“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Qs. Al-Ahzab :
33)
“Jika dengan mencintai keluarga Nabi Saw aku disebut Rafidhi (Syiah),
maka saksikanlah sesungguhnya aku seorang Rafidhi (Syiah) dan cukuplah
shalatku menjadi tidak sah dengan tidak menyertakan shalawat kepada
mereka.” (Imam Syafi’i ra)
Sebagaimana pernyataan Imam Syafi’i ra di atas, akan timbul berbagai
pertanyaan dalam benak kaum muslimin yang mau berpikir tentang kebenaran
sebuah keyakinan, siapakah yang dimaksud keluarga Nabi (Ahlul bait)
yang hendak disucikan oleh Allah swt? adakah kewajiban untuk mencintai
mereka sebagaimana kewajiban mencintai Nabi? mengapa dalam redaksi
shalawat kepada Nabi kita harus menyertakan pula shalawat kepada
keluarganya? Keistimewaan seperti apa yang dimiliki keluarga Nabi sampai
dalam setiap shalat kita harus menyertakan shalawat kepada mereka?
Kalau mereka memiliki kedudukan yang agung dan mulia dalam agama ini,
namun mengapa kajian tentang keluarga nabi tidak banyak kita dapatkan
dalam kehidupan religius kita sehari-hari?
Tidaklah berlebihan, dalam ruang yang sempit ini saya mencoba
menyelipkan sedikit tulisan mengenai mereka. Semoga dengan itu kita mau
mengenal, mengikuti dan mencintai keluarga nabi atau yang sering kita
dengar dengan ungkapan: Ahlul Bait.
Keistimewaan Keluarga Para Nabi
Telah menjadi sunatullah, Nabi-nabi memiliki keluarga yang
dimuliakan, diagungkan dan anak keturunan mereka dipilih oleh Allah
sebagai washi, pelanjut risalah kenabian. Berikut ini beberapa ayat
Al-Qur’an menjelaskan masalah ini :
“Dan Kami menganugerahkan kepada Ishak dan Yaqub. Kepada keduanya
masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu
(juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian keturunannya (Nuh)
yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami
memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik; dan Zakaria,
Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang saleh; dan
Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya
di atas umat (di masanya); dan Kami lebihkan (pula) derajat sebagian
dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka.
Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul)
dan Kami menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Inilah petunjuk
Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-An’am : 84).
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami
jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan al-kitab, maka diantara
mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasiq”
(Qs. Al-Hadid : 26).
“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub dan Kami
jadikan kenabian dan al-Kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan
kepadanya balasan di dunia; dan sesungguhnya di akhirat mereka
benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh” ( Qs. Al-Ankabut : 27)
Dan beberapa ayat lainnya yang tersebar dalam Al-Qur’an satu-satunya
kitab Samawi yang tetap steril dari berbagai upaya penyelewengan dan
perubahan.
Ayat-ayat di atas berbicara tentang sunatullah di muka bumi, dalam
hal pemilihan washi para Nabi yang berasal dari keturunan mereka yang
saleh dan suci, bukan yang fasiq dan bahwa pewarisan ilmu al-Kitab,
hukum dan kenabian di antara putra-putra mereka yang suci telah
ditetapkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi. Silsilah yang suci
ini memberikan gambaran yang jelas bahwa risalah Ilahiah ini tidak
pernah keluar dari lingkaran keluarga-keluarga Nabi yang disucikan, dan
tidak diwarisi oleh hati yang pernah dikotori oleh kesyirikan, kekejian
dan kezaliman.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi
seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang
zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 124)
Jika ajaran Nabi terdahulu saja yang hanya berlaku untuk masa dan
kaum tertentu memerlukan silsilah yang suci dan jiwa yang bersih, maka
bagaimana mungkin ajaran Islam tidak memerlukan silsilah yang suci yang
akan saling mewarisi ajaran Muhammad Saw yang luhur dan kekal hingga
hari kiamat?. Jika Nabi terdahulu saja memerlukan orang yang
menggantikannya di dalam urusan tabligh dari kalangan keluarga dan
keturunannya yang saleh, maka bagaimana mungkin Rasulullah Saw tidak
membutuhkan orang-orang yang meneruskan ajaran ini dari keluarga dan
keturunannya yang suci?
Jika ayat-ayat tentang nabi dan keturunannya menekankan bahwa
pemilihan washi para nabi telah berlaku bagi keluarga nabi yang saleh
dengan tujuan untuk menjaga kesucian risalah, maka bagaimana mungkin
ajaran Muhammad Saw yang kekal tidak membutuhkan pribadi-pribadi suci
dari keturunannya yang akan menjaga nilai-nilai ajaran Ilahi dari usaha
penyimpangan?
Melalui pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas bahwa masalah
pemilihan atau seleksi pelanjut kepemimpinan Ilahiah adalah semata-mata
wewenang Dzat yang Maha Mengetahui, tanpa adanya campur tangan siapapun.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.” (Qs. Fathir : 32).
Dalam ayat lain, dikisahkan tentang Nabi Musa as, “Dan jadikanlah
untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku,
teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam
urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak
mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan)
kami.” Allah berfirman : “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu,
hai Musa.” (Qs. Thaha : 29-36).
Kita menyaksikan dalam ayat ini betapa Nabi Musa memohon kepada Allah
SWT dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati untuk memilih
saudaranya, Harun, sebagai pembantunya dalam urusan Tabligh. Jika nabi
Musa as saja, dengan segala ketinggian kedudukan dan kedekatannya kepada
Allah SWT tidak memperkenankan dirinya untuk memilih langsung orang
yang akan menggantikan dia sepeninggalnya dan yang membantunya dalam
tugas-tugasnya, maka bagaimana mungkin umat Islam berhak memilih
orang-orang yang menggantikan Rasulullah Saw sebagai khalifah
sepeninggalnya? sebuah keberanian ‘ijtihad’ yang telah menimbulkan
perselisihan, perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah dikalangan
sahabat.
Imamah dan Ahlul Bait
Sekarang, seberapa banyakkah yang kita tahu tentang ayat muhkamah di
dalam Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan keagungan keluarga
Rasulullah yang mulia? Atau seberapa banyakkah kisah yang kita ketahui
tentang Rasulullah yang selalu mengingatkan ummatnya akan pengutamaan
Allah atas keluarganya.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, (juz 4 hal 123,
cetakan Beirut Lebanon), Zaid bin Arqam berkata, “Pada suatu hari
Rasulullah Saw berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di
telaga yang bernama “Khum”, yang terletak antara Makah dan Madinah.
Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi
nasihat dan peringatan Rasulullah Saw berkata, “Adapun selanjutnya,
wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh
utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan
padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah,
yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada
di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di
atas kesesatan.”
Kemudian Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua
adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku,
aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul
Baitku.” Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid
bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya aku telah
tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat
berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain,
Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah
kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya
keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di
Haudh.” Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, “Hadits ini
shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim).”
Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan
seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan
dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits
ini pun dinukil. Di antaranya juga terdapat dalam Sunan Ad-Darimi,
Shahih Turmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan
beberapa kitab lainnya. Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawai’iq telah
menyampaikan silsilah hadits ini hingga kepada dua puluh lebih sahabat,
lalu beliau (rahimahullah) menyatakan dengan tegas, ” Ketahuilah,
sesunggguhnya hadits berpegang teguh kepada Kitab Allah dan ahlul bait
mempunyai jalur yang banyak, dan diriwayatkan lebih dari 20 orang
sahabat.”
Dalam riwayat tersebut, Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul
Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya
sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling
melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar
perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa
akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita (baca
tragedi ini dalam Al-Bukhari pada bab “Al-Ilmu” (Jilid I, hal 22).
Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan
juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355). Rasulullah menjamin
bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal
ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan
penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua
tsaqal ini.
Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah
dengan Al-Qur’an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah
SWT telah menjamin dalam Al-Quran bahwa apapun yang disampaikan Rasul
adalah semata-mata wahyu dari-Nya. Pertanyaanya, mengapa Al-Quran saja
tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah?.
Di antara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk
yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan
prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul
diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti
kerasulannya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan
dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. ”
(Qs. Ibrahim: 4).
Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat
Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur’an secara mendetail? Niscaya
kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun
Rasulullah Saw memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh
tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima
hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang
dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, sedangkan sariyah adalah sebuah
peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia
mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang
telah ditunjuk olehnya. Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur
pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kafir pada awal-awal revolusi
Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud
ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci.
Sementara Allah SWT berfirman, ” Alif Lam Ra. (Inilah) kitab yang
ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci ,
(yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha
Teliti”. (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, “Tidaklah Kami lalaikan
sesuatu pun dalam Kitab ini.” (Qs. Al-An’am : 38).
Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya
antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan
Al-Qur’an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum
muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan
seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, “Pada hari ini telah Aku
sempurnakan agamamu.” (Qs. Al-Maidah : 3 ). Sebab, “Kewajiban Rasul
tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah).” (Qs. Al-Maidah : 99).
Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, “Dan Kami tidak
menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan
kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini
berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman
dan ketinggian Al-Qur’an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan
pengulas.
Al-Qur’an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir
zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan
menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah
mendatangkan kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas
dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman.” (Qs. Al-A’raf : 52). Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul
Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara
terperinci ayat-ayat Al-Qur’an.
Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an
sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam,
sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Imam Ali as dalam salah satu
khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, “Melalui kami
kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di
jalan yang benar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar
setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang
tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu”.
Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, “Aku adalah kota ilmu,
sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu,
hendaklah ia mendatangi pintunya” Hadits ini disepakati keshahihannya
oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits,
diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar
bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali as sebagaimana yang
diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati’i dan As-Shuyuti dalam
kitabnya masing-masing, “Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab
berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang
masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali
aku tidak akan pernah meninggalkannya” Dalil yang menyatakan bahwa tidak
hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud
sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, “Sebenarnya
(Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang
berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan
orang-orang berilmu tersebut.
Dan dengan firman Allah SWT, “Aku hendak jadikan seorang khalifah
(wakil) di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah : 30), berarti di muka bumi akan
senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah SWT
untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang
menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata,
“Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan
mendalam tentang kebenaran.” Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil
belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki ‘Roh Tuhan’
yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib.
Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi,
“Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang
lain, niscaya rusaklah bumi ini. ” (Qs. Al-Baqarah : 251). Sebagian
manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul
Bait sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “Perumpamaan Ahlul Baitku
seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan
selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam
dan binasa.”
Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal
sebagai hadits Safinah, diantaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan
Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir
zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari
berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang
dinanti-nantikan, Imam Mahdi as. Rasulullah Saw bersabda, “Kiamat tidak
akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan
permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul
Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan
kezaliman dan permusuhan.” Hadits-hadits Rasulullah Saw tentang Imam
Mahdi sangat banyak jumlahnya.
Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul
Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani
Qurays, dan siapakah Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman?.
Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka,
sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah SWT yang
termaktub dalam Al-Qur’an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia
meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT
berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan
imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71).
Jadi kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Saw bukan sekedar cinta biasa,
bukan sekedar efek dari kecintaan kepada Nabi Saw bukan pula sekedar
upah terhadap dakwah Rasulullah Saw, bukan pilihan, melainkan kewajiban
yang telah menjadi bagian dari syariat agama karena Ahlul Bait dan Itrah
Nabilah yang menjadi pelanjut tugas kenabian untuk menjaga kemurnian
risalah Ilahi. Kecintaan kita kepada Ahlul Bait adalah juga kecintaan
kepada Rasulullah Saw, kecintaan kepada Allah SWT, kecintaan kepada
Islam dan agama ini. Imam Syafii pernah mengatakan, “Tidak sah shalat
seseorang yang tidak menyertakan dalam shalatnya, shalawat kepada Nabi
dan Ahlul Baitnya.”Wallahu ‘alam bishshawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar