Kamis, 21 Juni 2012

Ilmu Fiqih



A.   Pengertian Ilmu Fiqih
Ilmu Fiqih : Pengetahuan tentang segala sesuatu menurut ajaran agama islam. Baik yang mengenai cara beribadah yang khusus, seperti cara mengenai cara mengerjakan sholat, cara  berpuasa dan lain sebagainya. Ataupun yang mengenai cara ber-masyarakat (pergaulan) antara sesama  makhluk, seperti cara pinjam–meminjam, cara berkeluarga dan lain sebagainya.
Bagian Pertama itu dinamakan bagian Ibadah atau Mu’amalah ma’allah
(Cara berhadapan dengan Tuhan Allah)
Bagian yang kedua itu dinamakan bagian Mu’amalaat, Mu’amalah Ma’a-l-Kholiq.
(Cara berhadapan/bergaul dengan makhluk).
Semua itu harus kita ketahui hukum-hukumnya dan juga cara-caranya, berdasar atas ajaran-ajaran Islam.

B.   Hukum Pembebanan (Al-Ahkam At-Taklifiyyah)
Segala suatu pekerjaan dan suatu benda dapat ditentukan hukumnya dengan salah satu hukum yang lima itu. Menentukan hukum sesuatu menurut ajaran agama Islam ada dalam ILMU FIQIH.
Hukum yang lima itu antara lain, sebagai berikut :
1.    Wajib dan Fardlu :
Asal arti kata Wajib atau Fardlu ialah : Mesti, Tidak boleh tidak.
Dalam ilmu Fiqih berarti : Sesuatu yang apabila kita kerjakan kita mendapat pahala  dan kita tinggalkan kita berdosa.
2.     Sunnat dan Mandub :
Asal artinya kata Sunnat atau Mandub ialah : Jalan, Sesuatu yang  dapat  dikerjakan  atau dipakai yang diseru.
Dalam ilmu Fiqih berarti : Sesuatu yang apabila kita kerjakan kita mendapat pahala, dan kita tinggalkan kita tidak berdosa.
3.    Harom :
Asal artinya Harom ialah : Sakti, Angker, Larangan atau Pantangan.
Dalam ilmu Fiqih berarti : Sesuatu yang apabila kita kerjakan kita berdosa  dan kita tinggalkan kita mendapat pahala.
4.    Makruh :
Asal artinya Makruh ialah : Hal yang tidak disukai.
Dalam ilmu Fiqih berarti : Sesuatu yang apabila kita tinggalkan kita mendapat pahala, dan apabila kita kerjakan kita tidak dipersalahkan.
5.    Mubah dan Halal :
Asal artinya Mubah atau halal ialah : Dibolehkan atau tidak ada larangan.
Dalam ilmu Fiqih berarti : Sesuatu yang boleh kita kerjakan atau kita tinggalkan.
Biasanya yang dihukumi mubah itu ialah perbuatan,sedang yang dihukumi halal ialah barang sesuatu.

C.   Pembagian Wajib dan Sunnat
Wajib dan Fardlu itu ada dua macam, yaitu :
1.    Wajib ‘Ain atau Fardlu ‘Ain
Wajib ‘Ain dan Fardlu ‘Ain, Yaitu Wajib atau Fardlu menjadi tanggung jawab bagi setiap orang tidak boleh diwakilkan oleh orang lain. Misalnya : Sholat lima waktu, Puasa dibulan Ramadhan dan sebagainya.
2.    Wajib Kifayah atau Fardlu Kifayah
Wajib Kifayah atau Fardlu Kifayah, yaitu wajib atau fardlu menjadi tanggung jawab bersama (orang banyak) artinya apabila sudah ada yang mengerjakan sampai cukup, maka semuanya tidak berkewajiban. Misalnya : memelihara mayat , memimpin ummat dan lain sebagainya.
Hal-hal yang sunnat pun ada dua macam, yaitu :
1.    Sunnat ‘Ain
Sunnat ‘Ain, yang masing-masing orang disayogyakan mengerjakan.
Misalnya : puasa sunnat, sholat sunnat dan lain sebagainya.
2.    Sunnat Kifayah
Sunnat Kifayah, yakni apabila ada yang mengerjakan sampai cukup tidak perlu lagi yang lain mengerjakan. Misalnya : mengucapkan salam dalam suatu rombongan.

D.   Hukum Peletakan (Al-Ahkam Al-Wadh'iyyah) Sah Dan Batal
Dalam mengerjakan suatu perkerjaan atau peribadatan,telah ditentukan bagian-bagian yang pokok-pokok yang wajib dikerjakan, dan telah ditentukan pula syarat-syarat  mengerjakannya. Bagian yang pokok-pokok itu Rukun namanya.
Maka perkerjaan atau peribadatan yang telah mencukupi syarat dan rukunnya disebut Sah atau Shohih.
Kebalikannya ialah  pekerjaan yang tidak mencukupi syaratnya dan tidak pula mencukupi rukunnya. Pekerjaan yang serupa itu di namakan bathil atau batal,
Dengan demikian jelaslah arti   : Sah, Batal, Syarat, dan Rukun.
Sah  (صَحَّ)                            : Cukup syarat dan rukunnya dan betul.
Artinya                                 : Betul, benar atau jadi.
Batal (بَطَلَ)                           : Tidak cukup syarat dan rukunya, atau tidak sah.
Artinya                                 : Rusak dan tidak sah yakni : tidak betul.
Syarat (شَرْطٌ) asal artinya     : Janji.
Syarat di sini                        : Alat yang mesti mengerjakan sesuatu, dan ia bukan dari pada pekerjaan itu.
Rukun (رُكْنٌ) asal artinya     : Tiang atau soko guru.
Rukun di sini                        : Apa-apa yang pokok. Seperti membaca Al-Fatihah, yang menjadi rukun sholat.

E.    Mukalaf
Orang yang harus menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama itu ialah manusia yang telah dewasa (Baligh), berakal (‘Aqil) dan telah mendengarkan seruan agama. Baligh artinya telah cukup umur, yaitu bukan anak-anak kecil. Berakal (’Aqil) artinya tidak gila atau tidak berubah otaknya. Orang-orang yang demikian itu dinamakan Mukalaf.
Arti kata Mukalaf ialah : Orang yang diberati tuntutan agama.
 

Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa:78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam
Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)
Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Sumber-Sumber Fiqh Islam
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
Dasar (dalil).
Masalah yang akan diqiyaskan.
Hukum yang terdapat pada dalil.
Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar