin As Sabbaq] bahwa [Zaid bin Tsabit] radliallahu ‘anhu, ia berkata; Abu Bakar mengirim para korban perang Yamamah kepadaku, dan ternyata Umar bin Al Khaththab ada di sisinya. Abu Bakar radliallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Umar mendatangiku dan berkata, ‘Mayoritas korban perang Yamamah adalah para penghafal Al Qur`an. Dengan gugurnya mayoritas penghafal Al Qur`an, maka aku khawatir sebagian besar Al Qur`an juga akan hilang. Maka aku berpendapat, sebaiknya Anda segera memerintahkan guna melakukan dokumentasi alquran.’ Maka aku pun bertanya kepada Umar, ‘Bagaimana kamu akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? ‘ Umar menjawab, ‘Perkara ini, demi Allah adalah ide yang baik.’ Umar selalu membujukku hingga Allah memberikan kelapangan dadaku, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.” Zaid berkata; Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya kamu adalah seorang pemuda yang cerdas, kami sama sekali tidak curiga sedikit pun padamu. Dan sungguh, kamulah yang telah menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, telusurilah Al Qur`an dan kumpulkanlah.” Zaid berkata, “Demi Allah, sekiranya mereka memerintahkanku untuk memindahkan gunung, niscaya hal itu tidaklah lebih berat daripada apa yang mereka perintahkan padaku, yakni dokumentasi alquran.” Zaid bertanya, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” Ia menjawab, “Demi Allah, itu adalah kebaikan.” Abu Bakar terus membujukku, hinnga Allah pun memberikan kelapangan dadaku, sebagaimana Abu Bakar dan Umar radliallahu ‘anhuma. Maka aku pun mulai menelusuri Al Qur`an, mengumpulkannya dari tulang-tulang, kulit-kulit dan dari hafalan para Qari`. Dan akhirnya aku pun mendapatkan bagian akhir dari surat At Taubah bersama Abu Khuzaimah Al Anshari, yang aku tidak mendapatkannya pada seorang pun selainnya. Yakni ayat: ‘Sungguh, telah datang pada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, yang sangat berat olehnya kesulitan yang menimpa kalian..’” hingga akhir surat Al Bara`ah. Lembaran-lembaran Al Qur`an itu pun tetap tersimpan pada Abu Bakar hingga Allah mewafatkannya. Kemudian beralih kepada Umar semasa hidupnya, lalu berpindah lagi ke tangan Hafshah binti Umar radliallahu ‘anh
(shohih Bukhari , kitab tafsir quran hadits no.4311, Kitab Hukum2 hadist no.6654, Kitab keutamaan al-quran hadits no.4603; Musnad Ahmad, kitab musnad shahabat anshar hadits no.20657; Sunan Tirmidzi , Kitab tafsir qur’an hadits no.3028)
Pengumpulan dan penyusunan Al Quran dalam bentuk yang ada pada kita sekarang bukanlah terjadi dalam masa yang singkat, tetapi terjadi dalam tempoh beberapa tahun di atas usaha beberapa orang dan kumpulan.Urutan, susunan dan jumlah ayat bagi setiap surah sebenarnya sudahpun ditetapkan di zaman Rasulullah(sawa) lagi. Oleh kerana itu, bacaan Al Quran perlulah di baca sesuai dengan turutan yang telah ditetapkan.
Setiap surah, diawali dengan turunnya Bismillahirrahmanirrahim, kemudian ayat-ayat yang diturunkan dicantumkan sesuai dengan urutan turunnya. Susunan ini adalah alami, yakni sesuai urutan turunnya. Kadangkala pernah terjadi bahawa Rasulullah(sawa) dibawah bimbingan Jiril, memerintahkan sebuah ayat diletakkan di surah yang berbeza, tidak sesuai dengan susunan alami, contohnya seperti:
“Dan jagalah dirimu dari hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah swt, kemudian diri masing-masing akan diberi balasan yang sempurna atas apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak teraniaya.”
Menurut riwayat, ayat ini adalah salah satu ayat terakhir yang diturunkan. Namun Rasulullah sawa telah memerintahkan agar ayat ini dicantumkan di antara ayat-ayat riba dan hutang dalam surah Al Baqarah ayat 281.
Oleh kerana itu, penyusunan ayat-ayat dalam surah-surah Al Quran yang tersusun secara alami atau atas dasar perintah Nabi(sawa) adalah tauqifi(berdasarkan perintah Allah swt) melalui pengawasan dan perintah Rasulullah sendiri dan susunan tersebut harus diikuti.
Namun para Ulama berbeza pendapat tentang susunan dan urutan surah-surah Al Quran. Sayyid Murtadha Alamul Huda, ulama kontemperer Ayatollah Khui, dan para peneliti berpendapat bahawa Al Quran yang ada sekarang tersusun sejak zaman Rasulullah(sawa) masih hidup. Alasannya adalah pada masa itu ada ramai orang yang menghafal Quran. Sangat mustahil Rasulullah(sawa) mengabaikan masalah penting ini, hingga penyusunannya terpaksa dilakukan setelah Rasulullah wafat.
Di kalangan ulama lain, ada yang menganggap pendapat ini tidak dapat diterima. Alasannya adalah kerana orang-orang yang menghafal dan mengumpulkan ayat Quran pada saat itu, tidak mempercayai bahawa ayat-ayat yang tersusun dalam Quran adalah tersusun secara rapi.
Adanya penghafal dan pencatat al Quran yang diturunkan pada masa itu bukan menunjukkan ketersusunan seperti sekarang ini. Pembahagian surah-surah adalah sangat penting agar tidak terjadi kesalahan kedudukan ayat di setiap surah. Tugas penting ini sudah ada sejak dari zaman Rasulullah(sawa), namun susunan mengikut tertib surah antara satu sama lain hingga Quran tidak mungkin terjadi di zaman Rasulullah(sawa). Alasannya ialah, sewaktu Rasulullah masih hidup, akan sentiasa wujud kemungkinan ada wahyu baru diturunkan. Oleh itu, adalah sangat wajar, jika susunan Al Quran di rapikan setelah Rasulullah(sawa) wafat.
Kebanyakan peneliti sejarah yang berhujah berdasarkan riwayat, berpendapat bahawa pengumpulan dan penertiban surah-surah Al Quran terjadi setelah peninggalan Rasulullah(sawa) yang diterajui oleh Ali Ibnu Abi Thalib, kemudian Zaid bin Tsabit dan seterusnya para sahabat mulia yang lainnya.
Imam Ali(as) adalah orang pertama yang sibuk mengumpul dan menyusun Al Quran setelah kewafatan Rasulullah(sawa). Menurut banyak riwayat yang masyhur, selama enam bulan selepas kewafatan Nabi(sawa), beliau menyibukkan diri dalam pengumpulannya di dalam rumah. Ibnu Nadim berkata: “Musyhaf pertama yang terkumpul dengan rapi adalah musyhaf Ali. Musyhaf ini berada di tangan keluarga Jaafar.”
Kemudian beliau menambah, “Aku melihat sebuah musyhaf milik Abi Ya’la Hamzah Hasani tulisan Ali dan di dalam musyhaf itu terdapat beberapa halaman yang hilang. Mushaf ini dijadikan warisan oleh putera-putera Hassan bin Ali.”(Al Itqan, Jilid 1, hal 151)
Muhammad bin Sirrin, menukilkan dari Ikrimah yang berpendapat bahawa di permulaan pemerintahan Abu Bakar, Imam Ali(as) berdiam diri di dalam rumah dan mengumpulkan Al Quran. Muhammad bin Sirrin bertanya kepada Ikrimah, “Apakah tertib dan susunannya sama seperti mushaf-mushaf lainnya? Apakah urutan turunnya surah-surah dan ayat-ayat terpelihara di dalamnya?”
Dia menjawab, “ Seandainya Jin dan Manusia berkumpul untuk mengumpulkan Al Quran seperti Ali, nescaya mereka tidak akan mampu melakukannya.”Ibnu Sirin berkata, “Meskipun saya telah berusaha keras untuk mendapatkan mushaf itu, tetapi saya tidak berhasil mendapatkannya.” (Al Itqan, Jilid 1, hal 155-159)
Ibnu Jazi Kalbi berkata, “Seandainya mushaf itu dapat ditemui, maka banyak sekali ilmu yang dapat diperolehi.” (Al Itqan, Jilid 1, hal 189-190 dan 197)
Ciri Mushaf Ali Bin Abi Thalib
Mushaf Ali bin Abi Thalib mempunyai ciri khusus yang tidak dipunyai oleh mushaf-mushaf lain.
  1. Ayat dan surahnya tersusun rapi mengikut turutan turunnya mengikut kronologi. Dalam mushaf ini, ayat Makkiyah diletakkan sebelum Madaniyah. Mushaf ini sangat menjelaskan perjalanan sejarah turunnya ayat-ayat Quran. Dengan mushaf ini, perjalanan tasyri’i dan hukum-hukum, khususnya masalah nasakh dan mansukh dalam Quran dapat difahami.
  2. Di dalam mushaf ini, tercantum bacaan ayat-ayat Al Quran yang selari dengan cara bacaan Rasulullah(sawa) yang mana merupakan cara bacaan yang paling murni dan tepat. Bermakna, dengan mushaf ini, tidak akan wujud sedikit pun sebab kepada perbezaan cara bacaan Al Quran. Dengan ini, cara untuk memahami kandungan serta penafsiran ayat yang sebenar menjadi sangat mudah. Perkara ini sangat penting sekali mengenangkan banyak perbezaan bacaan Al Quran dapat menyesatkan para Mufassir.
  3. Mushaf ini mempunyai tanzil dan takwil yang menjelaskan peristiwa serta keadaan yang menyebabkan ayat-ayat dan peristiwa di dalam Quran diturunkan. Penjelasan ini diletakkan di tepi mushaf. Penjelasan ini sangat efisien untuk menghilangkan keraguan dan memahami makna-makna Al Quran. Selain Sahabu Nuzul di tepi Mushaf, juga terdapat banyak takwil. Takwil ini adalah penjelasan universal dan komprehensif untuk kes-kes khusus ayat Al Quran agar mudah memahaminya. ‘
    1. Imam Ali(as) berkata: “Sungguh aku telah datang kepada mereka dengan membawa Al Quran yang memiliki tanzil dan takwil.”
    2. Beliau juga berkata, “Tiada satu ayat pun yang diturunkan kepada Rasulullah(sawa) melainkan baginda membacakan dan menerangkannya kepada ku. Kemudian ayat itu aku tulis dengan tanganku. Kemudian bagainda(sawa) juga mengajarkan kepada ku tentang tafsir, takwil, nasikh dan mansukh serta muhkam dan mutasyabih setiap ayat. Seterusnya baginda(sawa) mendoakan ku agar Allah swt menganugerahkan pemahaman dan hafalan kepada ku. Sejak saat itu hingga sekarang tiada satu ayat pun yang aku lupakan dan tidak ada satu pun ilmu pengetahuan yang baginda ajarkan kepadaku hilang.”(Al Fihrist hal 47-48)
    3. Seandainya setelah wafat Rasulullah, mushaf ini digunakan, nescaya pada saat ini, segala permasalahan memahami ayat Quran akan hilang dan diselesaikan.(Thabaqat Ibnu Saad, Jilid 2 hal.101; Al Isti’ab dar Hasyiah al Ishabah, Jilid 2, hal.253, al itqan, jilid 1 hal.57)
Nasib Mushaf Imam Ali Bin Abi Thalib
Sulaim Bin Qais Hilali(w. 90H) salah seorang dari sahabat terdekat Imam Ali meriwayatkan dari Salman Al Farisi bahawa pada saat Imam Ali merasakan dirinya tidak mendapat tempat dan perhatian yang sepatutnya dari masyarakat, beliau memutuskan untuk mendiamkan diri di rumah dan tidak pernah keluar selagi beliau belum menyudahkan penulisan Al Quran, yang sebelumnya beliau tulis di atas kulit kayu, dedaunan dan cebisan kertas yang tidak teratur.
Menurut riwayat al Yaakubi, setelah Imam Ali selesai mengumpulkan Al QUran, beliau meletakkannya di ataspunggung unta dan di bawa ke masjid ketika orang ramai sedang mengelilingi Abu Bakar. Imam Ali(as) berkata kepada mereka:
“Sejak Rasulullah(sawa) wafat, aku sibuk mengumpulkan Al Quran, dan sekarang aku telah membawanya di dalam bungkusan kain ini. Aku telah mengumpulkan semua ayat yang diturunkan kepada Rasulullah sawa. Tiada satu ayat pun yang diturunkan melainkan Rasulullah membacakan untukku dan mengajarkan kepadaku tafsir dan takwilnya. Jangan sampai esok hari kalian mengatakan: “Kami telah lupa hal itu”.(At Tashil li Ulum at Tanzil, Jilid 1, hal 4)
Pada saat itu, salah seorang pemimpin dari kelompok di sana bangkit dari tempatnya melihat apa yang dibawa oleh Imam Ali, kemudian berkata: “Kami tidak memerlukan apa yang kamu bawa. Cukup bagi kami apa yang ada pada kami.”
Imam Ali berkata, “Mulai saat ini, kalian tidak akan melihatnya lagi.” Pada saat itulah beliau masuk ke dalam rumah dan setelah itu tiada lagi yang melihat mushaf itu.
Pada zaman pemerintahan Usman Affan, terjadi perbezaan yang begitu ketara antara mushaf-mushaf sahabat dan orang-orang yang berpihak kepada mereka. Thalhah berkata kepada Imam Ali(as), “Masih ingatkan anda ketiaka menyodorkan mushaf anda kepada orang-orang iru dan mereka menolaknya? Sekarang di mana mushaf itu? Tunjukkanlah mushaf itu, siapa tahu ia dapat menghilangkan segala perbezaan yang terjadi?”
Imam Ali(as) tidak menjawabnya. Thalhah mengulangi pertanyaannya. Ali berkata, “Aku sengaja tidak menjawabnya.” Setelah itu beliau bertanya, “Apakah Al Quran yang ada sekarang di tangan orang-orang ini semuanya asli atau bercampur dengan perkara yang bukan Quran?”
Thalhah kemudiannya menjawab, “Tentu sahaja semuanya adalah Quran .” Imam Ali kemudian melanjutkan, “Jika memang demikian, maka apapun yang kalian ambil dan amalkan, kalian akan beroleh kebahagiaan.”
Thalhah berkata, “Kalau begitu al Quran yang berada di tangan orang-orang ini cukup bagi kami.” Setelah itu beliau tidak berkata apa-apa lagi.”(Muhammad Jawad Balaghi, Ala ar Rahman, Jilid 1, hal.257)
Dengan jawaban ini, motif Imam Ali(as) adalah demi menjaga kesatuan dan keaslian Al Quran kekal terjaga
Telah banyak fitnah dan kepalsuan disebarkan yang mengatas-namakan para pemuka dan tokoh ulama Syi’ah bahwa mereka meyakini dan menyatakan secara tegas terjadinya tahrîf Al Qur’an. Nama-nama pemuka seperti Syeikh Mufid, Faidh al Kâsyâni dll. dimasukkan dalam daftar mereka yang meyakininya…. Sementara pernyataan dan penegasan mereka akan keterjagaan Al Qur’an dari tuduhan tahrîf sangat jelas tanpa ada sedikti pun kesamaran. Akan tetapi para penabur fitnah itu enggan kecuali memutar balikkan pernyataan-pernyataan mereka. Dam kemudian menuduh bahwa demikian sebenarnya akidah Syi’ah tentang Al Qur’an. Ia telah meharraf!
Di bawah ini, saya mengajak Anda membaca langsung pernyataan para tokoh penting dan pemuka ulama Syi’ah, sejak masa Syeikh Shadûq hingga maza kini, dengan harapan dapat dimengerti dengan baik bagaimana akidah Syi’ah tentang kesucian Al Qur’an yang selama ini tak henti-hentinya dihujat dengan mengandalkan fitnah murahan dan membodohi kaum awam.
Di bawah ketarangan para ulama Syi’ah, antara lain:
1. Syaikh Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Al-QummiAl-Qummi dikenal dengan ash Shadûq dan Rais al-Muhadditsîn (w. 381 H).:
إعتقادُنا في القرآن أنَّه كلامُ اللهِ و وحيُه و تنزيلُه و قولُهُ و كتابُهُ، و أنه لا يأتيهِ الباطِلُ من بين يديه ولا من خلفه، تنزيلٌ من حكيمٍ عليمٍ ؛ و أنه القصص الحقُّ، و أنه لقولٌ فصلٌ و ما هو بالهزلِ، و أنه تبارك و تعالى محدثُه و منزله و وربُّه و حافظهو المتكلم به.
إعتقادُنا أَنَّ القرآن الذي أنزلَهُ الله على نبينا (صلى الله عليه و آله و سلم) هُو ما بين الدفَّتين، و هو ما بِأَيدي الناس، ليس بِأَكثر من ذلك. و مبلغ سوره عند الناس مائة و أربع عشر سورةو عندنا أنَّ الضحى و ألم نشرح سورة واحدة، و لايلاف و ألم تر كيف سورة واحدة. و من نَسَبَ إلينا أنَّا نقول أنه أكثر من ذلك فهو كاذبٌ….
“Keyakinan kami tentang Al Qur’an bahwa ia adalah Kalam Allah, wahyu,firman dan kitab suci-Nya. Dan ia tidak sediktipun didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun belakang. Ia adalah diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Ia (Al QUr’an) adalah kisah-kisah yang haq, ia adalah ucapan pelerai, bukan sendau gurau. Dan sesungguhnya Allah Yang Maha Berkah dan Maha Tinggi yang menfirmankan, menurunkan, memelihara dan berbicara dengannya.
Keyakinan kami bahwa Al Qur’an yang diturunkan Allah kepada nabi-Ny; Muhammad saw. adalah apa yang termuat di antara dua sampul (mush-haf), yaitu yang sekarang beredar di kalangan manusia. Tidak lebih dari itu. Jumlah surahnya adalah 114 surah. Dan menurut kami surah Wa adh Dhuhâ dan Alam Nasyrah dihitung satu surah dan surah Li ilâfi dan Alam Tara Kaifa dihitung satu surah. Dan barang siapa menisbahkan kepada kami bahwa kami meyakini bahwa Al Qur’an lebih dari itu maka ia adalah pembohong!
(al I’tiqâdât:93, dicetak dipinggir kitab al Bâb al Hâdi ‘Asyar)
2. Syeikh Mufid (w.413 H):
وَ قَدْ قال جماعَةٌ مِنْ أهل الإمامة: إنَّه لم ينقص من كلمة، ولا آية ، ولا سورة، و لكن حُذِفَ ما كان مثبَتًا في مصحف أمير المؤمنين (عليه السلام) من تَأويليه، و تفسير معانيه على حقيقة تنزيله، و ذلك كان ثابتًا مُنَزَّلاً و إنْ لِمْ يكن من جملةِ كلام الله تعالى الذي هو القرآن المعجِز. و عندي أنَّ هذا أشبهُ من مقال من ادَّعى نُقْصان كلِمٍ من نفسِ القرآن على الحقيقة دون التأويل، إليه أميلٌ، و الله أسأل توفيقه للصواب.
“Telah berkata sekelompok Ahli imamah (Syi’ah): bahwa Al Qur’an tidak berkurang walaupun hanya satu kata, atau satu ayat atau satu surah, akan tetapi (yang) dihapus (adalah) apa-apa yang tetap dalam mush-haf Amirul Mukminin (Ali) as. berupa ta’wîl dan tafsir makna-maknanya sesuai dengan hakikat tanzîlnya. Yang demikian (ta’wîl dan tafsir) adalah tetap, terbukti telah diturunkan (Allah) walaupun ini bukan dari bagian firman Allah sebagai Al Qur’an yang mu’jiz (mu’jizat). Dan menurut saya pendapat ini lebih tepat dari pada pendapat orang yang menganggap adanya pengurangan beberapa firman dari Al Qur’an itu sendiri bukan ta’wîl nya. Dan saya cenderung kepada pendapat ini. Hanya kepada Allah lah saya memohon tawfiq untuk kebenaran.” (Awâil al Maqâlât fî al Madzâhib al Mukhtârât: 55-56).
3. Asy Syarif Al Murtadha (w.436 H):
Dalam bukunya berjudul Al-Masaail Al-Tharablusiyyaat, Al-Murtadha mengatakan, seperti dikutip penulis buku Majma’ Al-Bayân dikatakan:
…أنَّ العلمَ بصحة نقلِ القرآن كالعلم بالبلدتن و الحوادث الكبار و الوقائع العظام و الكتب المشهورة و أشعار العرب المسطورة، فإنََّ العناية اشتدَّت و الدواعي توفَّرت على نقلِهِ و حراسته، و بلغت إلى حدٍّ لِمْ يبلغْه فيما ذكرنا. لأنَّ معجزة النبوة و مأخذ العلوم الشرعية و الأحكام الدينية و علماء المسلمين قد بلغوا في حفظه و حمايته الغاية حتى عرفوا كل شيئ اختلف فيه من إعرابه و قراءته و حروفه و آياته، فكيف يجوز أن يكون مغيرا أو منقوصا مع العناية الصادقة و الضبط الشديد أن القرآن كان على عهد رسولِ اللهِ (ص) مجموعًا مُؤلَّفًا على ما هو عليه الآن… و أنَّ جماعةً من الصحابة مثل عبد الله بن مسعود و أبي بن كعب و غيرهمت قد ختموا القرآن على النبي (ص) عدّة ختمات ، و كل ذلك يدل بأدنى تأمل على أنه كان مجموعًا مرتَّبًا غير مبتورٍ ولا مبثوثٍ…
و أن من خالف من الإمامية الحشوية لا يُعْتَدُّ بخلافهم، فإن الخلاف مضافٌ إلى قومٍ من أصحابِ الحديث نقلوا أخبارًا ضعيفَةً ظنوا صحتها لا يُرجع بمثلها عن المعلوم المقطوع على صحتِهِ.
“Bahwa kadar kepastian akan penukilan Al Qur’an adalah seperti kepastian ilmu bumi dan kejadian-kejadian besar dalam sejarah. Begitu basar perhatian yang telah dicurahkan demi kelestarian dan keutuhannya. Seluruh faktor telah berkumpul menjadi sempurna dan menyatu mendukung terjaganya Al-Quran dari segala macam penyelewengan dengan pengawasan yang ketat. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang dijaga dengan rapi, seperti Al-Quran. Sebab Al-Quran adalah mukjizat kenabian Muhammad saw., sumber segala ilmu dan hukum utama syariat agama (Islam). Para ulama muslimin sendiri telah bersungguh-sungguh dalam menjaga dan melestarikannya sehingga mencapai puncaknya, sampai-sampai mereka mengetahui segala sesuatu yang diperselisihkan di dalamnya untuk diteliti tentang i’rab, nada, cara membacanya, jumlah huruf-huruf dan ayat-ayatnyanya.
Lalu bagaimana mungkin buku yang telah dijaga sedemikian rupa dapat diubah-ubah atau dikurangi dengan mudah. Al-Quran sejak zaman Nabi saw. telah tersusun rapi dalam bentuk yang sempurna, sebagaimana yang ada sekarang….
Dan sesungguhnya sekelompok sahabat telah mengkhatamkan Al Qur’an berulang-ulang di hadapan beliau. Semua itu adalah bukti –dengah sedikit merenung- bahwa Al Qur’an sejak ,masa Nabi telah terkumpul dan tersusun rapi, tidak terpotong-potong dan tercecer….
Dan sesiapa di antara Syi’ah Imamiyah dan Al Hasyawiyah/di sekelompok dari Ahlus-Sunnah yang menolak kenyataan itu tidak perlu diperhatikan. Sebab perselisihan dalam masalah ini selain hanya disandarkan kepada sekelmpok dari Ahli Hadis yang menukil khabar-khabar (riwayat) yang lemah yang mereka sangka shahih,ia juga tidak dapat dirujuk dalam masalah-masalah keyakinan dengan meninggalkan yang diketahui secara pasti kebenarannya.” (Majma’ al Bayân,1/15).
Setelah penegasan di atas masihkah kita tertipu dengan fitnah murahan kaum Wahhabi dan penabur fitnah di dunia Islam!
Ikuti terus ketarangan para tokoh dan pemuka Syi’ah lainnya dalam bagian selanjutnya.
Di antara isu yang menggelinding bersama dengan maraknya tuduhan tahrîf Al Qur’an atas Syi’ah  adalah tuduhan bahwa Tsiqatul Islam al Kulain (rahmatullah ‘alaih) meyakini adanya Tahrîf pada Al Qur’an.
Para penulis Wahhâbi, seperti Ihsân Ilâhi Dzahîr, Ahmad Mâlullah, Abdurrahman az Zar’i dll. dan segaian kawan-kawan Ahlusunnah yan terinfeksi “virus Wahabisme” begitu bersemangat menyuarakan tuduhan itu.
Asal muasal tuduhan itu diambil dari segelintir ulama Syi’ah dari kelompok al Akhbâriyyûn.[1]
Syeikh Ni’matullah al Jazâiri (salah seorang tokoh kelompok al Akhbâriyyûn) dan juga Syeikh Nuri ath Thabarsi (salah seorang tokoh kelompok al Akhbâriyyûn dan pengagum berat al Jazâiri) mengklaim bahwa al Kulaini adalah di antara ulama Syi’ah yang meyakini adanya Tahrîf !
Munculnya klaim adanya Tahrîf di kalangan kelompok al Akhbâriyyûn ini diprakarsai oleh Syeikh Ni’matullah al Jazâiri (1050-1112 H) kemudian direspon oleh Syeikh Nuri (1254-1320 H) dalam kitab Fashlu al Khithâb.
Tahrîr Mahalli an Nizâ’
Demi terarahnya pembahasan dan diskusi tentang masalah apapun yang hendak dibicarakan, adalah sebuah kewajiban bagi setiap pengkaji untuk menetapkan tema yang handak dibahas, agar pembahasan tidak melenceng dan keluar dari jalur dan tema sesungguhnya. Itulah yang disebut oleh para ulama dengan tahrîr mahalli an nizâ /memastikan tema apa yang sedang dipersengkatakan.
Dalam masalah kita ini, kita harus menetapkan terlebih dahulu apa yang kita maksud dengan tahrîf? Agar menjadi jelas apa yang sedang kita maksud dengan kata tersebut, sebab bisa jadi ia memiliki beberapa asumsi makna.
Dalam hal ini, secara ringkas, ingin saya katakan bahwa kata tahrîf dapat difahami dalam dua makna:
1- Tahrîf Ma’nawi.
2- Tahrîf Lafdzi.
Yang dimaksud dengan tahrîf ma’nawi ialah penafsiran dan pemaknaan yang keliru terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang menyimpang dari makna sebenarnya.
Tentu, tahrîf dalam pengertian ini benar-benar telah dialami oleh Al Qur’an! Betapa banyak penafsiran yang menyimpang dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah SWT. Dzat Pemfirmannya.
Jadi tahrîf dengan makna ini tidaklah termasuk yang diperselisihkan, sehingga untuk sementara ini tidak perlu diperpanjang pembicaraan tentanggnya.
Adapun yang dimaksud dengan tahrîf lafdzi ialah perubahan yang dialamai oleh Al Qur’an, dalam bentuk terjadinya penambahan, atau pengurangan atau perubahan pada satu atau dua kata dalam sebuah ayat Al Qur’an atau perubahan pada penempatan letak surah-surahnya.
Tahrîf lafdzi yang diperselisihkan ialah terkait dengan terjadinya pengurangan sebagian ayat, perubahan i’râb kata atau perubahan para kata atau teks ayat, bukan pada adanya penambahan, sebab telah disepakati oleh semua pihak bahwa Al Qur’an terjaga dari penambahan.
Maka dengan demikian kita telah mengetahui apa yan dimaksud dengan tahrîf! Dan ketika ada seorang ulama atau satu golongan dituduh meyakini tahrîf maka yang dimaksud adalah tahrîf dengan makna ini bukan makna yang lainnya.
Klaim bahwa al Kulaini meyakini tahrîf juga harus dimaknai dengan makna ini. Akan tetapi sebelumnya perlu diperhatikan bahwa, selain klaim ini bertentangan dengan:
A)   Kenyataan bahwa keyakinan tidak terjadinya Tahrîf adalah pendapat para pembesar Syi’ah yang mewakili pendapat resmi Mazhab (sebagaimana ditegaskan para tokoh Syi’ah, seperti Syeikh Shadûq, Syeikh Mufîd, Sayyid al Murtadha, Syeikh ath Thâifah ath Thûsi dll) sejak  masa silam dan keyakinan adanya Tahrîf adalah keyakinan kaum syudzdzâdz, hal mana meyakinkan kita bahwa andai benar Tsiqatul Islam al Kulaini meyakini adanya tahrîf Al Qur’an pastilah pendapat beliau dipertimbangkan dan tidak mungkin para tokoh itu menegaskan bahwa pendapat resmi Mazhab adalah tidak adanya tahrîf dan “barang siapa menisbahkan kepada kami (Syi’ah) bahwa kami meyakini Al Qur’an semestinya lebih dari ini maka ia bohong” dan lain sebagainya.
B)    Penegasan adanya ijmâ’ dari tokoh-tokoh Thâifah (Mazhab), seperti yang ditegaskan oleh Syeikh Ja’far Kâsyif al Ghithâ’, hal nama menguatkan dugaan bahwa al Kulaini termasuk yang menolak keyakinan adanya Tahrîf , sebab, andai tidak, pastilah mereka tidak mengklaim adanya ijmâ’ tersebut, sedangkan mereka mengakui keagungan dan ketokohan al Kulaini dalam mazhab.
Selain itu, kita perlu memperhatikan dasar-dasar klaim tersebut, dari siapa pun keluarnya klaim itu.
Untuk membuktikan kevalidan klaim bahwa para tokoh Syi’ah (di antaranya adalah al Kulaini) meyakini tahrîf Al Qur’an, diperlukan empat mukaddimah pasti, jika tidak terpenuhi maka ia adalah sekedar klaim yang tidak dapat diterima.
Pertama, Bahwa penulis kitab itu telah menyatakan dengan tegas dan menetapkan atas dirinya untuk tidak akan memasukkan sebuah hadis dalam kitabnya kecuali hadis shahih.
Kedua, Hadis yang disinyalir menunjukkan Tahrîf itu harus tegas maknanya sekira tidak dapat dita’wil atau dimaknai lain berdasar bukti-bukti aqliah dan naqliah selain makna Tahrîf .
Ketiga, Tidak adanya mu’âridh (nash yang menentangnya) yang dapat dijadikan pemaling makna dan atau status hadis.
Keempat, Bahwa penulis itu meyakini hujjiyah khabar wâhid (hadis selain mutawâtir).
Apabila keempat mukaddimah di atas terpenuhi maka kita berhak menisbahkan pendapat adanya Tahrîf kepada si penulis buku tersebut, jika belum terpenuhi maka kita belum berhak menisbahkannya.
Setelah itu, mari kita lakukan penelitian atas klaim bahwa al Kulaini termasuk yang meyakini Tahrîf  Al Qur’an, apa bukti yang mereka ajukan? Dan apakah bukti-bukti itu telah memenuhi keempat unsur di atas?
Dari apa yang disebutkan, baik oleh Syeikh Ni’matullah al Jazâiri, al Faidh al Kâsyâni, Syeikh Nuri, dan yang kemudian dinukil oleh sebaian penulis Wahhabi ketika mereka membicarakan masalah ini, di antara mereka adalah Ihsân Ilâhi Dzahîr dalam kitab Asy Syi’ah wa al Qur’an dan Muhammad Mâlullah dalam asy Syi’ah wa Tahrîf  al Qur’an, kita hanya akan menemukan tiga alasan:
1)     Al Kuliani meriwayatkan banyak (?) hadis tentang Tahrîf .
2)     Al Kulaini menshahihkannya/tidak mencacatnya.
3)     Al Kulaini tidak menyebutkan hadis yang menentangnya.
v     Menukil Hadis Tidak Membuktikan Kayakinan Penukilnya
Adalah sebuah kesalahan dan bahkan mungkin kecurangan ketika kita menisbahkan kepada sekelompok ulama sebuah keyakinan/pendapat yang tidak pernah mereka nyatakan sendiri, melainkan berdasarkan sebuah atau beberapa hadis yang mereka nukil. Dan seperti telah berulang saya sebutkan bahwa menukilan sebuah riwayat tidak membuktikan keyakinan penukilnya, semala ia tidak menetapkan bahwa apa yang ia nukil itu shahih.
Dan demikianlah dasar penisbahan kayakinan adanya Tahrîf kepada para pembesar ulama Syi’ah, seperti al Kulaini, Ali ibn Ibrahim al Qummi dan al Ayyâsyi misalnya. Mereka menisbahkannya karena para tokoh itu meriwayatkan.
Apabila logika seperti ini yang dijadikan dasar penisbahan, maka tidaklah keliru jika ada yang mengatakan Imam Bukhari termasuk yang meyakini tahrîf, sebab ia telah meriwayatkan banyak hadis yang menunjukkan terjadinya tahrîf Al Qur’an!
o       Apakah al Kulaini Meyakini Keshahihan Seluru Hadis al Kâfi?
Salah satu yang menjadi dasar penisbahan kayakinan Tahrîf kepada al Kulaini adalah anggapan bahwa beliau telah menetapkan bahwa seluruh hadis yang beliau koleksi dalam kitab al Kâfi-nya adalah shahih dan benar-benar disabdakan oleh para imam Ahlulbait as.
Akan tetapi, penisbahan itu tidak benar, karena ia dibangun di atas dasar mukaddimah yang tidak benar pula, sebab:
A)   Al Kulaini tidak terbukti pernah menegaskan keshahihan seluruh hadis al Kâfi.
B)    Bahkan terdapat bukti bahwa beliau tidak memastikan keshahihan seluruh hadis al Kâfi.
Untuk membuktikan hal ini, kita dapat merujuk mukaddimah al Kâfi yang beliau tulis.
Perhatikan apa yang beliau katakana:
إعلم يا أخي –أرشدك الله- أنَه لا يسع أحدًا تمييز شيئ مِمَا اختلف الرواية فيه عن العلماء (عليهم السلام) برَأيِه إلاَ على ما أطلقه العالمُ (عليه السلام) بقوله: أعرضوها على كتاب الله، فما وافق كتاب الله فخذوه، و ما خالف كتاب الله فردُوه. وقوله(عليه السلام): دعوا ما وافق القومَ فَإِنَّ الرشد في خلافهم. و قوله: خذوا بالمُجمع عليه، فإِنَّ المُجمع عليه لا ريبَ فيه. و نحن لا نعرف من جميع ذلك إلاَّ أقلَّه، و لا نجد شيئا أحوط ولا أوسع من رد علم ذلك كُله إلى العالم (عليه السلام)، و قبول ما وسع من الأمر فيه بقوله(عليه السلام): بِأَيِّهما أخَذْتم من باب التسليم وَسِعَكم.
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya tidaklah luas/boleh bagi seorang membedakan dengan pendapatnya sendiri sesuatu yang datang dari para imam as. berupa riwayat-riwayat yang berselisih, kecuali didasarkan atas apa yang disabdakan al ‘âlim (imam) as.: ‘Sodorkan riwayat-riwayat itu kepada Kitabullah (Al Qur’an) apa yang sesuai, ambillah dan yang menyalahi Kitabullah, tinggalkan!’ Dan sabda beliau as.: ‘Selisihi kaum itu (pengikut para  penguasa) karena kebenaran berada pada menyelisihi mereka.’ Dan sabda beliau as.: ‘Ambillah yang disepakati, sebab yang disepakati itu tidak mengandung keraguan.’ Dan kami tidak mengetahui dari semua itu melainkan sebagian kecil, dan kami tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berhati-hati dan lebih luas dari mengembalikan semua itu kepada imam as., dan menerima perkara itu berdasarkan sabda beliau: ‘Maka dengan yang mana dari riwayat-riwayat itu kalian mengambilnya sebagai bukti kepatuhan itu boleh. ’
Beliau juga mengatakan dalam jawaban atas seorang yang meminta kepada beliau agar berkenan menulis sebuah kitab hadis yang merangkum semua cabang ilmu agama:
و قد يسَّر اللهُ – و له الحمد- تأليفَ سَأَلتَ، وأرجو أن يكون بحيث توَخَّيت.       و مهما كان فيه من تقصير فلم تقصر نِيَّتُنَا فِي إهداء النصيحة.
“Dan Allah telah memudahkan penulisan apa yang enkau minta, dan saya berharap ia sesuai seperti yang engkau harap. Dan betapa pun di dalamnya terdapat taqshîr/ketelodoran maka niatan baik kami untuk memberi nasihat tidaklah teledor.”[2]
Dalam kalimat mukaddimah di atas tidak terdapat kalimat yang dapat dijadikan bukti bahwa beliau menshahihkan seluruh hadis yang beliau koleksi dalam kitab al Kâfi yang beliau karang itu. Sebab apabila beliau meyakini keshahihan seluruh hadis al Kâfi, tentu beliau tidak akan menyebut-nyebut kaidah tarjîh hadis yang dibangun oleh para imam Ahlulbait as. dalam menyikapi riwayat-riwayat yang muta’âridhah (saling bertentangan) yaitu dengan menyodorkannya kepada Al Qur’an, dan mengambil hadis yang mujma’ ‘alaihi (disepakati).
Di samping itu kata-kata beliau (RH), “Dan kami tidak mengetahui dari semua itu melainkan sebagian kecil… , adalah bukti bahwa beliau tidak berani mamastikan datangnya seluruh hadis-hadis dalam kitabnya itu dari para imam as.
Dan andai kita mengatakaan bahwa seluruh hadis dalam al Kaîf telah diyakini keshahihannya oleh al Kulaini sendiri, maka hal ini belum cukup bukti untuk menuduh beliau meyakini Tahrîf , sebab penshahihan hadis tidak meniscayakan bahwa ia menerima petunjuk dan kandungan hadis tersebut.
Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan, antara lain,  Syeikh al Kulaini dalam al Kâfi-nya meriwayatkan hadis yang mengatakan bahwa yang disembelih oleh Nabi Ibrahim as. adalah Ishaq, bukan Ismail. Sementara dalam hadis lain beliau meriwayatkan bahwa yang disembelih itu adalah Ismail bukan Ishaq.
Al Kulaini berkata, “Telah disebutkan dari Abu Bashîr bahwa ia mendengar Imam Abu Ja’far dan Imam Abu Abdillah as. mengatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq. Adapun Zurarah ia mengatakan bahwa ia adalah Ismail.”[3]
Lalu apakah kita mengatakan bahwa seluruh hadis di atas shahih dalam pandangan al Kulaini? Dan apabila ia shahih (dalam arti wutsûq/percaya akan datangnya dari para imam as.), apakah kita dapat memastikan bahwa beliau meyakini kandungannya bahwa Ishaq-lah yang disembelih oleh Ibrahim as.? Jika jawabnya, ya, lalu apa yang harus beliau perbuat dengan hadis-hadis lain yang mengatakan bahwa yang disembelih itu adalah Ismail? Atau kita akan mengatakan bahwa al Kulaini termasuk dari mereka yang tidak memastikan siapa dari kedua putra Ibrahim itu yan disembelih? Bukankah yang demikian itu bukti bahwa beliau tidak memastikan keshahihahn seluruh hadis al Kâfi?!
Jadi dengan demikian dapat dibuktikan bahwa anggapan/tuduhan bahwa al Kulaini meyakini Tahrîf  Al Qur’an dengan dasar alasan bahwa beliau meriwayatkannya dan berdasar karena beliau meyakini keshahihan seluruh riwayat al Kâfi adalah belum memenuhi bukti dan tidak berdasar!
o       Al Kulaini Meriwyatkan Hadis Yang Menolak Tahrîf
Anggap hadis-hadis yang diriwayatkan al Kulaini menunjukkan makna tahrîf dengan arti yang dipersengkatakan, akan tetapi hadis-hadis itu bertentangan dengan banyak hadis lain yang juga diriwayatkan oleh beliau dalam al Kâfi-nya. Dalam kitab al Kâfi, al Kulaini telah meriwayatkan banyak hadis yang membuktikan bahwa Al Qur’an yang beredar di kalangan umat adalah lengkap, dan terjaga dari pengurangan.
Hadis-hadis itu tersebar di berbagai bab yang beliau tulis, di antaranya pada bab Keutamaan pengemban Al Qur’an, Sesiapa yang belajar Al Qur’an dengan susah payah, Sesiapa yang menghafal Al Qur’an kemudian ia lupa, Pahala membaca Al Qur’an, Membaca Al Qur’an dengan melihat dalam mush-haf, Rumah-rumah yan dibaca di dalamnya Al Qur’an. Hadis-hadis tersebut jauh lebih kuat, lebih banyak dan lebih jelas petunjuknya.
Maka dengan demikian, berdasarkan kaidah tarjîh yang ditetapkan sendiri oleh al Kulaini maka apabila ada dua hadis yang saling bertentangan dan tidak dapat diharmoniskan dengan pemaknaan yang tepat, maka kaduanya harus disodorkan kepada Al Qur’an, yang sesuai dengannya kita ambil dan yang bertentangan harus dibuang!
Di bawah ini akan saya sebutkan sebagian darinya.
Al Kulaini meriwayatkan dari Al Fadhl ibn Yasâr dari Imam Ja’far as. beliau bersabda, “Rasulullah saw. bersabda:
تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَاحِبَهُ فِي صُورَةِ شَابٍّ جَمِيلٍ شَاحِبِ اللَّوْنِ فَيَقُولُ لَهُ أَنَا الْقُرْآنُ الَّذِي كُنْتُ أَسْهَرْتُ لَيْلَكَ وَ أَظْمَأْتُ هَوَاجِرَكَ وَ أَجْفَفْتُ رِيقَكَ وَ أَسْبَلْتُ دَمْعَتَكَ إِلَى أَنْ قَالَ فَأَبْشِرْ فَيُؤْتَى بِتَاجٍ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ وَ يُعْطَى الأَمَانَ بِيَمِينِهِ وَ الْخُلْدَ فِي الْجِنَانِ بِيَسَارِهِ وَ يُكْسَى حُلَّتَيْنِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَ ارْقَهْ فَكُلَّمَا قَرَأَ آيَةً صَعِدَ دَرَجَةً وَ يُكْسَى أَبَوَاهُ حُلَّتَيْنِ إِنْ كَانَا مُؤْمِنَيْنِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُمَا هَذَا لِمَا عَلَّمْتُمَاهُ الْقُرْآنَ .
“Pelajarilah Alqur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat menjumpai temannya (yang mempelajarinya) dengan bentuk seorang pemuda tampan yang pucat, ia berkata, ”Akulah Alqur’an yangmembuatmu tidak tidur malam, membuatmu haus di siang hari, membuat kering kerongkonganmu, dan membuat air matamu bercucuran…Maka bergembiralah! Lalu didatangkan untuknya mahkota dan diletakkan di atas kepalanya, ia diberi keamaanan dengan tangan kanannya dan kekekalan dengan tangan kirinya, dan dipakaikan untuknya dua baju indah, kemudian dikatakan kepadanya, ’Baca dan naiklah!’ Maka setiap kali ia membaca satu ayat ia naik satu dejarat. Dan kedua orang tuanya jika mereka mukmin akan diberi dua baju, kemudian dikatakan kepada keduanya, ‘Inilah balasan kalian mengajarinya Alqur’an.’”[4]
Al Kulaini meriwayatkan dari Imam Ja’far as., beliau bersabda:
الْحَافِظُ لِلْقُرْآنِ الْعَامِلُ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ.
“Orang yang menghafal Alqur’an dan mengamalkannya ia bersama malaikat yang mulia.”
Dan dengan jalur yang sama Al Kulaini meriwayatkan dari Imam Ja’far as. beliau bersabda:
إِنَّ الَّذِي يُعَالِجُ الْقُرْآنَ وَ يَحْفَظُهُ بِمَشَقَّةٍ مِنْهُ وَ قِلَّةِ حِفْظٍ لَهُ أَجْرَانِ
“Sesungguhnya orang selalu membaca dan menghafal Alqur’an dengan susah dan berat akan mendapat dua kali lipat pahala.”
o       Klasifikasi Hadis-hadis Tahrîf Dalam al Kâfi
Pokok riwayat al Kulaini yang secara dzahir disinyalir menunjukkan tahrîf Al Qur’an dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok:
Pertama, Perbedaan bacaan para imam as. dengan bacaan yang berlaku umum.
Kedua, yang menunjukkan gugurnya nama-nama para imam as. dan semisalnya.
Kelompok pertama tentunya keluar dari bahasan kita, sebab ia tidak termasuk bagian tahrîf yang diperselisihkan.
Kelompok kedua, -angggap saja shahih seluruh jalurnya- ia dapat digolongkan sebagai ta’wil dan tafsir yang disampaikan para imam Ahlulbait as., ia adaalah bagian dari tanzîl seperti telah dibahas sebelumnya.
Selain dua kelompok di atas, kita tidak akan menemukan hadis yang menunjukkan tahrîf kecuali hadis yang menyebut bahwa jumlah ayat Al Qur’an adalah 7000 atau 17000 ayat, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi adalah sangat tidak berdasar jika ada yang mengatakan bahwa al Kulaini telah banyak meriwayatkan hadis tahrîf dalam al Kâfi-nya.
(Bersambung)

[1] Al Akhbariyyûn adalah sebuah aliran pemikiran dalam mazhab Syi’ah yang menyebal dari kelompok mayoritas yang selalu mendominasi mazhab Syi’ah. Di antara pandangan kelompok Al Akhbariyyûn ini adalah pandangannya bahwa seluruh hadis dalam al Kutub al Arba’ah (Empat Kitan Hadis Standar Syi’ah; al Kâfi, Man  Lâ yahdhuru al Faqîh, al Istibshâr dan at Tahdzîb) adalah shahih, persis seperti pandangan Ahlusunnah terhadap Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kelompok ini mendapat penentangan keras dari pemuka Syi’ah sejak awal kemunculannya dan mendapat kritikan tajam dari paara pemikir dan ulama besar Syi’ah mayoritas (al Ushûliyyûn).
[2] Mukaddikah Ushûl al Kâfi,1/7.
[3] Al Kâfi,4/205-206.
[4] Al Wasâil,2/834, bab 7 hadis 1.
Mushaf Kumpulan Zaid Bin Tsabit
Rasulullah(sawa) berwasiat agar Al Quran dikumpulkan, tujuannya ialah agar kitab ini tidak berkongsi nasib dengan kitab Taurat orang yahudi.(Tafsir al Burhan, Jilid 1, Halaman 16, No.14)
Setelah Rasulullah(sawa) wafat, Imam Ali melakukan pekerjaan penting ini, kemudian beliau mempersembahkan hasil kerja tersebut. Walaubagaimanapun, atas beberapa sebab, maka para khalifah tidak menerima mushaf beliau. Al Quran adalah rujukan utama bagi syariat Islam serta merupakan asas kepada masyarakat Islam. Oleh kerana itu, para khalifah merasakan perlunya melantik para penulis kalam Illahi yang lain(selain Ali0 untuk mencatat semula Al Quran yang bertaburan, oleh kerana syahidnya ramai para hafiz dalam Perang Yamamah.(Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Mushaf Imam Ali, sila rujuk lebih lanjut Tarikh Yaakubi, Jilid 2, Halaman 113)
Oleh itu, Abu Bakar mengajak Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Quran. Zaid berkata: “Abu Bakar memanggilku. Setelah musyawarah dengan Umar yang waktu itu berada di tempat itu, dia berkata: “Ramai sekali Qari dan Hafiz terkorban dalam perang Yamamah, bagaimana jika yang lain juga akan turut terbunuh dalam perang lain, dan bahagian penting Al Quran akan hilang.” Saat itulah beliau menyampaikan masalah pengumpulan Al Quran.”
Aku bertanya, “Bagaimana kamu akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah?”
Mereka menjawab, “Ini adalah pekerjaan penting yang harus dilakukan.”
Hanya itu yang mereka katakan. Mereka terus memaksaku agar menerima ajakan mereka. Kemudian Abu Bakar berkata, “Kamu adalah pemuda berakal dan kami tidak pernah berfikiran negatif tentang mu. Kamu adalah penulis wahyu Rasulullah(sawa), terimalah pekerjaan ini dan lakukanlah dengan baik.”
Aku berkata kepada mereka, “Beban pekerjaan yang dipikulkan di pundakku ini jauh lebih berat dari gunung yang besar. Namun aku menerimanya dengan terpaksa.” Kemudian aku mengumpulkan Quran yang sebelumnya ditulis di atas lempengan-lempengan kayu dan batu.”(As Saqifah,Hal 82)
Cara Zaid Mengumpulkan Al Quran
Zaid memulai kerja mengumpulkan Al Quran dengan cara menata Al Quran yang tidak teratur. Kemudian beliau meletakkannya di satu tempat. Kerja ini dibantu oleh beberapa sahabat. Langkah pertama yang beliau ambil ialah mengumumkan bahawa sesiapapun yang mempunyai walau beberapa ayat sekalipun perlulah diberikan kepadanya.
Yaakubi berpendapat bahawa beliau membentuk satu kumpulan kerja  yang terdiri dari 25 orang dan beliau sendiri mengetuai pasukan ini.(As Saqifah Hal 124)
Setiap hari pasukan ini berkumpul di masjid dan orang-orang yang memiliki ayat atau surah dari Al Quran akan mendatangi mereka dan merujuki ayat yang mereka ada kepada mereka. Pasukan ini tidak akan menerima satu ayat pun melainkan orang itu membawakan 2 orang saksi dan bukti yang menyatakan apa yang mereka bawa itu sebagai Al Quran.
Bukti pertama adalah naskah yang tertulis, yaitu tulisan yang menunjukkan bahawa itu adalah wahyu Qurani. Bukti kedua adalah hafalan, yaitu dengan kesaksian orang-orang bahawa pembaca Al Quran itu telah mendengarnya dari lisan Rasulullah(sawa).
Dalam hal ini ada dua poin yang perlu diperhatikan.
  • Khuzaimah bin Tsabit Ansari(Tafsir Al Qummi, Halaman 745) membawa 2 ayat terakhir surah al Baraah yang diterima tanpa saksi, kerana Rasulullah(sawa) menjadikan kesaksian beliau seperti kesaksian 2 orang.(Fath al Bari Jilid 7, hal. 447)
  • Ada ungkapan dari Umar al Khattab yang disangka sebagai ayat al Quran namun tidak diterima iaitu, “Apabila seorang lelaki tua berzina dengan seorang tua maka rejamlah keduanya..” Ketiaka pasukan kerja meminta agar dihadirkan saksi, Umar tidak dapat menghadirkannya. Keitka Umar menyampaikan kepada setiap orang yang dikehendakinya, maka setiap mereka menolak pernah mendenganr ayat ini dari lisan Rasulullah(sawa). Umar bagaimanapun tetap berkeras bahawa apa yang beliau ucapkan itu adalah dari Al Quran, dia selalu berkata: “Seandainya orang ramai tidak berkata bahawa Umar telah menambah sesuatu kepada Al Quran, maka nescaya aku sudah memasukkannya ke dalam Quran.”
Dengan cara seperti inilah Zaid mengumpulkan Quran yang sebelumnya terpisah-pisah dan berterabur. Beliau berjasa menghindarkan Al Quran dari penyimpangan. Setiap surah yang sudah sempurna beliau letakkan ke kotak kulit yang disebut “Rab’ah” hingga satu per satu dari surah-surah itu sempurna. Namun tidak ada satu bentuk ketertiban yang wujud di antara surah-surah itu.(Sahih Bukhari Jilid 6, Halaman 225; Mashahif Sajistani, hal.6; Ibnu Atsir, al Kamil fi at Tarikh, Jilid 2, hal 247)
Setelah selesai, lembaran-lembaran ini diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah tamat pemerintahan Abu Bakar, maka lembaran ini berpindah pula kepada Umar, setelah beliau wafat, ia dipindahkan ke puterinya Hafsah. Ketika mushaf-mushaf disatukan, Usman meminjamnya dari Hafsah untuk memadankan mushaf itu dengan mushaf yang lain, yang kemudiannya dipulangkan setalah selesai. Setelah Hafsah meninggal, Marwan, yang ketika itu menjadi gabenor Madinah mengambilnya dari waris Hafsah dan memusnahkannya.(Tarikh Yaakubi, Jilid 2,Hal. 113)
Menyatukan Mushaf-mushaf
Sebagaimana yang telah disebutkan bahawa tempoh selepas wafatnya Rasulullah(sawa) adalah tempoh pengumpulan Al Quran. Para sahabat besar mulai mengumpulkan ayat-ayat dan merapikan surah-surah al Quran sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan mereka. Masing-masing dari mereka mempunyai mushaf yang khusus(contohnya Ibnu Mas’ud dan mushaf Ubay Bin Kaab.)Sebahagian sahabat yang tidak mempunyai kemampuan untuk membuat mushaf meminta bantuan agar dibuatkan sebuah naskah mushaf untuk diri mereka.
Luasnya ruang lingkup pemerintahan Islam juga menjadi sebab kepada pertambahan jumlah mushaf. Dengan bertambahnya jumlah kaum Muslimin, maka begitu jugalah bertambahnya keperluan untuk naskah-naskah Al Quran ini. Kitab adalah sumber hukum, peletakan undang-undang dan aturan bagi hidup kaum Muslimin. Setiap dari mushaf para sahabat ini, mendapat penghormatan yang tinggi mengikut daerahnya. Contohnya, mushaf Ibnu Mas’ud terkenal di Kufah.(Al Kasyaf, Jilid 1, Hal 242)
Contoh lain adalah Mushhaf Ubay bin Kaab sangat disanjugi di Madinah, atau mushaf Abu Musa al Asy’ari di Basrah dan mushaf Miqdad bin Aswad di Damaskus.
Perbezaan Mushaf-mushaf
Pemilik mushaf-mushaf banyak sekali jumlahnya. Satu sama lain tidak mempunyai hubungan, ini disebabkan ia disusun oleh para sahabat yang kemampuan yang berbeza. Oleh kerana itu, sistem, susunan, bacaan dan sebagainya dengan lainnya tidak sama.
Perbezaan seperti ini seringkali menimbulkan perselisihan dalam masyarakat. Bukan perkara yang menghairangkan apabila sesama Muslimin sering berselisih antara mereka hanya kerana fanatisme mazhab, akidah dan pendapatnya sendiri. Kita lihat antara contoh perselisihan ini.
  • Setalah peperangan di Armenia, Hudzaifah bin Said bin Ash berkata, “Dalam perjalanan ku, aku menemukan suatu permasalahan yang sekiranya di abaikan akan menyebabkan perselisisihan masyarakat tentang Quran, selamanya masalah ini tidak akan dapat diselesaikan.”
Said bertanya, “Apa masalahnya?” Dia menjawab, “Aku melihat sekelompok orang dari Hamsh yang menganggap bacaan mereka lebih baik dari bacaan-bacaan yang lain dan mereka mengambil Al Quran itu dari Miqdad. Aku melihat orang-orang Damaskus pula mengatakan bahawa bacaan mereka lebih baik dari yang lain. Aku melihat penduduk Kufah juga mnegatakan bacaan mereka lebih baik dari yang laian, dan mereka mengambil bacaan itu dari Ibnu Mas’ud. Begitu juga penduduk Basrah yang menerima bacaan dari Abu Musa Asyari dan mereka menamkan mushafnya, Lubab al Qulub.”
Huzaifah dan Said tiba di Kufah dan mengingatkan mereka tentang permasalahan ini. Banyak sahabat nabi dan para tabi’in yang sepakat dengannya. Seoarang sahabat Ibnu Masud melakukan kritik: “Apa yang kamu mempermasalahkan kepada kami kerana membaca al Quran sesuai dengan bacaan Ibnu Mas’ud?”
Ada yang berkata, “Demi Allah, kalau dia masih hidup, akan aku sampaikan masalah ini kepada khalifah kaum Muslimin(Usman) demi mencari jalan keluar.”
Ketika berjumpa dengan Ibnu Mas’ud, Hudzaifah menyampaikan masalah tersebut kepadanya, tetapi Ibnu Mas’ud menjawabnya dengan kasat.(Tafsir At Thabari, JIlid 5 halaman 9). Said marah dan meninggalkan mereka. Hudzaifah pergi untuk bertemu khalifah.
  • Yazid Nakha’i berkata, “Pada masa kepimpinan Walid bin Uqbah, wali kota Kufah adalah dari pihak Usman. Aku pergi ke Kufah. Di sana sekelompok orang sedang berkumpul. Diantara mereka ada Hudzaifah bin Yaman.
Pada zaman itu tidak terbiasa ada rapat umum di masjid. Tiba-tiba seorang berteriak, “Mereka yang bacaannya seperti Abu Musa al Asyari hendaklah berkumpul di pintu Kindah. Mereka yang mengikuti bacaan Ibnu Mas’ud pula berkumpul di pintu  Abdullah.” Dua kelompok itu berselisih tentang satu ayat dari surah Al Baqarah.
Satu kelompok berkata, “ Wa atimmul hajja wal umrata lilbait” manakala sekelompuk lagi berkata, “Wa atimmul hajja wal umratalillah.” Huzaifah marah lalu berkata, “Perselisihan yang sama juga pernah terjadi sebelum kalian.” Kemudian dia menuturkan perjumpaannya dengan Usman. Dalam riwayat lain disebutkan bahawa Hudzaifah berkata tentang penduduka Kufah yang menggunakan bacaan Abdullah dan penduduk Basrah yang menggunakan bacaan Abu Musa. Demi Allah, dia berkata, “Seandainya aku berjumpa dengan Usman, nescaya aku akan memaksa beliau untuk menenggelamkannya ke dalam satu mushaf.”
Abdullah menjawab, “Demi Allah seandainya kamu lakukan sebegitu, Allah akan menenggelamkan kamu ke suatu tempa selain air(neraka jahannam)
Ibnu Hajar berkata, Ibnu Mas’ud berkata kepada Hudzaifah, “Aku mendapat khabar bahawa kamu tidak suka kepada mereka berkaitan bacaan Quran sehingga mereka harus berselisih seperti Ahlul Kitab.”(Al Furqan fi jam’i wa tadwin al Quran, Halaman 110)
  • Dan banyak lagi contoh perselisihan umat ketika itu tentang hal berkaitan Al Quran.
Masuknya Hudzaifah Ke Madinah
Sekembalinya dari peperangan di Armenia, Hudzaifah melihat perselisihan berkaitan Al Quran di kalangan penduduk setempat. Beliau menganggap peristiwa ini adalah buruk. Kemudian beliau bermusyawarah dengan beberapa orang sahabat Nabi(sawa) yang sebelumnya berada di Kufah. Tujuannya ialah bagi menyelesaikan masalah tersebut, sebelum ia merebak ke tempat lain.
Hudzaifah berpendapat bahawa Usman hendaklah menyatukan semua mushaf dan memaksa mereka untuk membaca dengan satu bacaan. Pendapatnya dipersetujui oleh semua sahabat kecuali Abdullah Ibnu Mas’ud.(Mashahif Sajistani, Hal 11-14)
Kemudian Hudzaifah bergegas menuju ke Madinah untuk menyedarkan Usman demi menyelamatkan umat Muhammad sebelum mereka bercerai berai. Huzdzaifah berkata kepada Usman, “Hai khalifah! Tanpa basa basi aku mengingatkan mu, selamatkanlah umat ini sebelum mereka berselisih sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani.
Usman bertanya, “Apa masalahnya?” Hudzaifah menjelaskan, “Aku ikut perang di Armenia. AKu temui penduduk Syam mengikuti bacaan Ubay bin Kaab yang mengandungi beberapa hal yang tidak pernah didengari oleh penduduk Iraq. Penduduk Iraq mengikuti bacaan Ibnu Mas’ud yang mengandungi beberapa hal yang tidak pernah didengari oleh penduduk Syam. Masing-masing mengkafirkan pihak yang lainnya.”(Fath al Bari,Jilid 9, Hal 15)
Musyawarah Usman Dan Sahabat-sahabat
Peristiwa di atas akan mengkibatkan sesuatu yang buru terhadap ummah. Usman terpaksa menyelesaikannya dengan serius. Tanggungjawab ini adalah baru dan sangat besar, belum pernah dikerjakan oleh orang-orang sebelumnya. Watak terpenting bagi tanggungjawab ini ialah naskah-naskah mushaf yang ditulis oleh para sahabat utama yang tersebar di segenap penjuru empayar.
Ketika itu, adalah sangat sukar untuk melibatkan orang-orang yang dipandang tinggi seperti mereka. Apatah lagi, setiap mereka mempertahankan mushaf mereka sebagai musfah yang benar. Hal ini merupakan rintangan yang paling besar bagi penyatuan mushaf.
Dengan alasan inilah Usman mengumpulkan para sahabat di Madinah demi menyatukan semua mushaf. Akhirnya muncullah kesepakatan walau apa pun risikonya.
Ibnu Atsir berkata, “Usman mengumpulkan sahabat-sahabat Nabi dan menyampaikan masalah yang ada. Semuanya mendukung pendapat Hudzaifah.”(Al Itqan, Jilid 1, Hal 59; Mashahif Sajistani, hal 21)
Badan Penyeragaman Mushaf
Usman bergerak cepat menyatukan mushaf-mushaf. Langkah pertamanya adalah menulis pesan umum kepada para sahabat Nabi(sawa). Beliau mengundang mereka untuk melakukan pekerjaan ini.(Fath al Bari, Jilid 9, Hal 16)
Kemudian beliau memilih 4 orang terdekat untuk melakukan perkerjaan ini, iaitu Zaid bin Tsabit dari Ansar, Said bin Ash, Abdullah bin Zubair, Abdulrahman bin Harits. 3 nama terakhir ini semuanya dari Quraish. Empat orang tersebut adalah pasukan utama badan penyatuan Al Quran yang diketuai oleh Zaid.(Al Kamil fi at Tarikh, Jilid 3, Hal 111)
Dipilihnya Zaid sebagai ketua, menyebabkan protes dan bangkangan dari Ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud berkata, “Aku disingkirkan dari tugas ini, dan diberikan kepada seorang(Zaid) yang-demi Allah- ketika berada dalam tulang sulbi orang kafir, aku sudah memeluk Islam.(Sahih Bukhari, Jilid 6, Hal 225; Mashahif Sajistani, hal 19-20, Kamil fi at Tarikh, Jilid 3, Ha 111)
Kerana penentangan itu, beliau sendiri menerima tanggungjawab 4 orang itu, namun mereka kesulitan melakukan pekerjaan itu. Akhirnya mereka meminta bantuan dari  Ubay bin Kaab, Malik bin Abi Amir, Katsir bin Aflah, Anas Bin Malik, Abdullah Bin Abbas, Mushab Bin Saad dan Abdullah bin Fathimah. Menurut riwayat Ibnu Sirrin dan Ibnu Saad, bantuan 5 orang lagi diminta menjadikan jumlah badan ini seramai 12 orang.(Al Kamil fi at Tarikh, Jilid 3, Hal 111; Al Itqan Jilid 1, Hal 59; Sahih Bukhari, Jilid 6, Hal 226;Fath al Bari, jilid 9, hal 17)
Sikap Sahabat atas Penyeragaman Mushaf
Sebagaimana yang telah dijelaskan, Hudzaifah bin Yaman adalah orang pertama yang memberi kesaksian atas penyeragaman mushaf-mushaf. Bahkan beliau bersumpah akan mengadu kepada khalifah agar menjadikan satu sahaja jenis bacaan.(Thabaqat Ibnu Saad, Jilid 3, Bhg 2, Hal 62)
Belaiu juga bermesyuarah dengan semua sahabat Nabi di Kufah dan mendapat persetujuan mereka kecuali dari Ibnu Mas’ud. Usman mengundang para sahabat Nabi yang berada di Madinah untuk bermusyawarah tentang penyeragaman bacaan al Quran. Mereka semua bersetuju dengan usulan Usman.
Demikian juga Imam Ali Ibnu Abi Thalib, pada dasarnya beliau setuju terhadap niat itu. Ibnu Abi Daudmeriwayatkan dari Suwaid bin Ghaflah bahawa Imam Ali berkata demi Allah, Usman sedikit pun tidak berbuat sesuatu tentang mushaf-mushaf itu melainkan beliau bermusyawarah dengan kami. Belai bermusyawarah dengan kami dalam hal-hal bacaan. Dia berkata kepada ku:
“Aku diberitahu bahawa sebahagian mengatakan bahawa bacaan ku lebih baik dari bacaan mu. Berita ini adalah sesuatu yang mendekati kekufuran.” Aku bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu?” Usman menjawab, “Aku berpendapat masyarakat hendaknya memiliki satu mushaf agar tidak terjadi perselisihan.” Aku berkata, “Pendapat yang bagus.”(Mashahif Sajistani, Hal.30)
Dalam riwayat lain disebutkan bahawa Ali Ibnu Abi Thalib berkata, “Seandainya urusan(penyatuan mushaf ini) diserahkan kepada ku, niscaya aku akan lakukan apa yang dilakukan oleh Usman.”(Fath Al Bari, Jilid 9, Hal 16)
Setelah Imam Ali menjawat jawatan sebagai khalifah, beliau memberi motivasi kepada orang ramai untuk mengamalkan mushaf Usmani dan tidak mengubahnya, meskipun di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan tulis. Hal ini dilakukan kerana sejak saat itu sampai seterusnya tidak boleh ada seorang pun yang boleh mengubah dan menyimpangkan Ql Quran, dengan alasan memperbaiki Al Quran. Oleh kerana itu, mulai saat itu, beliau menekankan bahawa tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh Al Quran.
Diriwayatkan ada seorang membaca di hadapan Imam Ali:
“Wa thalhin mandhud”(dan pohon pisang yang bersusun buahnya..)- (Surah al waqiah:29)
Beliau berkata, “Mengapa dibaca thalhin?” Yang benar adalah Thal’in, sebagaimana yang disebutkan di tempat lain, “dan pohon kurma yang mayangnya lembut(Thal’uha Hadhim)(As Syuara:148)
Ungkapan itu bukan bentuk protes beliau kepada pembaca itu. Pembaca  itu bukan berniat merubah kata. Imam Ali berkata pada diri belaiu sendiri, namun orang-orang mendengarnya dan bertanya, “Adakah anda tidak akan mengubahnya?” Imam Ali berkata, “Mulai saat ini tidak boleh ada perubahan sedikit pun dalam Al Quran.”(Fath al Bari, Jilid 9, Hal 16; Thabaqat Ibnu Saad, Jilid 3, Bhg 2, hal.62; Ibnu Hajar al Asqalani, Tahzib at Tahzib fi Asma ar Rijal, jilid 1, hal 187)
Para ulama berselisih pendapat berkenaan dengan sejarah pengumpulan Al-Quran iaitu di zaman manakah ia dikumpulkan dan siapakah yang mengarahkan ia dikumpulkan. Pandangan yang berbeza tersebut ialah:
1.    Di zaman Rasulullah (s.a.w)
2.    Di zaman Abu Bakar
3.    Di zaman Umar bin Al-Khattab
4.    Bermula dari zaman Abu Bakar dan selesai di zaman Umar.
5.    Di zaman Uthman.
Beberapa ulama mutakhir yang menerima pandangan pertama:
Pandangan yang benar ialah yang pertama di mana ramai ulama menerimanya seperti berikut:
1.    Ayatullah Al-Khui dalam perkara ini berusaha bersungguh-sungguh menyanggah pendapat yang lain sebagai bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah dan akal. – Tafsir Al-Bayan, halaman 162.
2.    Allamah Al-Rafi’i berkata:
وللنبي ( صلى الله عليه وآله ) صحابة كانوا يكتبون القرآن إذا انزل ، إما بأمره أو من عند أنفسهم تاما وناقصا . وأما الذين جمعوا القرآن بتمامه بالاتفاق فهم خمسة .
إعجاز القرآن : ص 36 .
Nabi mempunyai sahabat yang menulis Al-Quran ketika ia diturunkan, samada dengan perintah baginda atau mereka sendiri melaksanakannya dengan sempurna atau tidak. Adapun mereka yang mengumpulkan Al-Quran dengan sempurna ialah lima orang (Setelah itu beliau menyatakan nama-nama mereka). – A’jaz Al-Quran, halaman 36.
3.    Al-Syaikh Manna’ Al-Qattan mengatakan:
قد عرفنا أن القرآن كان مكتوبا من قبل، في عهد النبي ( صلى الله عليه وآله ) ولكنه كان مفرقا في الرقاع والأكتاف والعسيب ، فأمر أبو بكر بجمعه في مصحف واحد – إلى أن قال : – فكان أبو بكر أول من جمع القرآن بهذه الصفة في مصحف .
مباحث في علوم القرآن لمناع القطان : ص 74 .
Kita tahu sesungguhnya Al-Quran sudah tertulis di zaman Nabi (s.a.w), namun dalam bentuk berpisah-pisah pada kertas, tulang dan kulit pohon kurma. Maka Abu Bakar mengarahkan pengumpulannya dalam satu naskah sehingga dikatakan: Abu Bakar orang yang pertama mengumpul Al-Quran bentuk ini dalam mushaf. – Mabahits fi Ulum Al-Quran, li Manna’ Al-Qattan, halaman 74.
Kata-kata beliau jelas menunjukkan bahawa Al-Quran wujud di zaman Nabi (s.a.w) namun bukan dalam bentuk naskah kertas seperti sekarang. Kata-kata Manna’ ini bertentangan dengan mereka yang mendakwa bahawa Al-Quran dihafal oleh para sahabat, namun mula dikumpulkan apabila para penghafal mati Syahid.
4. Al-Zarqani pula mempercayai bahawa penghimpunan Al-Quran bukanlah satu perkara yang tidak pernah dilaksanakan di zaman Rasulullah (s.a.w), dan para sahabat mengumpul semula setelah kewafatan baginda; bahkan Rasulullah menerangkan suatu kaedah iaitu menulis ayat-ayat Al-Quran sebaik sahaja ia diturunkan sehinggalah kewafatan baginda. Al-Zarqani mengatakan:
قال الإمام أبو عبد الله المحاسبي في كتاب   فهم السنن   ما نصه : كتابة القرآن ليست بمحدثة ، فإنه ( صلى الله عليه وآله ) كان يأمر بكتابته ، ولكنه كان مفرقا في الرقاع والأكتاف والعسب ، فإنها أمر الصديق بنسخها من مكان إلى مكان مجتمعا ، وكان ذلك بمنزلة أوراق وجدت في بيت رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) فيها القرآن منتشرا ، فجمعها جامع وربطها بخيط ، حتى لا يضيع منه شئ .
مناهل العرفان : ج 1 ص 242 .
Imam Abu Abdullah Al-Muhasabi di dalam kitabnya “Fahm Al-Sunan” berkata: Penulisan Al-Quran bukanlah perkara baru, sesungguhnya baginda (s.a.w) telah mengarahkan penulisannya, namun secara berpisah-pisah di atas kertas-kertas, tulang-tulang, kulit pohon kurma. Al-Siddiq (Abu Bakar) mengarahkan penulisannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain secara satu himpunan seperti kertas-kertas di dalam rumah Rasulullah yang berpisah, maka Abu Bakar menghimpunkan al-Quran dan menyambungkannya dengan jahitan supaya tidak hilang daripadanya sesuatu pun. – Manahil Al-‘Irfan, jilid 1 halaman 242
Inilah antara kata-kata beberapa tokoh di zaman ini yang menerima pendapat pertama.
Beberapa orang tokoh terdahulu yang menerima pandangan pertama
Beberapa orang ulama dahulu kala di zaman terawal yang menerima pandangan ini ialah seperti berikut:
1. Sayid Murtadha
Sayid Murtadha Alamul Huda; seperti mana yang dinukilkan daripada Marhum Thabrisi bahawa Sayid Murtadha berkata:
إن القرآن كان على عهد رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) مجموعا مؤلفا على ما هو عليه الآن …  أن جماعة من الصحابة مثل عبد الله بن مسعود وأبي بن كعب وغيرهما ختموا القرآن على النبي ( صلى الله عليه وآله ) عدة ختمات ، وهو يدل بأدنى تأمل على أنه كان مجموعا مرتبا غير منشود ولا مبثوث .
تفسير مجمع البيان : ج 1 ص 15 الفن الخامس .
Al-Quran seperti sekarang terhimpun dan tertulis di zaman Rasulullah (s.a.w)… sesungguhnya sekumpulan sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud dan Ubai bin Ka’ab, dan selain daripada mereka berdua mengkhatam Al-Quran beberapa kali di zaman Rasulullah (s.a.w), ianya menunjukkan bahawa Al-Quran sudah dihimpunkan secara tertib, bukan secara bahagian demi bahagian atau berserakan. – Tafsir Majma’ Al-Bayan, jilid 1 halaman 15
2. Al-Sayuthi
Sayuthi yang merupakan salah seorang tokoh Ahlusunnah menulis:
الإجماع والنصوص على أن ترتيب الآيات توقيفي لا شبهة في ذلك . أما الإجماع فنقله غير واحد منهم الزركشي في البرهان وأبو جعفر بن زبير في مناسباته وعبارته : ترتيب الآيات في سورها واقع بتوقيفه ( صلى الله عليه وآله ) وأمره من غير خلاف في هذا بين المسلمين … وأما النصوص فمنها حديث زيد السابق : كنا عند النبي ( صلى الله عليه وآله ) نؤلف القرآن من الرقاع .
الإتقان : ج 1 ص 62 .
Ijma’ dan riwayat ke atas ketertiban ayat-ayat Al-Quran ialah Tawqifi, (penetapannya hendaklah daripada Nabi) tidak ada keraguan lagi. Tetapi ijma’ daripada ulama seperti Al-Zarkashi di dalam Al-Burhan, Abu Ja’far bin Zubair di dalam Al-Munasibat yang telah dinukilkan mereka adalah seperti: Bentuk tertib ayat-ayat dan surah-surah menurut arahan Nabi (s.a.w), perkara ini tidak ada perselisihan di kalangan umat Islam… Namun riwayat pula antaranya ialah hadis daripada Zaid yang berkata: Kami pernah bersama Nabi (s.a.w) menulis Al-Quran dalam satu kertas-kertas yang kami kumpulkan.
Perkara ini jelas menunjukkan bahawa pengumpulan dan penyusunan ayat dan surah-surah adalah daripada arahan Nabi (s.a.w) sebagaimana kesepakatan telah menegaskan perkara ini.
3. Qadhi Abu Bakar:
Sayuthi di dalam Al-Itqan menukilkan kata-kata Qadhi Abu Bakar dari Al-Intishar yang mengatakan:
الذي نذهب إليه أن جمع القرآن الذي أنزله الله وأمر بإثبات رسمه ولم ينسخه ولا رفع تلاوته بعد نزوله هذا بين الدفتين . وأن ترتيبه ونظمه ثابت على ما نظمه الله تعالى ورتبه عليه رسوله من آي السور.
الإتقان : ج 1 ص 63 .
Kami berpendapat bahawa pengumpulan Al-Quran yang telah diturunkan oleh Allah dan diperintahkan supaya ia ditulis secara tetap, namun ia tidak dihapus dan tidak diangkat pembacaannya setelah turun matan Al-Quran di antara dua kulit.  Tertib dan susunannya tetap menurut apa yang telah disusun oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya menyusun daripada surah-surah. – Al-Itqan, jilid 1 halaman 63.
4. Al-Baghawi
Suyuthi menukilkan kata-kata Al-Baghawi di dalam kitab Syarh Al-Sunnah yang berkata:
الصحابة رضي الله عنهم جمعوا  بين الدفتين القرآن الذي أنزله الله على رسوله من غير أن يكونوا زادوا أو نقصوا ، إنتهى .
الإتقان : ج 1 ص 63 .
Sahabat radhiallahuanhum mengumpulkan antara dua kulit Al-Quran yang Allah turunkan tanpa ada penambahan dan kekurangan. – Al-Itqan, jilid 1 halaman 63.
Bilangan mereka yang mempunyai pandangan sebegini terlalu ramai untuk disenaraikan.
Apakah maksud pengumpulan Al-Quran di zaman Rasulullah (s.a.w)?
Apakah pendapat ini bermakna seluruh Al-Quran di zaman Rasulullah (s.a.w) siap dalam bentuk sebuah kitab?
Jawapannya tidak, kerana sebab utama yang menjawab banyak syubhat tentang Al-Quran ialah arahan Nabi tentang pengumpulan Al-Quran. Sehinggakan jikalau pengumpulan ini di dikatakan sebagai kertas-kertas yang berpisah, ia tidaklah mempunyai kemungkinan Tahrif, kekurangan atau kehilangan selain ianya dapat dijadikan rujukan untuk seluruh naskah-naskah yang akan ditulis kemudian. Tidaklah kita mengatakan orang ramai di zaman Rasulullah tidak mempunyai Al-Quran yang dapat dijadikan rujukan.
Kesimpulan terhadap pegangan bahawa Al-Quran dikumpulkan di zaman Abu Bakar.
Jikalau kita ingin menerima kata-kata orang yang menyatakan bahawa Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al-Quran (daripada dada-dada orang ramai, kemudian dikumpulkan di zaman Abu Bakar) hendaklah kita membaca Al-Fatihah Al-Quran kerana makna kalam tersebut ialah sebahagian ayat-ayat Al-Quran yang sampai di tangan kita wujud dari ‘khabar wahid’ (dinukilkan oleh seorang). Sedangkan mereka menganggap bahawa Al-Quran hendaklah sampai kepada kita dari jalan Mutawatir. Tiada seorang pun yang mengesyaki bahawa Al-Quran sampai kepada kita secara Mutawatir dan perhubungan antara kita dan Rasulullah adalah secara Mutawatir; tiada sebarang syak dalam perkara ini.
Entah mengapa pula desakan untuk pendapat seperti ini muncul? Sudah tentu ketaksuban tersebut tidak jauh dari mengikis fadhilat-fadhilat tertentu selama mana bahaya untuk Islam dan akidah umatnya dapat dihapuskan.
Dalil pengumpulan Al-Quran di zaman Rasulullah (s.a.w)
1. Akal:
Akal adalah salah satu dalil yang mengatakan bahawa Al-Quran sudah dikumpulkan di zaman Rasulullah (s.a.w) manakala pendapat yang lain adalah tidak benar. Apakah akal dapat menerima bahawa Rasulullah demikian bersungguh-sungguh menjaga dan memahami secara tepat, sehingga sebelum penurunan ayat-ayat, baginda sendiri cukup bersiap sedia menerimanya sampai ayat ini turun:
(لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ ، إنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ)
سوره قيامت آيات 16 و 17 .
[16] Janganlah engkau (wahai Muhammad) – Kerana hendakkan cepat menghafaz Quran yang diturunkan kepadamu – menggerakkan lidahmu membacanya (sebelum selesai dibacakan kepadamu).
[17] Sesungguhnya Kamilah yang berkuasa mengumpulkan Al-Quran itu (dalam dadamu), dan menetapkan bacaannya (pada lidahmu);
Bagaimana mereka yang memahami Al-Quran adalah paksi kebudayaan masa depan Islam kelak sampai hari kiamat, boleh membayangkan bahawa baginda akan membiarkan Al-Quran bertebaran dalam bentuk hafalan di dalam dada kaum muslimin?
2. Hadis Al-Tsaqalain
Koleksi riwayat yang dipanggil Al-Tsaqalain di kalangan seluruh umat Islam sangat terkenal dan masyhur. Di dalam riwayat ini Rasulullah bersabda: Aku tinggalkan dua perkara yang beharga, pertamanya Al-Quran, ke-duanya Itrahku, iaitu Ahlul Bait.
Menurut adat resam Arab, terminologi ‘kitab’ telah ditentukan sebagai sesuatu yang ditulis. Oleh itu apa yang dihafal dalam dada tidak dipanggil ‘kitab’. Namun di dalam riwayat Rasulullah (s.a.w) terdapat sabda baginda menunjukkan tentang ‘kitab’ yang ditinggalkan kepada umatnya. Begitu juga syair-syair yang dihafal oleh penyair tidak dikatakan sebagai kitab syair, bahkan ia dikatakan syair si fulan. Ianya juga tidak menggunakan kalimah ‘daiwan’.  Sudah pasti riwayat ini menyatakan penulisan seluruh Al-Quran sudah ada di zaman penyampaian ‘Iblagh’.
Beberapa orang penyelidik mengatakan tentang perkara ini sebagai:
إن لفظ الكتاب  لا يطلق حتى على مكتوبات متفرقة في اللخاف والعسب والأكتاف إلا على نحو المجاز والعناية ، فإن لفظ الكتاب ظاهر فيما كان له وجود واحد.
تفسير البيان آيت الله خوئي : ص 271 .
Sesungguhnya lafaz ‘kitab’ tidak dipanggil terhadap penulisan yang berserakan di atas kepingan batu-batu, kulit pohon kurma dan tulang belulang melainkan dalam bentuk majaz dan inayah, sesungguhnya lafaz kitab lahir dari kewujudan yang satu (jika tidak ia akan dikatakan ‘kutub’ bukan ‘kitab’). – Tafsir Al-Bayan Ayatullah Al-Khui, halaman 271.
3. Penulisan Al-Quran oleh para penulis wahyu:
Perkara ini menunjukkan tentang Al-Quran di zaman kehidupan Rasulullah (s.a.w) yang tidak terlepas daripada penulisan. Antara riwayat yang menunjukkan pengumpulan Al-Quran di zaman Rasulullah (s.a.w) ialah:
Al-Bulkhari menulis:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ رضى الله عنه  قَالَ جَمَعَ الْقُرْآنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعَةٌ، كُلُّهُمْ مِنَ الأَنْصَارِ أُبَىٌّ، وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَأَبُو زَيْدٍ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ. قُلْتُ لأَنَسِ مَنْ أَبُو زَيْدٍ قَالَ أَحَدُ عُمُومَتِي.
كتاب الفضائل‏باب فضائل الأنصار ح 3857 باب جمع القرآن ح 5054  صحيح البخاري : ج 6 ص 103، كتاب التفسير، باب القراء من أصحاب النبي (ص) . وذكره أيضا في باب مناقب زيد بن ثابت في كتاب المناقب .
Anas berkata: Keseluruhan Al-Quran dikumpulkan di zaman Nabi (s.a.w) oleh empat orang, kesemua mereka daripada golongan Ansar iatu Ubay, Mu’az bin Jabal, Abu Zaid dan Zaid bin Tsabit. Aku berkata kepada Anas: Siapakah Abu Zaid? Jawabnya: Salah seorang pakcikku. – Sahih Al-Bukhari, jilid 6 halaman 103.
Ibnu Hajar mengatakan:
وأخرج النسائي بإسناد صحيح عن عبد الله بن عمرو (بن العاص) قال : جمعت القرآن ، فقرأت به كل ليلة ، فبلغ النبي (ص) فقال : أقرأه في شهر. الحديث، وأصله في الصحيح.
فتح الباري: ج 9 ص 47. السنن الكبرى للنسائي، ج 5، ص 24، مسند أحمد، ج 2، ص 163، صحيح ابن حبان، ج 3، ص 33.
Dengan sanad yang sahih Nasai meriwayatkan daripada Abdullah bin Amru (bin ‘Ash) yang berkata: Aku telah mengumpulkan Al-Quran, maka aku membacanya setiap malam. Kemudian berita ini sampai kepada Rasulullah (s.a.w) dan baginda bersabda: Bacalah ia setiap bulan… dan asal hadis ini di dalam Sahih (terdapat di dalam sahih Bukhari) – Fathul Bari, jilid 9 halaman 47; Al-Sunan Al-Kubra Li Nasai, jilid 5 halaman 24, Musnad Ahmad jilid 2 halaman 163, Sahih Ibnu Habban, jilid 3 halaman 33.
Hakim Nisyaburi meriwayatkan daripada Zaid bin Tsabut:
كنا عند رسول الله (ص) نؤلف القرآن من الرقاع ،
Kami di sisi Rasulullah (s.a.w) menulis Al-Quran daripada perca-perca,
Kemudian ia mengatakan:
هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه .
المستدرك على الصحيحين : ج 2 ص 611. مسند أحمد، ج 5، ص 185،
Hadis ini Sahih menurut syarat kedua-dua Syaikh dan mereka berdua tidak pernah mengeluarkannya. – Al-Mustadrak Ala As-Sahihain, jilid 2 halaman 611; Musnad Ahmad jilid 5 halaman 185.
Ini adalah dalil yang sangat jelas bahawa Al-Quran ditulis dan dikumpulkan di zaman Rasulullah (s.a.w).
Sayuthi turut menukilkan banyak riwayat tentnag perkara ini yang menunjukkan bahawa Al-Quran dikumpulkan di zaman Rasulullah (s.a.w). Anda boleh merujuk sumber-sumber berikut:
-    Al-Itqan, jilid 1 halaman 62-63
4. Ulama yang menerima pandangan pertama:
Dalam perkara ini, terdapat ramai orang yang terdahulu dan terkemudian mengesahkan pendapat yang pertama. Sejak awal lagi artikel ini telah menyebut kata-kata mereka dan nama-nama mereka ialah Sayid Murtadha Allamul Huda, Suyuthi, Qadhi Abu Bakar di dalam Al-Intishar, Al-Baghawi, Ayatullah Al-Khui, Allamah Rafi’i, Manna’ Al-Qattan, Zarqani dan…
Riwayat yang menunjukkan pengumpulan Al-Quran di zaman Rasulullah (s.a.w):
Apabila sudah terbukti dengan riwayat sahih dan logik bahawa Al-Quran telah dikumpulkan di zaman Rasulullah (s.a.w),terdapat pula beberapa kumpulan riwayat yang bersalahan dengan pandangan tersebut iaitu:
1. Riwayat yang menunjukkan Al-Quran dikumpulkan oleh Zaid di zaman Abu Bakar.
2. Riwayat yang menunjukkan Al-Quran dikumpulkan di zaman Umar Al-Khattab
3. Riwayat yang menunjukkan bahawa Al-Quran dikumpulkan di zaman Uthman.
4. Riwayat yang menunjukkan bahawa Amirul Mukminin mengumpulkan Al-Quran setelah kewafatan Rasulullah (s.a.w)
Kitab Sulaim bin Qais meriwayatkan daripada Salman:
أن عليا ( عليه السلام ) بعد وفاة النبي (ص) لزم بيته وأقبل على القرآن يؤلفه ويجمعه ، فلم يخرج من بيته حتى جمعه ، وكان في الصحف والشظاظ  والأسيار والرقاع – إلى أن قال : – فجمعه في ثوب واحد وختمه .
كتاب سليم بن قيس : ص 65 .
Sesungguhnya Ali (a.s) setelah kewafatan Rasulullah (s.a.w) mendiami rumahnya. Beliau mengadap Al-Quran dan menulis serta mengumpulkannya. Beliau tidak pernah keluar dari rumahnya walaupun hari Jumaat. Beliau mengumpulkan pada kertas, kayu, kulit dan perca sampai dikatakan: Maka ia mengumpulkannya pada satu persalinan dan dicap mohorkan – Kitab Sulaim bin Qais.
Riwayat ini tidak mempunyai masalah dan tidak bersalahan dengan pendapat yang pertama dengan penjelasan berikut:
Maksud pengumpulan Al-Quran di zaman Abu Bakar:
Hendaklah dikatakan bahawa riwayat pengumpulan Al-Quran di zaman Abu Bakar bertentangan dengan riwayat yang lain kerana mempunyai perselisihan. Al-Bukhari pada suatu tempat meriwayatkan bahawa Umar pergi kepada Abu Bakar dan berkata:
إني أرى أن تأمر بجمع القرآن ، فقال له أبو بكر : كيف تفعل شيئا لم يفعله رسول الله (ص) – إلى أن قال : – قال أبو بكر لزيد: «إنك رجل شاب لا نتهمك . . . قال زيد : فتتبعت القرآن أجمعه من العسب واللخاف وصدور الرجال».
صحيح البخاري : ج 6 ص 98 و 102 .كتاب الاحكام  باب يستحب للكاتب ان يكون امينا عاقلا
Aku berpendapat, arahkanlah supaya Al-Quran dikumpulkan. MakaAbu Bakar berkata kepadanya: Bagaimana hendak melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah (s.a.w).  Abu Bakar berkata kepada Zaid: Engkau adalah pemuda yang kami anggap tidak pernah dituduh dengan kejahatan… Zaid mengatakan: Saya menjejak Al-Quran dan mengumpulkannya dari kulit kurma, batu tipis dan di dada-dada orang. – Sahih Al-Bukhari, jilid 6 halaman 98 dan 102.
Kadangkala Anas meriwayatkan pula kisah yang bertentangan:
«مات النبي (ص) ولم يجمع القرآن غير أربعة : أبو الدرداء ، ومعاذ بن جبل ، وزيد بن ثابت ، وأبو زيد ، ونحن ورثناه» .
صحيح البخاري : ج 6 ص 98 و 102 . كتاب فضائل القرآن :باب القراء من أصحاب النبى  صلى الله عليه وآله وسلم
Nabi (s.a.w) wafat dan tidak pernah Al-Quran dikumpulkan kecuali empat orang: Abu Darda, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Zar dan kami mewarisinya.
Bagaimana mungkin kedua-dua riwayat ini berkumpul dalam satu tempat? Kita berpegang dan menjaga pendapat yang pertama. Apakah Zaid memindahkan Al-Quran yang sudah siap ditulis di atas kertas-kertas ke mushaf yang lain? Begitulah apa yang dikatakan oleh Haris Al-Muhasabi katakan di dalam ‘Fahm Al-Sunan’:
إنما أمر الصديق بنسخها من مكان إلى مكان مجتمعا وكان ذلك بمنزلة أوراق وجدت في بيت رسول الله (ص) فيها القرآن فجمعها جامع .
سيوطي الإتقان : ج 1 ص 60.
Abu Bakar mengarahkan Al-Quran ditulis dari satu tempat ke tempat yang terkumpul. Sebelumnya ia dijumpai pada kertas-kertas di rumah Rasulullah, lantas ia dikumpulkan. – Suyuthi menukilkan perkara ini di dalam Al-Itqan, jilid 1 halaman 60.
Atau apakah ia dikumpul dari rumah-rumah para sahabat?
Ada yang mengatakan bahawa mushaf Al-Quran Abu Bakar diambil dari tangan para sahabat yang telah mengumpulkannya. Kewujudan beberapa naskah Al-Quran pula disebabkan terdapat naskah-naskah penulis wahyu Rasulullah (s.a.w) disimpan di rumah baginda (seharusnya berpindah ke tangan Ali bin Abi Talib). Kewujudan beberapa orang penulis wahyu juga menyebabkan mereka turut menyimpan naskah sendiri. – Tarikh Al-Quran Doktor Ramiyar, halmaan 71.
Talhah berkata kepada Amirul Mukminin:
ما أراك يا أبا الحسن أجبتني عما سألتك عنه من القرآن ، ألا تظهره للناس ؟ قال : يا طلحة عمدا كففت عن جوابك فأخبرني عما كتب عمر وعثمان أقرآن كله أم فيه ما ليس بقرآن ؟ قال طلحة : بل قرآن كله ، قال : إن أخذتم بما فيه نجوتم من النار ودخلتم الجنة . . . الخ .
كتاب سليم بن قيس : ص 100 .
Wahai Abal Hasan, engkau tidak menjawab kepadaku apa yang aku bertanya tentang Al-Quran yang apakah engkau tidak menunjukkannya kepada manusia? Jawab Ali: Wahai Talhah, aku bukan sengaja tidak menjawab, beritahu padaku apakah yang ditulis oleh Umar dan Uthman adalah seluruh Al-Quran atau di dalamnya ada yang bukan Al-Quran? Jawab Talhah: Tidak, seluruhnya adalah Al-Quran. Ali berkata: Jika kamu beramal dengan apa yang di dalamnya,kamu akan sejahtera dari api neraka dan memasuki syurga… – Kitab Sulaim bin Qais
Kerana itu Al-Quran Rasulullah jatuh kepada pewarisnya iaitu Ahlul Bait sehinggakan ianya tidak sampai kepada para isteri baginda. Jikalau tidak bergini sudah tentu Abu Bakar tidak mengarahkan penulisannya dan sudah tentu beliau tidak mengingkari betapa perlunya penulisan Al-Quran. Manakala naskah Al-Quran yang disiapkan oleh Ali bin Abi Talib juga adalah naskah yang sama dengan Rasulullah (s.a.w). Sebab itu Talhah begitu berkeinginan ingin melihatnya.
Dengan ini dapat dikatakan bahawa maksud Al-Quran yang kumpulkan di zaman Abu Bakar melalui Zaid. Di zaman inilah Al-Quran disalin daripada naskah-naskah yang telah ditulis oleh penulis-penulis wahyu yang lain seperti Ubay bin Ka’ab, Abu Darda, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Semua ini dihimpun dalam sebuah naskah. Abu Syamah seperti yang dinukilkan oleh Sayuthi di dalam Al-Itqan menunjukkan perkara ini sebagai:
وكان غرضهم أن لا يكتب إلا من عين ما كتب بين يدي النبي(ص)لا من مجرد الحفظ .
الإتقان : ج 1 ص 60 .
Maksud mereka ialah tidak menulis melainkan daripada apa yang ditulis di antara kedua tangan Nabi (s.a.w), bukan daripada yang dihafal. – Al-Itqan jilid 1 halaman 60
Maksud pengumpulan Al-Quran di zaman Umar:
Ada yang mengatakan bahawa Al-Quran dikumpulkan dalam satu mushaf di zaman Umar (Muntakhab Kanzul Ummal Hamish Musnad Ahmad, jilid 2 halaman 45).
Pandangan ini lebih dhaif dari pandangan ke-dua dan tidak ada tokoh Ahlusunnah yang menerimanya. Kemungkinan maksudnya adalah sepertimana yang lalu iaitu Umar meminta Abu Bakar mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf, bukannya beliau sendiri mengumpulkan Al-Quran atau di zamannya terjadi perkara tersebut.
Maksud pengumpulan Al-Quran di zaman Uthman:
Pendapat bahawa pengumpulan Al-Quran di zaman Uthman juga telah membawa banyak riwayat yang bertentangan kerana apa yang ada di dalam riwayat tersebut hanyalah Uthman mengarahkan orang ramai mengumpulkan satu bacaan Al-Quran (Qiraat), bukannya menunjukkan pengumpulan Al-Quran oleh beliau.
عن ابن أبي داود عن سويد بن غفلة قال : قال علي : لا تقولوا في عثمان إلا خيرا ، فوالله ما فعل الذي فعل في المصاحف إلا عن ملأ منا ، قال : ما تقولون في هذه القراءة ؟ فقد بلغني أن بعضهم يقول : إن قراءتي خير من قراءتك ، وهذا يكاد يكون كفرا ، قلنا : فما ترى ؟ قال : أرى أن يجمع الناس على مصحف واحد ، فلا تكون فرقة ولا اختلاف ، قلنا : فنعم ما رأيت .
الإتقان : ج 1 ص 61 .
Ali berkata: Janganlah kamu mengatakan sesuatu tentang Uthman kecuali yang baik, demi Allah apa yang dia lakukan tentang mushaf-mushaf adalah dalam pengetahuan kami. Kemudia ia bertanya: Apa yang kamu katakan tentang qiraat ini? telah sampai kepadaku bahawa sebahagian daripada mereka berkata bahawa ‘qiraatku lebih baik daripada qiraat engkau’; dan ini mirip kepada kekufuran. Oleh itu apa pandanganmu? Beliau menjawab: Aku berpandangan orang ramai perlu berkumpul dalam satu mushaf, janganlah kalian berpecah dan berselisih. Kami mengatakan: Alangkah baiknya pandanganmu. Al-Itqan jilid 1 halaman 61
Perkara ini disahkan oleh sebuah riwayat daripada Haris Al-Muhasabi yang berkata:
المشهور عن الناس أن جامع القرآن عثمان ، وليس كذلك إنما حمل عثمان الناس على القراءة بوجه واحد على اختيار بينه وبين من شهد من المهاجرين والأنصار لما خشي الفتنة عند اختلاف أهل العراق والشام في حروف القراءات .
سيوطي الإتقان: ج 1 ص 61 .
Yang masyhur tentang pengumpul Al-Quran ialah Uthman, sebenarnya tidak demikian. Hanyasanya Uthman menyebabkan orang ramai membaca dengan satu qiraat; keputusan ini dilaksanakan oleh beliau dan daripada kalangan Muhajirin dan Ansar kerana bimbang dengan perselisihan antara warga Iraq dan Sham tentang huruf qiraat. – Sayuthi menukilkan riwayat ini di dalam Al-Itqan, jilid 1 halaman 61.
عن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، حَدَّثَهُ أَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ قَدِمَ عَلَى عُثْمَانَ وَكَانَ يُغَازِي أَهْلَ الشَّأْمِ فِي فَتْحِ إِرْمِينِيَةَ وَأَذْرَبِيجَانَ مَعَ أَهْلِ الْعِرَاقِ فَأَفْزَعَ حُذَيْفَةَ اخْتِلاَفُهُمْ فِي الْقِرَاءَةِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ لِعُثْمَانَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَدْرِكْ هَذِهِ الأُمَّةَ قَبْلَ أَنْ يَخْتَلِفُوا فِي الْكِتَابِ اخْتِلاَفَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَأَرْسَلَ عُثْمَانُ إِلَى حَفْصَةَ أَنْ أَرْسِلِي إِلَيْنَا بِالصُّحُفِ نَنْسَخُهَا فِي الْمَصَاحِفِ ثُمَّ نَرُدُّهَا إِلَيْكِ فَأَرْسَلَتْ بِهَا حَفْصَةُ إِلَى عُثْمَانَ فَأَمَرَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَسَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَنَسَخُوهَا فِي الْمَصَاحِفِ وَقَالَ عُثْمَانُ لِلرَّهْطِ الْقُرَشِيِّينَ الثَّلاَثَةِ إِذَا اخْتَلَفْتُمْ أَنْتُمْ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فِي شَىْ‏ءٍ مِنَ الْقُرْآنِ فَاكْتُبُوهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ فَإِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ فَفَعَلُوا حَتَّى إِذَا نَسَخُوا الصُّحُفَ فِي الْمَصَاحِفِ رَدَّ عُثْمَانُ الصُّحُفَ إِلَى حَفْصَةَ وَأَرْسَلَ إِلَى كُلِّ أُفُقٍ بِمُصْحَفٍ مِمَّا نَسَخُوا وَأَمَرَ بِمَا سِوَاهُ مِنَ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ صَحِيفَةٍ أَوْ مُصْحَفٍ أَنْ يُحْرَقَ.
صحيح البخاري : ج 6 ص .رقم 5038 و رقم 3546  كتاب فضائل القرآن باب جمع القرآن
Huzaifah bin Yaman pergi bertemu Uthman yang sedang memerangi warga Sham ketika pembukaan Armenistan dan Azerbaijan bersama warga Iraq. Huzaifah merasa bimbang terhadap perselisihan mereka dalam qiraat lantas berkata kepada Uthman: Wahai Amirul Mukminin, berilah perhatian terhadap umat ini sebelum berselisih tentang kitab sebagaimana Yahudi dan Nasrani berselisihan. Maka Uthman mengutuskan kepada Hafsah supaya membawa kepada kami lembarannya yang kami salin ke naskah yang lain. Kemudian kami kembalikan kepadanya. Kemudian Hafsah mengirim Al-Qurannya kepada Uthman  yang kemudiannya mengarahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘Ash dan Abdul Rahman bin Harith bin Hisham menyalinnya. Uthman berkata kepada tiga orang Quraisyh ini: Jikalau kamu dan Zaid bin Tsabit berselisihan, maka tulislah ia dengan dialek Quraysh kerana ia hanya diturunkan dalam dialek tersebut. Mereka melakukannya sehingga Al-Quran selesai disalin mereka dalam beberapa naskah. Kemudia Uthman mengembalikannya (naskah asal) kepada Hafsah dan mengirim naskah-naskah ke beberapa rantau sambil memberi arahan supaya Al-Quran yang lain dibakar. – Sahih Al-Bukhari, jilid 6 Kitab Fadhail Al-Quran Bab Jam’ Al-Quran.
‘Asqalani di dalam Syarh riwayat ini mengatakan:
وفي رواية عمارة بن خزية : أن حذيفة قدم من غزوة فلم يدخل بيته حتى أتى عثمان ، فقال : يا أمير المؤمنين أدرك الناس ، قال : وما ذاك ؟ قال : غزوت فرج أرمينية فإذا أهل الشام يقرأون بقراءة أبي ابن كعب فيأتون بما لم يسمع أهل العراق ، وإذا أهل العراق يقرأون بقراءة عبد الله ابن مسعود فيأتون بما لم يسمع أهل الشام ، فيكفر بعضهم بعضا.
فتح الباري : ج 9 ص 14 و 15 .
Dalam riwayat Umarah bin Khizyah: Sesungguhnya Huzaifah pulang dari peperangan dan tidak pernah memasuki rumahnya sehingga datang Uthman, maka ia berkata: Wahai Amirul Mukminin, berilah perhatian kepada orang ramai. Uthman bertanya: Apakah itu? Jawabnya: Aku berperang di dalam Armenistan, apabila warga Sham membaca dengan qiraat Ubay bin Ka’ab mereka membawa apa yang tidak pernah didengari oleh warga Iraq. Apabila warga Iraq membaca dengan qiraat Abdullah bin Mas’ud, maka mereka membawa apa yang tidak pernah didengari oleh warga Sham. Sebahagian di antara mereka mengkafirkan yang lain. – Fathul Bari, jilid 9 halaman 14 dan 15.
Riwayat seperti ini muncul ketika Uthman mengarahkan orang ramai membaca dengan satu jalan, Oleh itu lafaz-lafaz sama maknanya yang Ibnu Mas’ud dan beberapa orang yang lain nukilkan mengikut pandangan sendiri sebagai ganti Al-Quran telah dihapuskan serta tidak ada lagi yang tertinggal. Secara zahirnya pandangan ini (menggunakan lafaz-lafaz yang sama makna) sangatlah bahaya dan membawa ancaman kepada al-Quran kerana nash kalimah Al-Quran apabila menggunakan lafaz berbeza boleh mengubah makna kalimat menurut pandangan individu. Perkara ini dapat dirujuk dengan lebih lanjut di dalam kitab Mubahith fi Ulum Al-Quran Li Subhi Soleh, halaman 107
Maksud pengumpulan Al-Quran oleh Ali bin Abi Talib.
Maksudnya daripada apa yang dikatakan bahawa Amirulmukminin Ali bin Abi Talib mengumpul Al-Quran ialah:
أنه كتبه عما كان عند النبي (ص) ، وأضاف إليه التنزيل والتأويل ، كما في الرواية: ما كان في بيت النبي (ص) فأخذه علي (ع) بأمر الرسول حيث قال له  : يا علي هذا كتاب الله خذه إليك ، فجمعه علي (ع)  في ثوب ومضى إلى منزله ، فلما قبض النبي (ص) جلس علي فألفه كما أنزل الله ، وكان به عالما .
التمهيد في علوم القرآن : ج 1 ص 291.
Sesungguhnya beliau menulis apa yang ada di sisi Nabi (s.a.w) bersama sebab penurunan dan penakwilannya seperti di dalam riwayat: Apa yang ada di dalam rumah Nabi, diambilnya oleh Ali dengan arahan Rasul sebagaimana yang dikatakan kepadanya: Wahai Ali, ini adalah kitab Allah dan ambillah. Maka Ali mengumpulkannya di dalam pakaian dan pergi ke rumahnya. Tatkala Nabi (s.a.w) wafat, Ali menulisnya seperti yang diturunkan oleh Allah dan beliau mempunyai pengetahuan tentangnya. – Al-Tamhid fi ulum Al-Quran, jilid 1 halaman 291, riwayat ini dinukilkan daripada Ibnu Syahr Asyub.
Ini bermakna, beliau merintis kitab tafsir Al-Quran yang pertama selain menulis matan Al-Quran (mengikut tertib penurunan) dengan perkara-perkara yang berkaitan dengan ayat tersebut kerana beliau sangat berpengetahuan tentang perkara ini daripada orang lain. Al-Kalbi menukilkan bahawa:
لما توفي رسول الله (ص) قعد علي بن أبي طالب في بيته فجمعه على ترتيب نزوله ، ولو وجد مصحفه لكان فيه علم كبير .
التمهيد في علوم القرآن : ج 1 ص 290.
Tatkala Rasulullah (s.a.w) wafat, Ali bin Abi Talib duduk di rumahnya dan mengumpulkan Al-Quran menurut tertib penurunannya, jikalau mushaf ini ditemui nescaya terdapat di dalam ilmu yang besar. – Al-Tamhid Fi Ulum Al-Quran, jilid 1 halaman 290. Perkara ini dinukilkan daripada beliau di dalam Al-Tashil Li Ulum Al-Tanzil.
Dinukilkan daripada Muhammad bin Sirin:
ولو أصيب ذلك الكتاب لكان فيه العلم .
تاريخ الخلفاء للسيوطي : ص 185 .
Jikalau kitab ini ditemui, nescaya terdapat ilmu di dalamnya. – Tarikh Al-Khulafa Li Suyuthi halaman 185.
Kesimpulannya ialah: 
Tidak ada pertentangan antara kata-kata bahawa Al-Quran dikumpulkan di zaman Rasulullah (s.a.w) dan yang dihimpunkan oleh Ali bin Abi Talib dengan ilmu beliau yang sangat mendalam tentang Al-Quran.
Sudah tentu sebab penulisan Al-Quran secara tertib penurunannya oleh Ali bin Abi Talib dikeranakan memperincikan nasakh dan mansukh, mutlaq dan muqayyad dengan baik sekali.
Natijah dan penghujung perbahasan.
Dimensi penghimpunan di antara keseluruhan riwayat dikatakan: Al-Quran di tangan kita sama seperti di zaman Rasulullah dan para sahabat, bukan seperti yang didakwa oleh beberapa pihak bahawa setelah kewafatan Rasulullah (s.a.w), al-Quran dikumpulkan dari hafalan para muhajirin dan ansar. Setelah kewafatan Rasulullah, Al-Quran baginda berada di tangan Ali bin Abi Talib. Sahabat setelah kewafatan baginda menyalin kembali Al-Quran yang telah dikumpulkan dalam bentuk naskah-naskah berpisah. Pada zaman Uthman pula Al-Quran diarahkan dibaca dalam satu dialek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar